Konsep ingatan kolektif adalah konsep yang elusif, artinya sulit
untuk didefinisikan, namun amat dirasakan kehadirannya. Walaupun begitu,
di abad kedua puluh, banyak pemikir dari berbagai bidang ilmu mulai
menganalisis konsep ini, dan mengamati dampaknya bagi kehidupan manusia
secara luas. Kata ingatan kolektif terdiri dari dua kata, yakni kata
ingatan, dan kata kolektif. Keduanya memiliki makna berbeda, dan
memiliki arti yang lebih luas, ketika kedua kata tersebut disandingkan.
Untuk memahami makna konsep ini, saya akan menggunakan pemikiran Bridget
Fowler dan Jill Edy.
Filsuf pertama yang secara komprehensif mencoba memahami fenomena ingatan manusia, menurut Fowler, adalah Henri Bergson.
Pada masa ia hidup, yakni sekitar akhir abad 19 di Paris, Bergson
mencoba mengajak kita memikirkan konsep ingatan dan pikiran manusia
dengan cara-cara yang baru, yang sebelumnya tak ada. Sebelumnya, ingatan
dipandang sebagai suatu gudang yang berisi beragam bentuk ide dan
informasi. Pandangan ini ditantang oleh Bergson. Baginya, sesuai dengan
semangat filsafat modern yang kental pada jamannya, ingatan adalah
proses dialektis antara tubuh manusia dan peristiwa yang dialaminya.
Lebih dalam dari itu, baginya, ingatan adalah hubungan antara pikiran
dan materi. Interaksi antara pikiran dan materi ini, menurut Fowler,
akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai persepsi. “Seluruh proses
persepsi”, demikian tulisnya, “tergantung pada seleksi yang rumit, di
mana informasi dari saraf yang diterima dari dunia luar disaring melalui
gambaran ingatan dari masa lalu, di dalam pusat visual dari ingatan di
dalam otak.”
Dalam arti ini, menurut Fowler, pemikiran Bergson tentang ingatan
menjadi jembatan antara paham subyektivisme dan obyektivisme di dalam
memahami ingatan. Secara singkat, subyektivisme dalam teori tentang
ingatan menyatakan, bahwa ingatan itu bersifat subyektif, dalam arti
hanya dimengerti oleh orang yang mengalaminya, dan tidak memiliki acuan
di luar dari diri orang itu. Sementara, paham obyektivisme dalam teori
tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan merupakan cermin dari dunia di
luar diri manusia. Ingatan menjadi semacam film yang mengulang secara
persis apa yang pernah terjadi di luar diri manusia.
Menurut Bergson, keduanya adalah pandangan yang sifatnya reduktif
atas ingatan manusia. Artinya, kedua pandangan itu menyempitkan
pandangan tentang ingatan hanya pada satu sisi semata, dan melupakan
sisi-sisi lainnya. Setiap bentuk pengetahuan manusia lahir dari
persepsinya atas dunia. Persepsi tersebut, menurut Bergson sebagaimana
dibaca oleh Fowler, disaring oleh pikiran manusia (yang memiliki sejarah
dan kerumitannya sendiri), namun tetap harus memiliki acuan di luar
manusia itu, artinya memiliki bukti-bukti nyata, bahwa itu sungguh ada
dan terjadi. “Ingatan”, demikian tulis Fowler, “dengan demikian, bukan
merupakan gudang ataupun kamera, tetapi terdiri dari sirkuit, seperti
arus listrik, antara pikiran dan materi.”
Bergson, sebagaimana dibaca oleh Fowler, masih membicarakan konsep
ingatan dalam konteks individual. Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana
memahami konsep ingatan dengan menempatkan dimensi kolektif di dalamnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggunakan pemikiran Emile
Durkheim tentang apa artinya kolektivitas, atau apa yang disebutnya
sebagai fakta sosial. Setiap makna dan simbol lahir dari manusia
individual. Kita menciptakan simbol, dan kemudian memaknainya. Akan
tetapi, proses interaksi antar individu yang saling mencipta simbol dan
memaknainya tersebut akan menghasilkan suatu kolektivitas tertentu yang
disebut Durkheim sebagai fakta sosial, atau kolektivitas itu sendiri.
