Kamis, 25 Oktober 2012

teori ingatan kolektif

Konsep ingatan kolektif adalah konsep yang elusif, artinya sulit untuk didefinisikan, namun amat dirasakan kehadirannya. Walaupun begitu, di abad kedua puluh, banyak pemikir dari berbagai bidang ilmu mulai menganalisis konsep ini, dan mengamati dampaknya bagi kehidupan manusia secara luas. Kata ingatan kolektif terdiri dari dua kata, yakni kata ingatan, dan kata kolektif. Keduanya memiliki makna berbeda, dan memiliki arti yang lebih luas, ketika kedua kata tersebut disandingkan. Untuk memahami makna konsep ini, saya akan menggunakan pemikiran Bridget Fowler dan Jill Edy.
Filsuf pertama yang secara komprehensif mencoba memahami fenomena ingatan manusia, menurut Fowler, adalah Henri Bergson. 

Pada masa ia hidup, yakni sekitar akhir abad 19 di Paris, Bergson mencoba mengajak kita memikirkan konsep ingatan dan pikiran manusia dengan cara-cara yang baru, yang sebelumnya tak ada. Sebelumnya, ingatan dipandang sebagai suatu gudang yang berisi beragam bentuk ide dan informasi. Pandangan ini ditantang oleh Bergson. Baginya, sesuai dengan semangat filsafat modern yang kental pada jamannya, ingatan adalah proses dialektis antara tubuh manusia dan peristiwa yang dialaminya. Lebih dalam dari itu, baginya, ingatan adalah hubungan antara pikiran dan materi. Interaksi antara pikiran dan materi ini, menurut Fowler, akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai persepsi. “Seluruh proses persepsi”, demikian tulisnya, “tergantung pada seleksi yang rumit, di mana informasi dari saraf yang diterima dari dunia luar disaring melalui gambaran ingatan dari masa lalu, di dalam pusat visual dari ingatan di dalam otak.”

Dalam arti ini, menurut Fowler, pemikiran Bergson tentang ingatan menjadi jembatan antara paham subyektivisme dan obyektivisme di dalam memahami ingatan. Secara singkat, subyektivisme dalam teori tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan itu bersifat subyektif, dalam arti hanya dimengerti oleh orang yang mengalaminya, dan tidak memiliki acuan di luar dari diri orang itu. Sementara, paham obyektivisme dalam teori tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan merupakan cermin dari dunia di luar diri manusia. Ingatan menjadi semacam film yang mengulang secara persis apa yang pernah terjadi di luar diri manusia.
Menurut Bergson, keduanya adalah pandangan yang sifatnya reduktif atas ingatan manusia. Artinya, kedua pandangan itu menyempitkan pandangan tentang ingatan hanya pada satu sisi semata, dan melupakan sisi-sisi lainnya. Setiap bentuk pengetahuan manusia lahir dari persepsinya atas dunia. Persepsi tersebut, menurut Bergson sebagaimana dibaca oleh Fowler, disaring oleh pikiran manusia (yang memiliki sejarah dan kerumitannya sendiri), namun tetap harus memiliki acuan di luar manusia itu, artinya memiliki bukti-bukti nyata, bahwa itu sungguh ada dan terjadi. “Ingatan”, demikian tulis Fowler, “dengan demikian, bukan merupakan gudang ataupun kamera, tetapi terdiri dari sirkuit, seperti arus listrik, antara pikiran dan materi.”

Bergson, sebagaimana dibaca oleh Fowler, masih membicarakan konsep ingatan dalam konteks individual. Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana memahami konsep ingatan dengan menempatkan dimensi kolektif di dalamnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggunakan pemikiran Emile Durkheim tentang apa artinya kolektivitas, atau apa yang disebutnya sebagai fakta sosial. Setiap makna dan simbol lahir dari manusia individual. Kita menciptakan simbol, dan kemudian memaknainya. Akan tetapi, proses interaksi antar individu yang saling mencipta simbol dan memaknainya tersebut akan menghasilkan suatu kolektivitas tertentu yang disebut Durkheim sebagai fakta sosial, atau kolektivitas itu sendiri. Proses untuk mencipta dan memberikan makna pada simbol, serta kemudian mewariskannya ke generasi masyarakat berikutnya, membutuhkan ingatan. Proses  mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada skala waktu tertentu, dan kemudian diwariskan ke generasi berikutnya, akan membentuk struktur ingatan kolektif tertentu.