Proses untuk mencipta dan memberikan makna pada simbol, serta kemudian
mewariskannya ke generasi masyarakat berikutnya, membutuhkan ingatan.
Proses mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada skala
waktu tertentu, dan kemudian diwariskan ke generasi berikutnya, akan
membentuk struktur ingatan kolektif tertentu.
Ingatan kolektif ini akan tetap ada, dan diwariskan ke generasi berikutnya, walaupun waktu berubah, dan tradisi menghilang.
Argumen ini dikembangkan oleh Maurice Halbwachs, seorang filsuf dan
sosiolog asal Prancis yang hidup pada awal abad 20. Ia berpijak pada
konsep yang dikembangkan Durkheim tentang fakta sosial yang berisi
mentalitas kolektif dan struktur perasaan masyarakat yang terdiri dari
beragam individu yang saling berinteraksi secara sosial. Di sisi lain,
Halbwachs juga tertarik pada konsep ingatan yang dikembangkan oleh
Bergson, dan mencoba membuat semacam sintesis antara konsep ingatan di
satu sisi, dan konsep fakta sosial di sisi lain. Ia pun membuat argumen,
bahwa ingatan manusia pada dasarnya tidak pernah bersifat murni
individual, melainkan sudah selalu merupakan proses sosial, atau proses
kolektif. Simbol-simbol yang ada di dalam peradaban manusia, dan
pemaknaan atasnya, pun tidak pernah semata-mata bersifat individual,
melainkan diciptakan dan ditujukan untuk kegunaan-kegunaan yang bersifat
kolektif, seperti untuk mempertahankan masyarakat, mewariskan
nilai-nilai kehidupan, membuat perubahan sosial, dan sebagainya. Dalam
arti ini, ingatan kolektif memiliki fungsi yang khusus, yakni mencipta
ulang sebuah peristiwa masa lalu untuk menjadi dasar bagi peristiwa masa
kini, dan sebagai pijakan harapan bagi masa depan yang lebih baik.
Di sisi lain, sebagaimana dicatat oleh Fowler, Halbwachs juga
menyatakan, bahwa selain ingatan individual berpijak pada konteks
kolektivitas yang lebih luas, ingatan kolektif juga memperdalam dan
memperjelas ingatan individual itu sendiri. Contohnya adalah ketika kita
berbahasa. “Orang”, demikian kutipan Fowler dari tulisan Halbwachs,
“faktanya tidak dapat berpikir tentang sebauh peristiwa tentang masa
lalunya tanpa berwacana tentangnya. Akan tetapi untuk berwacana tentang
sesuatu berarti juga terhubung sistem ide-ide yang tunggal dari
pendapat-pendapat kita dan dari lingkaran itu… kerangka kolektif memory
mengurung dan mengikat kita atas ingatan kita satu sama lain yang paling
intim.”
Saya mencoba untuk menafsirkan argumen ini lebih jauh.
Ketika kita berpikir, kita menggunakan bahasa. Artinya, kita
mengaitkan diri kita dengan satu sistem tertentu yang telah berkembang
lama, jauh sebelum kita dilahirkan, yakni sistem bahasa itu sendiri. Di
dalam sistem bahasa, ada beragam simbol yang telah diciptakan oleh
generasi sebelum kita, yang kemudian diwariskan ke generasi berikutnya,
sampai ke tangan kita. Proses mencipta dan mewariskan tersebut
membutuhkan suatu medium, dan medium itu adalah ingatan sosial, yakni
proses mengingat yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk menjaga dan
mengembangkan identitas sosial masyarakat tersebut. Dalam arti ini,
ketika kita berpikir, kita sudah selalu melakukannya dalam konteks
ingatan sosial suatu komunitas tertentu. Bahkan, pikiran-pikiran kita
yang paling intim dan pribadi pun mengandaikan adanya suatu sistem
sosial tertentu yang menjadi latar belakangnya. Inilah sebabnya,
mengapat Halbwachs terus menegaskan, bahwa proses mengingat pada
hakekatnya sudah selalu merupakan proses sosial.
Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Halbwachs, mimpi pun tidak pernah
sungguh-sungguh merupakan peristiwa pribadi, melainkan sudah selalu
memiliki latar belakang kolektif. Di dalam mimpi, kita melihat tempat.
Kita melihat konteks yang memberikan makna pada mimpi kita, entah ketika
kita kecil, ataupun sudah dewasa. “Tidak ada ingatan”, demikian tulis
Halbwachs sebagaimana dikutip Fowler, “yang mungkin di luar kerangka
yang digunakan oleh orang yang hidup dalam masyarakat untuk menentukan
dan menarik rekoleksi mereka.”
Hal ini paling jelas tampak, ketika kita bermimpi. Bagi Halbwachs,
ingatan kolektif selalu terkait dengan tempat terciptanya ingatan
tersebut, terutama tempat-tempat yang memang memiliki arti istimewa,
seperti tempat suci, tempat lahir, dan sebagainya. Dalam arti ini,
ingatan kolektif memang bukan sesuatu yang mutlak dan pasti. Seperti
segala hal di muka bumi ini, ingatan kolektif adalah hasil penafsiran.
Maka ingatan kolektif terdiri dari beragam aspek, dan terbuka untuk
perubahan, demi pemaknaan akan masa kini, dan penciptaan harapan di masa
depan.
Ingatan kolektif juga dapat dilihat sebagai aliran gelombang yang
mendasari pemaknaan orang-orang yang hidup di dalam satu komunitas
tertentu. Dalam arti ini, ingatan kolektif bukanlah sesuatu yang jelas,
melainkan justru sebaliknya, yakni kabur dan dapat ditafsirkan dengan
beragam cara. Ingatan adalah suatu proses, yakni proses mengingat. Dan
proses tersebut selalu berada dalam konteks sosial, yakni proses
mengingat bersama, bersama dengan saudara, teman dekat, koran berita
setempat, gosip setempat, dan sebagainya. Proses mengingat adalah proses
kolektif, proses sosial itu sendiri, maka selalu terbuka untuk proses
tafsir dan perubahan.
Semua ini, menurut Halbwachs, berlaku baik pada level pribadi,
keluarga, komunitas, bahkan sampai pada level bangsa. Proses perubahan
sosial, dari kelas petani menjadi kelas industrialis, dari kelas
industrialis menjadi kelas kapitalis, juga terjadi dengan menjadikan
ingatan kolektif sebagai dasar pijakannya.
Pemikir berikutnya yang juga banyak menulis soal ingatan kolektif
adalah Walter Benjamin, filsuf asal Jerman di awal abad 20. Ia
menuliskan pemikirannya tentang ingatan kolektif di dalam bukunya yang
berjudul The Storyteller. Di dalam buku ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Fowler, Benjamin mencoba mengaitkan dua hal, yakni
antara cerita tentang masa lalu yang telah meresap di dalam tradisi di
satu sisi, dan pengalaman hidup yang sungguh terjadi di sisi lain.
Tidak ada hubungan yang bersifat langsung dan jelas antara dua konsep
ini. Apa yang saya alami seringkali tidak terhubung langsung dengan apa
yang saya ceritakan tentang apa yang saya alami. Fowler memberikan
contoh, bagaimana para veteran perang dunia pertama tidak mampu secara
akurat dan tegas melukiskan kembali ketegangan di dalam peristiwa
tersebut. Mereka hanya bercerita sedikit, lalu terdiam.