Ingatan kolektif ini akan tetap ada, dan diwariskan ke generasi berikutnya, walaupun waktu berubah, dan tradisi menghilang.
Argumen ini dikembangkan oleh Maurice Halbwachs, seorang filsuf dan sosiolog asal Prancis yang hidup pada awal abad 20. Ia berpijak pada konsep yang dikembangkan Durkheim tentang fakta sosial yang berisi mentalitas kolektif dan struktur perasaan masyarakat yang terdiri dari beragam individu yang saling berinteraksi secara sosial. Di sisi lain, Halbwachs juga tertarik pada konsep ingatan yang dikembangkan oleh Bergson, dan mencoba membuat semacam sintesis antara konsep ingatan di satu sisi, dan konsep fakta sosial di sisi lain. Ia pun membuat argumen, bahwa ingatan manusia pada dasarnya tidak pernah bersifat murni individual, melainkan sudah selalu merupakan proses sosial, atau proses kolektif. Simbol-simbol yang ada di dalam peradaban manusia, dan pemaknaan atasnya, pun tidak pernah semata-mata bersifat individual, melainkan diciptakan dan ditujukan untuk kegunaan-kegunaan yang bersifat kolektif, seperti untuk mempertahankan masyarakat, mewariskan nilai-nilai kehidupan, membuat perubahan sosial, dan sebagainya. Dalam arti ini, ingatan kolektif memiliki fungsi yang khusus, yakni mencipta ulang sebuah peristiwa masa lalu untuk menjadi dasar bagi peristiwa masa kini, dan sebagai pijakan harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Di sisi lain, sebagaimana dicatat oleh Fowler, Halbwachs juga menyatakan, bahwa selain ingatan individual berpijak pada konteks kolektivitas yang lebih luas, ingatan kolektif juga memperdalam dan memperjelas ingatan individual itu sendiri. Contohnya adalah ketika kita berbahasa. “Orang”, demikian kutipan Fowler dari tulisan Halbwachs, “faktanya tidak dapat berpikir tentang sebauh peristiwa tentang masa lalunya tanpa berwacana tentangnya. Akan tetapi untuk berwacana tentang sesuatu berarti juga terhubung sistem ide-ide yang tunggal dari pendapat-pendapat kita dan dari lingkaran itu… kerangka kolektif memory mengurung dan mengikat kita atas ingatan kita satu sama lain yang paling intim.”

Saya mencoba untuk menafsirkan argumen ini lebih jauh.
Ketika kita berpikir, kita menggunakan bahasa. Artinya, kita mengaitkan diri kita dengan satu sistem tertentu yang telah berkembang lama, jauh sebelum kita dilahirkan, yakni sistem bahasa itu sendiri. Di dalam sistem bahasa, ada beragam simbol yang telah diciptakan oleh generasi sebelum kita, yang kemudian diwariskan ke generasi berikutnya, sampai ke tangan kita. Proses mencipta dan mewariskan tersebut membutuhkan suatu medium, dan medium itu adalah ingatan sosial, yakni proses mengingat yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk menjaga dan mengembangkan identitas sosial masyarakat tersebut. Dalam arti ini, ketika kita berpikir, kita sudah selalu melakukannya dalam konteks ingatan sosial suatu komunitas tertentu. Bahkan, pikiran-pikiran kita yang paling intim dan pribadi pun mengandaikan adanya suatu sistem sosial tertentu yang menjadi latar belakangnya. Inilah sebabnya, mengapat Halbwachs terus menegaskan, bahwa proses mengingat pada hakekatnya sudah selalu merupakan proses sosial.
Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Halbwachs, mimpi pun tidak pernah sungguh-sungguh merupakan peristiwa pribadi, melainkan sudah selalu memiliki latar belakang kolektif. Di dalam mimpi, kita melihat tempat. Kita melihat konteks yang memberikan makna pada mimpi kita, entah ketika kita kecil, ataupun sudah dewasa. “Tidak ada ingatan”, demikian tulis Halbwachs sebagaimana dikutip Fowler, “yang mungkin di luar kerangka yang digunakan oleh orang yang hidup dalam masyarakat untuk menentukan dan menarik rekoleksi mereka.”