Cerita tentang masa lalu biasanya mengendap menjadi semacam cerita
rakyat yang berisi nilai-nilai moral yang hendak diajarkan ke generasi
berikutnya. Cerita tersebut menjadi bermakna, karena berisi
kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lalu yang perlu untuk diwariskan dan
ditafsirkan oleh generasi berikutnya. Di dalam cerita-cerita masa lalu
tersebut, dan nilai-nilai moral maupun kebijaksanaan yang terkandung di
dalamnya, ingatan kolektif berperan penting di dalam memberikan makna
dan konteks. Cerita rakyat menjadi alat bagi ingatan kolektif untuk
memberi identitas sosial bagi suatu komunitas tertentu. Medium atau alat
lain yang, menurut Fowler, juga penting adalah koran. Koran menjadi
semacam kendaraan bagi ingatan kolektif untuk memberikan konteks bagi
kekinian dan masa depan dari suatu komunitas.
Narasi tentang manusia, baik itu dalam bentuk kumpulan informasi
ataupun dongeng, memuat ingatan kolektif yang memberi identitas serta
makna bagi komunitas tempat manusia hidup, dan menafsirkan ulang dirinya
secara terus menerus.
Benjamin juga menegaskan, bahwa ingatan kolektif tampak di dalam tata
kota dan arsitektur suatu kota. Perubahan sosial juga dapat dilihat
dengan jelas pada tata kota dan arsitektur tersebut. Ia memberi contoh
bagaimana kota Paris mengalami perubahan dari kerajaan feodal beserta
dengan ciri arsitekturnya menjadi kota modern yang mengedepankan
aristektur yang serba efisien, efektif, namun juga indah. Perubahan tata
kota dan arsitektur suatu kota juga mencerminkan perubahan mentalitas
orang-orang yang hidup di dalamnya.
Semua proses itu, yakni perubahan mentalitas, perubahan tata kota, dan
perubahan arsitektur, berpijak pada satu gelombang yang disebut sebagai
gelombang ingatan kolektif yang membentuk kultur sekaligus identitas
suatu masyarakat. Dalam arti ini, menurut saya, proses pelestarian
ingatan, termasuk juga ingatan-ingatan yang negatif dan traumatis,
adalah proses yang amat penting untuk menjaga kelestarian identitas
diri, dan sebagai proses pembelajaran, supaya proses negatif yang sama
sedapat mungkin tidak lagi terjadi, dan proses-proses positif di masa
lalu bisa memperkuat dan mengembangkan identitas sosial yang ada.
Jika ingatan individual bisa terganggu, seperti karena telah
berlalunya waktu, atau karena sudut pandang yang berbeda, ingatan
kolektif pun bisa terganggu. Paul Ricoeur, filsuf Prancis abad 20,
menyatakan dengan tegas, bahwa ingatan kolektif sudah selalu hidup dalam
distorsi atau gangguan. Dengan kata lain, dapatlah dikatakan, bahwa
ingatan adalah peristiwa yang selalu hidup dalam distorsi, baik pada
level individual maupun level kolektif. Misalnya, sebagaimana dicontoh
Fowler, ketika mencoba menjelaskan pemikiran Ricoeur, ingatan suatu
masyarakat tentang salah satu tokohnya di masa lalu. Dilihat dari masa
sekarang, setiap pahlawan yang hidup di masa lalu selalu dilukiskan
secara agung, dan cenderung berlebihan. Kencenderungan ini, bagi
Ricoeur, adalah bagian dari ingatan yang memang selalu terdistorsi, dan
tak pernah secara persis mencerminkan peristiwa yang terjadi.
Semua monumen dan tugu adalah bentuk fisik material dari ingatan
kolektif ini. Dalam arti ini, menurut Fowler, kita bisa melihat
dialektika ingatan. Di satu sisi, peristiwa mempengaruhi ingatan kita.
Namun di sisi lain, cara kita mengingat tentang masa lalu mempengaruhi
pemahaman kita tentang masa lalu itu sendiri. Dengan kata lain, model
atau metode mengingat kita akan mempengaruhi isi dari ingatan itu
sendiri.