Hal ini paling jelas tampak, ketika kita bermimpi. Bagi Halbwachs, ingatan kolektif selalu terkait dengan tempat terciptanya ingatan tersebut, terutama tempat-tempat yang memang memiliki arti istimewa, seperti tempat suci, tempat lahir, dan sebagainya. Dalam arti ini, ingatan kolektif memang bukan sesuatu yang mutlak dan pasti. Seperti segala hal di muka bumi ini, ingatan kolektif adalah hasil penafsiran. Maka ingatan kolektif terdiri dari beragam aspek, dan terbuka untuk perubahan, demi pemaknaan akan masa kini, dan penciptaan harapan di masa depan.
Ingatan kolektif juga dapat dilihat sebagai aliran gelombang yang mendasari pemaknaan orang-orang yang hidup di dalam satu komunitas tertentu. Dalam arti ini, ingatan kolektif bukanlah sesuatu yang jelas, melainkan justru sebaliknya, yakni kabur dan dapat ditafsirkan dengan beragam cara. Ingatan adalah suatu proses, yakni proses mengingat. Dan proses tersebut selalu berada dalam konteks sosial, yakni proses mengingat bersama, bersama dengan saudara, teman dekat, koran berita setempat, gosip setempat, dan sebagainya. Proses mengingat adalah proses kolektif, proses sosial itu sendiri, maka selalu terbuka untuk proses tafsir dan perubahan.

Semua ini, menurut Halbwachs, berlaku baik pada level pribadi, keluarga, komunitas, bahkan sampai pada level bangsa.  Proses perubahan sosial, dari kelas petani menjadi kelas industrialis, dari kelas industrialis menjadi kelas kapitalis, juga terjadi dengan menjadikan ingatan kolektif sebagai dasar pijakannya.
Pemikir berikutnya yang juga banyak menulis soal ingatan kolektif adalah Walter Benjamin, filsuf asal Jerman di awal abad 20. Ia menuliskan pemikirannya tentang ingatan kolektif di dalam bukunya yang berjudul The Storyteller. Di dalam buku ini, sebagaimana dinyatakan oleh Fowler, Benjamin mencoba mengaitkan dua hal, yakni antara cerita tentang masa lalu yang telah meresap di dalam tradisi di satu sisi, dan pengalaman hidup yang sungguh terjadi di sisi lain.

Tidak ada hubungan yang bersifat langsung dan jelas antara dua konsep ini. Apa yang saya alami seringkali tidak terhubung langsung dengan apa yang saya ceritakan tentang apa yang saya alami. Fowler memberikan contoh, bagaimana para veteran perang dunia pertama tidak mampu secara akurat dan tegas melukiskan kembali ketegangan di dalam peristiwa tersebut. Mereka hanya bercerita sedikit, lalu terdiam.
Cerita tentang masa lalu biasanya mengendap menjadi semacam cerita rakyat yang berisi nilai-nilai moral yang hendak diajarkan ke generasi berikutnya. Cerita tersebut menjadi bermakna, karena berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lalu yang perlu untuk diwariskan dan ditafsirkan oleh generasi berikutnya. Di dalam cerita-cerita masa lalu tersebut, dan nilai-nilai moral maupun kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya, ingatan kolektif berperan penting di dalam memberikan makna dan konteks. Cerita rakyat menjadi alat bagi ingatan kolektif untuk memberi identitas sosial bagi suatu komunitas tertentu. Medium atau alat lain yang, menurut Fowler, juga penting adalah koran. Koran menjadi semacam kendaraan bagi ingatan kolektif untuk memberikan konteks bagi kekinian dan masa depan dari suatu komunitas.

Narasi tentang manusia, baik itu dalam bentuk kumpulan informasi ataupun dongeng, memuat ingatan kolektif yang memberi identitas serta makna bagi komunitas tempat manusia hidup, dan menafsirkan ulang dirinya secara terus menerus.
Benjamin juga menegaskan, bahwa ingatan kolektif tampak di dalam tata kota dan arsitektur suatu kota. Perubahan sosial juga dapat dilihat dengan jelas pada tata kota dan arsitektur tersebut. Ia memberi contoh bagaimana kota Paris mengalami perubahan dari kerajaan feodal beserta dengan ciri arsitekturnya menjadi kota modern yang mengedepankan aristektur yang serba efisien, efektif, namun juga indah. Perubahan tata kota dan arsitektur suatu kota juga mencerminkan perubahan mentalitas orang-orang yang hidup di dalamnya.

Semua proses itu, yakni perubahan mentalitas, perubahan tata kota, dan perubahan arsitektur, berpijak pada satu gelombang yang disebut sebagai gelombang ingatan kolektif yang membentuk kultur sekaligus identitas suatu masyarakat. Dalam arti ini, menurut saya, proses pelestarian ingatan, termasuk juga ingatan-ingatan yang negatif dan traumatis, adalah proses yang amat penting untuk menjaga kelestarian identitas diri, dan sebagai proses pembelajaran, supaya proses negatif yang sama sedapat mungkin tidak lagi terjadi, dan proses-proses positif di masa lalu bisa memperkuat dan mengembangkan identitas sosial yang ada.
Jika ingatan individual bisa terganggu, seperti karena telah berlalunya waktu, atau karena sudut pandang yang berbeda, ingatan kolektif pun bisa terganggu. Paul Ricoeur, filsuf Prancis abad 20, menyatakan dengan tegas, bahwa ingatan kolektif sudah selalu hidup dalam distorsi atau gangguan. Dengan kata lain, dapatlah dikatakan, bahwa ingatan adalah peristiwa yang selalu hidup dalam distorsi, baik pada level individual maupun level kolektif. Misalnya, sebagaimana dicontoh Fowler, ketika mencoba menjelaskan pemikiran Ricoeur, ingatan suatu masyarakat tentang salah satu tokohnya di masa lalu. Dilihat dari masa sekarang, setiap pahlawan yang hidup di masa lalu selalu dilukiskan secara agung, dan cenderung berlebihan. Kencenderungan ini, bagi Ricoeur, adalah bagian dari ingatan yang memang selalu terdistorsi, dan tak pernah secara persis mencerminkan peristiwa yang terjadi.

Semua monumen dan tugu adalah bentuk fisik material dari ingatan kolektif ini. Dalam arti ini, menurut Fowler, kita bisa melihat dialektika ingatan. Di satu sisi, peristiwa mempengaruhi ingatan kita. Namun di sisi lain, cara kita mengingat tentang masa lalu mempengaruhi pemahaman kita tentang masa lalu itu sendiri. Dengan kata lain, model atau metode mengingat kita akan mempengaruhi isi dari ingatan itu sendiri.
Jika ingatan adalah sesuatu yang sudah selalu mengandung distorsi, maka ingatan tidak pernah boleh dimutlakkan. Ingatan yang dimutlakkan bisa dengan mudah menipu, karena ingatan pada dasarnya adalah ingatan yang terhambat, atau ingatan yang termanipulasi. Mengingat sesuatu sebagai A, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah B, menurut Fowler, adalah ciri utama dari ideologi, atau kesadaran palsu. Orang bisa merasa mengingat sesuatu, padahal ia tidak sungguh-sungguh mengingat, atau memahami apa yang dialaminya. “Ingatan yang rusak semacam itu”, demikian tulis Fowler, “adalah komponen paling dasar dari ideologi.”