Jika ingatan adalah sesuatu yang sudah selalu mengandung distorsi,
maka ingatan tidak pernah boleh dimutlakkan. Ingatan yang dimutlakkan
bisa dengan mudah menipu, karena ingatan pada dasarnya adalah ingatan
yang terhambat, atau ingatan yang termanipulasi. Mengingat sesuatu
sebagai A, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah B, menurut Fowler,
adalah ciri utama dari ideologi, atau kesadaran palsu. Orang bisa merasa
mengingat sesuatu, padahal ia tidak sungguh-sungguh mengingat, atau
memahami apa yang dialaminya. “Ingatan yang rusak semacam itu”, demikian
tulis Fowler, “adalah komponen paling dasar dari ideologi.”
Ideologi itu merusak, karena menutupi mata dan pikiran manusia dari
kebenaran itu sendiri, yang tidak pernah sungguh-sungguh sederhana, atau
hitam putih, seperti yang dibayangkan, atau diinginkan oleh banyak
orang. Singkat kata, ideologi membutakan mata manusia, membuatnya
melihat katak sebagai anjing, atau kucing sebagai belalang. Pemutlakkan
atas ingatan yang terdistorsi menggiring manusia masuk ke dalam
ideologi, dan menjauhkannya dari kebenaran.
Dalam arti ini, sebagaimana dicatat oleh Fowler, ingatan kolektif
adalah sesuatu yang perlu untuk terus dimurnikan, atau didemistifikasi,
yakni dicopot ciri-ciri mistiknya, atau mitologisnya. Ciri mistik
berarti, ingatan itu memiliki dimensi mistik yang tidak dapat
disalahkan. Artinya, ingatan itu bersifat mutlak. Pandangan ini jelas
salah, dan perlu menjalani proses demistifikasi. Di sisi lain, ingatan
kolektif juga perlu dicopot ciri mitologisnya, yakni dicopot ciri-ciri
yang membuat ingatan kolektif tersebut tidak rasional. Penjelasan
mitologis adalah penjelasan yang menggunakan narasi, namun tidak
menggunakan rasionalitas serta keterkaitan dengan realitas empiris
sebagai tolok ukurnya. Ingatan kolektif yang berciri mitologis adalah
ideologi itu sendiri, yang menutupi mata kita dari kebenaran, dan
mengaburkannya dengan mitos-mitos yang menyesatkan pikiran. Dengan kata
lain, proses demitologisasi dan demistifikasi ingatan kolektif perlu
untuk dilakukan, supaya sebuah komunitas tidak terjebak pada ideologi
yang membutakan mata mereka, serta bisa membentuk identitas sosial
komunitas mereka dengan berpijak pada ingatan kolektif yang tepat.
Setiap komunitas di dunia ini memiliki masa lalu. Bahkan, sebagaimana
dinyatakan oleh Robert Bellah, apa yang disebut komunitas pun
ditentukan oleh apa yang terjadi di masa lalu mereka. Ia berpendapat,
bahwa komunitas sejati adalah komunitas ingatan-ingatan, yakni komunitas
yang berpijak pada masa lalunya, dan tak pernah melupakannya. Untuk
melestarikan masa lalunya, sebuah komunitas, demikian kata Bellah,
membutuhkan sebuah cerita. Mereka menciptakan cerita yang berisi
nilai-nilai yang dianggap bermakna bagi komunitas tersebut.
Cerita-cerita semacam ini amatlah penting untuk melestarikan sekaligus
mengembangkan identitas kolektif komunitas tersebut. Namun, yang
diceritakan tidak hanya cerita-cerita tentang kebaikan dan keberhasilan
masa lalu, melainkan juga cerita-cerita yang berisi tentang
peristiwa-peristiwa menyakitkan, serta kegagalan-kegagalan yang bisa
dijadikan bahan pembelajaran. Cerita-cerita tentang peristiwa negatif
dari masa lalu justru bisa menjadi perekat identitas kolektif yang kuat,
dan menciptakan rasa kebersamaan yang dalam. “Dan jika sebuah komunitas
sepenuhnya jujur”, demikian tulis Bellah, “mereka akan mengingat
cerita-cerita tidak hanya tentang penderitaan yang diterima, tetapi juga
penderitaan yang diakibatkannya- ingatan yang berbahaya, karena ingatan
itu mengajak komunitas tersebut untuk mengubah kejahatan yang kuno.”