Ideologi itu merusak, karena menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran itu sendiri, yang tidak pernah sungguh-sungguh sederhana, atau hitam putih, seperti yang dibayangkan, atau diinginkan oleh banyak orang. Singkat kata, ideologi membutakan mata manusia, membuatnya melihat katak sebagai anjing, atau kucing sebagai belalang. Pemutlakkan atas ingatan yang terdistorsi menggiring manusia masuk ke dalam ideologi, dan menjauhkannya dari kebenaran.
Dalam arti ini, sebagaimana dicatat oleh Fowler, ingatan kolektif adalah sesuatu yang perlu untuk terus dimurnikan, atau didemistifikasi, yakni dicopot ciri-ciri mistiknya, atau mitologisnya. Ciri mistik berarti, ingatan itu memiliki dimensi mistik yang tidak dapat disalahkan. Artinya, ingatan itu bersifat mutlak. Pandangan ini jelas salah, dan perlu menjalani proses demistifikasi. Di sisi lain, ingatan kolektif juga perlu dicopot ciri mitologisnya, yakni dicopot ciri-ciri yang membuat ingatan kolektif tersebut tidak rasional. Penjelasan mitologis adalah penjelasan yang menggunakan narasi, namun tidak menggunakan rasionalitas serta keterkaitan dengan realitas empiris sebagai tolok ukurnya. Ingatan kolektif yang berciri mitologis adalah ideologi itu sendiri, yang menutupi mata kita dari kebenaran, dan mengaburkannya dengan mitos-mitos yang menyesatkan pikiran. Dengan kata lain, proses demitologisasi dan demistifikasi ingatan kolektif perlu untuk dilakukan, supaya sebuah komunitas tidak terjebak pada ideologi yang membutakan mata mereka, serta bisa membentuk identitas sosial komunitas mereka dengan berpijak pada ingatan kolektif yang tepat.

Setiap komunitas di dunia ini memiliki masa lalu. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Robert Bellah, apa yang disebut komunitas pun ditentukan oleh apa yang terjadi di masa lalu mereka. Ia berpendapat, bahwa komunitas sejati adalah komunitas ingatan-ingatan, yakni komunitas yang berpijak pada masa lalunya, dan tak pernah melupakannya. Untuk melestarikan masa lalunya, sebuah komunitas, demikian kata Bellah, membutuhkan sebuah cerita. Mereka menciptakan cerita yang berisi nilai-nilai yang dianggap bermakna bagi komunitas tersebut. Cerita-cerita semacam ini amatlah penting untuk melestarikan sekaligus mengembangkan identitas kolektif komunitas tersebut. Namun, yang diceritakan tidak hanya cerita-cerita tentang kebaikan dan keberhasilan masa lalu, melainkan juga cerita-cerita yang berisi tentang peristiwa-peristiwa menyakitkan, serta kegagalan-kegagalan yang bisa dijadikan bahan pembelajaran. Cerita-cerita tentang peristiwa negatif dari masa lalu justru bisa menjadi perekat identitas kolektif yang kuat, dan menciptakan rasa kebersamaan yang dalam. “Dan jika sebuah komunitas sepenuhnya jujur”, demikian tulis Bellah, “mereka akan mengingat cerita-cerita tidak hanya tentang penderitaan yang diterima, tetapi juga penderitaan yang diakibatkannya- ingatan yang berbahaya, karena ingatan itu mengajak komunitas tersebut untuk mengubah kejahatan yang kuno.”

Ingatan kolektif juga mempengaruhi situasi politik suatu komunitas. Seperti dicatat oleh Edy, pada pemilu Presiden 2004 di AS, ingatan kolektif akan konflik sosial menjadi tema besar di dalam diskusi-diskusi politik pada masa itu. “Ingatan kolektif akan konflik sosial di masa lalu”, demikian tulis Edy, “dapat menyembuhkan pertentangan, menggarami luka, atau justru memicu perubahan sosial.”