Ingatan kolektif juga mempengaruhi situasi politik suatu komunitas.
Seperti dicatat oleh Edy, pada pemilu Presiden 2004 di AS, ingatan
kolektif akan konflik sosial menjadi tema besar di dalam diskusi-diskusi
politik pada masa itu. “Ingatan kolektif akan konflik sosial di masa
lalu”, demikian tulis Edy, “dapat menyembuhkan pertentangan, menggarami
luka, atau justru memicu perubahan sosial.”
Dengan kata lain, di satu sisi, ingatan kolektif tentang konflik sosial
di masa lalu bisa menjadi sumber daya untuk melawan pola yang sama
untuk berulang di masa depan. Namun, di sisi lain, ingatan kolektif akan
konflik sosial yang terjadi justru bisa menciptakan dendam, dan
mendorong kemungkinan terjadinya konflik serupa di masa depan.
Kemungkinan kedua yang diajukan Edy, menurut saya, terjadi, karena
ingatan kolektif mengalami cacat, atau terjebak dalam ideologi. Dalam
arti ini, orang tidak mengingat apa yang secara kolektif dialami,
melainkan hanya versi yang diinginkannya saja, yakni versi yang berat
sßebelah, dan penuh dengan distorsi.
Ingatan kolektif tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, menurut Edy,
juga dapat mempengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan. Dalam arti
ini, ingatan kolektif mempengaruhi karakter sekaligus perilaku suatu
masyarakat, yang nantinya juga akan mempengaruhi masa depan mereka
sebagai suatu komunitas. Walaupun begitu, seperti diingatkan oleh Edy,
ingatan, baik individual ataupun kolektif, adalah gambaran yang tidak
lengkap tentang masa lalu, meskipun kita seringkali melihat ingatan
sebagai potret masa lalu. Ingatan kolektif tentang masa lalu menjangkau
karakter dan sikap kita di masa sekarang, serta membentuk masa depan
kita. Maka dari itu, ingatan kolektif tentang masa lalu adalah sesuatu
yang mesti kita rawat dengan kebijaksanaan dan kesadaran penuh, bahwa
semua itu mempengaruhi masa kini dan masa depan kita sebagai komunitas
manusia. “Ingatan yang dirasakan secara kolektif”, tulis Edy, “dalam
banyak hal, adalah ujung dari gunung es kultur politik kita.”
Setiap bentuk ingatan, baik individual maupun kolektif, adalah suatu
bentuk upaya untuk melukiskan ulang apa yang terjadi di masa lalu. Dalam
arti ini, menurut Edy, komponen terpenting dalam ingatan adalah narasi,
atau cerita. Masa lalu bukanlah fakta empiris, melainkan cerita yang
selalu merupakan campuran antara imajinasi dan kejadian nyata. Ketika
suatu peristiwa telah berlalu, maka peristiwa itu menjadi ingatan.
Memang, seperti dinyatakan oleh Edy, jejak-jejak fisik tetap ada. Itulah
yang disebut oleh para sejarahwan sebagai artefak, yakni jejak-jejak
yang bisa mereka gunakan untuk membuat sebuah cerita, atau narasi,
tentang masa lalu, supaya bisa menjelaskannya. Ada beragam fakta dan
artefak, namun semua itu baru memiliki arti, jika ada cerita yang
merangkainya menjadi suatu penjelasan yang bisa diterima oleh akal
sehat. Upaya merangkai cerita itulah yang disebut Edy sebagai upaya
“rekonstruksi”. Ketika seseorang diminta untuk melakukan proses
rekonstruksi, yakni proses merangkai narasi dengan berpijak pada
data-data yang ada, “Mereka”, demikian tulis Edy, “dipengaruhi oleh
situasi di mana secara aslinya mendapatkan informasi dan konteks di mana
mereka diminta untuk menuangkannya kembali.”
Dengan ini, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa proses mengingat apa
yang telah terjadi di masa lalu merupakan sebuah jaringan ganjil antara
fakta dan makna (yang terikat secara kontekstual dan kultural) yang
berbentuk suatu narasi, atau cerita, untuk menjelaskan apa yang telah
terjadi secara masuk akal.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Maurice Halbwachs, filsuf dan
sosiolog yang dianggap sebagai “bapak” teori tentang ingatan kolektif,
juga memiliki argumen serupa. Baginya, ingatan pada hakekatnya sudah
selalu bersifat kolektif, yakni proses yang dilakukan dalam konteks
sosial. Dan seperti dinyatakan oleh Edy, hubungan-hubungan sosial, letak
geografis, dan beragam aspek yang terkandung di dalam kehidupan bersama
mempengaruhi cara suatu masyarakat mengingat masa lalunya, juga isi
dari ingatan tersebut.
Dengan berpijak pada pemikiran Edy dan Halbwachs, kita bisa
menyimpulkan, bahwa proses mengingat bukanlah potret tepat tentang masa
lalu, melainkan proses rekonstruksi yang melibatkan keinginan untuk
mencari dan memberikan makna pada masa sekarang, membangun harapan untuk
masa depan, kontekstualisasi, dan juga terjadi dalam proses-proses
sosial yang selalu ada di dalam kehidupan manusia.
Ingatan selalu dibangun dari cerita, atau narasi, dan cerita tersebut
dapat berubah, sesuai dengan lahirnya kesadaran dan bukti-bukti baru
tentang masa lalu. Di sisi lain, dalam konteks ingatan kolektif, setiap
orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh
terjadi di masa lalu. Dalam situasi yang serba tidak pasti ini,
bagaimana kita bisa memahami ingatan kolektif suatu komunitas? Seperti
yang dinyatakan oleh Edy, dalam situasi semacam ini, ingatan kolektif
dapat dipahami sebagai ingatan yang dominan dipahami oleh komunitas
tertentu. Jadi, ingatan kolektif adalah ingatan yang dominan yang
tersebar di dalam ruang publik masyarakat tertentu. “Ingatan kolektif”,
demikian tulis Edy, “adalah cerita yang diketahui semua orang, walaupun
tidak semua orang percaya pada cerita itu.”
Cerita, atau narasi, itu meresap ke dalam kultur suatu masyarakat, dan
secara tidak sadar telah menjadi “bahasa” bersama dari masyarakat
tersebut untuk menggambarkan dan menjelaskan masa lalu mereka. Setiap
bentuk kritik terhadap masa lalu juga selalu berpijak pada narasi
tersebut. “Bahasa” bersama inilah yang nantinya membentuk karakter dan
perilaku masyarakat itu.
Di dalam teori-teori tentang ingatan kolektif, ada satu pengandaian
dasar yang cukup umum ditemukan, bahwa apa yang kita ingat tentang masa
lalu amat ditentukan pada kebutuhan masa sekarang, dan apa yang
diharapkan dapat terjadi di masa depan. Inilah yang disebut Edy sebagai
presentisme. Dengan kata lain, ingatan kolektif tentang masa lalu
bukanlah gambaran fakta obyektif yang tidak dapat berubah, melainkan
narasi yang mengabdi pada konteks sekarang, serta kebutuhan dan
kepentingan yang ada di masa kini. Di dalam proses itu terjadi apa yang
disebut Edy sebagai kompetisi ingatan kolektif, di mana berbagai bentuk
narasi tentang masa lalu berusaha untuk merebut opini publik, dan
menjadi ingatan kolektif yang dominan di masyarakat tersebut. Dalam arti
ini, ingatan kolektif pun juga dapat dilihat sebagai tempat pertempuran
antara berbagai narasi, atau cerita, di dalam masyarakat, yang berusaha
menjelaskan masa lalu masyarakat tersebut. Narasi yang paling mampu
mengabdi pada kepentingan masa kini dan masa depan akan menjadi ingatan
yang dominan, yakni ingatan kolektif masyarakat tersebut, yang
mempengaruhi karakter sekaligus pola perilaku orang-orang yang hidup
dalam masyarakat itu.