Dengan kata lain, di satu sisi, ingatan kolektif tentang konflik sosial di masa lalu bisa menjadi sumber daya untuk melawan pola yang sama untuk berulang di masa depan. Namun, di sisi lain, ingatan kolektif akan konflik sosial yang terjadi justru bisa menciptakan dendam, dan mendorong kemungkinan terjadinya konflik serupa di masa depan. Kemungkinan kedua yang diajukan Edy, menurut saya, terjadi, karena ingatan kolektif mengalami cacat, atau terjebak dalam ideologi. Dalam arti ini, orang tidak mengingat apa yang secara kolektif dialami, melainkan hanya versi yang diinginkannya saja, yakni versi yang berat sßebelah, dan penuh dengan distorsi.
Ingatan kolektif tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, menurut Edy, juga dapat mempengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan. Dalam arti ini, ingatan kolektif mempengaruhi karakter sekaligus perilaku suatu masyarakat, yang nantinya juga akan mempengaruhi masa depan mereka sebagai suatu komunitas. Walaupun begitu, seperti diingatkan oleh Edy, ingatan, baik individual ataupun kolektif, adalah gambaran yang tidak lengkap tentang masa lalu, meskipun kita seringkali melihat ingatan sebagai potret masa lalu. Ingatan kolektif tentang masa lalu menjangkau karakter dan sikap kita di masa sekarang, serta membentuk masa depan kita. Maka dari itu, ingatan kolektif tentang masa lalu adalah sesuatu yang mesti kita rawat dengan kebijaksanaan dan kesadaran penuh, bahwa semua itu mempengaruhi masa kini dan masa depan kita sebagai komunitas manusia. “Ingatan yang dirasakan secara kolektif”, tulis Edy, “dalam banyak hal, adalah ujung dari gunung es kultur politik kita.”

Setiap bentuk ingatan, baik individual maupun kolektif, adalah suatu bentuk upaya untuk melukiskan ulang apa yang terjadi di masa lalu. Dalam arti ini, menurut Edy, komponen terpenting dalam ingatan adalah narasi, atau cerita. Masa lalu bukanlah fakta empiris, melainkan cerita yang selalu merupakan campuran antara imajinasi dan kejadian nyata. Ketika suatu peristiwa telah berlalu, maka peristiwa itu menjadi ingatan. Memang, seperti dinyatakan oleh Edy, jejak-jejak fisik tetap ada. Itulah yang disebut oleh para sejarahwan sebagai artefak, yakni jejak-jejak yang bisa mereka gunakan untuk membuat sebuah cerita, atau narasi, tentang masa lalu, supaya bisa menjelaskannya. Ada beragam fakta dan artefak, namun semua itu baru memiliki arti, jika ada cerita yang merangkainya menjadi suatu penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat. Upaya merangkai cerita itulah yang disebut Edy sebagai upaya “rekonstruksi”. Ketika seseorang diminta untuk melakukan proses rekonstruksi, yakni proses merangkai narasi dengan berpijak pada data-data yang ada, “Mereka”, demikian tulis Edy, “dipengaruhi oleh situasi di mana secara aslinya mendapatkan informasi dan konteks di mana mereka diminta untuk menuangkannya kembali.”

Dengan ini, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa proses mengingat apa yang telah terjadi di masa lalu merupakan sebuah jaringan ganjil antara fakta dan makna (yang terikat secara kontekstual dan kultural) yang berbentuk suatu narasi, atau cerita, untuk menjelaskan apa yang telah terjadi secara masuk akal.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Maurice Halbwachs, filsuf dan sosiolog yang dianggap sebagai “bapak” teori tentang ingatan kolektif, juga memiliki argumen serupa. Baginya, ingatan pada hakekatnya sudah selalu bersifat kolektif, yakni proses yang dilakukan dalam konteks sosial. Dan seperti dinyatakan oleh Edy, hubungan-hubungan sosial, letak geografis, dan beragam aspek yang terkandung di dalam kehidupan bersama mempengaruhi cara suatu masyarakat mengingat masa lalunya, juga isi dari ingatan tersebut.

Dengan berpijak pada pemikiran Edy dan Halbwachs, kita bisa menyimpulkan, bahwa proses mengingat bukanlah potret tepat tentang masa lalu, melainkan proses rekonstruksi yang melibatkan keinginan untuk mencari dan memberikan makna pada masa sekarang, membangun harapan untuk masa depan, kontekstualisasi, dan juga terjadi dalam proses-proses sosial yang selalu ada di dalam kehidupan manusia.
Ingatan selalu dibangun dari cerita, atau narasi, dan cerita tersebut dapat berubah, sesuai dengan lahirnya kesadaran dan bukti-bukti baru tentang masa lalu. Di sisi lain, dalam konteks ingatan kolektif, setiap orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh terjadi di masa lalu. Dalam situasi yang serba tidak pasti ini, bagaimana kita bisa memahami ingatan kolektif suatu komunitas? Seperti yang dinyatakan oleh Edy, dalam situasi semacam ini, ingatan kolektif dapat dipahami sebagai ingatan yang dominan dipahami oleh komunitas tertentu. Jadi, ingatan kolektif adalah ingatan yang dominan yang tersebar di dalam ruang publik masyarakat tertentu. “Ingatan kolektif”, demikian tulis Edy, “adalah cerita yang diketahui semua orang, walaupun tidak semua orang percaya pada cerita itu.”

Cerita, atau narasi, itu meresap ke dalam kultur suatu masyarakat, dan secara tidak sadar telah menjadi “bahasa” bersama dari masyarakat tersebut untuk menggambarkan dan menjelaskan masa lalu mereka. Setiap bentuk kritik terhadap masa lalu juga selalu berpijak pada narasi tersebut. “Bahasa” bersama inilah yang nantinya membentuk karakter dan perilaku masyarakat itu.
Di dalam teori-teori tentang ingatan kolektif, ada satu pengandaian dasar yang cukup umum ditemukan, bahwa apa yang kita ingat tentang masa lalu amat ditentukan pada kebutuhan masa sekarang, dan apa yang diharapkan dapat terjadi di masa depan. Inilah yang disebut Edy sebagai presentisme. Dengan kata lain, ingatan kolektif tentang masa lalu bukanlah gambaran fakta obyektif yang tidak dapat berubah, melainkan narasi yang mengabdi pada konteks sekarang, serta kebutuhan dan kepentingan yang ada di masa kini. Di dalam proses itu terjadi apa yang disebut Edy sebagai kompetisi ingatan kolektif, di mana berbagai bentuk narasi tentang masa lalu berusaha untuk merebut opini publik, dan menjadi ingatan kolektif yang dominan di masyarakat tersebut. Dalam arti ini, ingatan kolektif pun juga dapat dilihat sebagai tempat pertempuran antara berbagai narasi, atau cerita, di dalam masyarakat, yang berusaha menjelaskan masa lalu masyarakat tersebut. Narasi yang paling mampu mengabdi pada kepentingan masa kini dan masa depan akan menjadi ingatan yang dominan, yakni ingatan kolektif masyarakat tersebut, yang mempengaruhi karakter sekaligus pola perilaku orang-orang yang hidup dalam masyarakat itu.

manfaat rokok

1. Merokok Mengurangi Resiko Parkinson

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa merokok melawan penyakit Parkinson. Sebuah penelitian terbaru menambah kuat bukti sebelumnya yang melaporkan bahwa merokok dapat melindungi manusia dari penyakit Parkinson.  Secara khusus, penelitian baru tersebut menunjukkan hubungan temporal antara kebiasaan merokok dan berkurangnya risiko penyakit Parkinson.  Artinya, efek perlindungan terhadap Parkinson berkurang setelah perokok menghentikan kebiasaan merokoknya. [2]

Studi lain mengenai pengaruh positif merokok terhadap Parkinson Desease (PD) adalah sebuah penelitian terhadap 113 pasangan kembar laki-laki. Tim peneliti yang dipimpin oleh Dr Tanner terus melihat perbedaan yang signifikan ketika dosis dihitung sampai 10 atau 20 tahun sebelum diagnosis.  Mereka menyimpulkan bahwa temuan ini menyangkal pernyataan bahwa orang yang merokok cenderung memiliki PD. [3] Masih banyak penelitian yang lainnya mengenai kebiasaan merokok yang berguna melawan Parkinson. [4] 2. Perokok lebih kuat dan cepat sembuh dari serangan jantung dan stroke

Penelitian besar menunjukkan manfaat lain merokok, yakni manfaat terhadap restenosis atau penyempitan pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah menjadi terbatas, seperti pembuluh darah ke jantung (cardiovaskular disease) atau ke otak (stroke)  Perokok memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertahan hidup dan penyembuhan yang lebih cepat. [5]

Penelitian lain menyebutkan krbon mnoksida dapat mengurangi serangan jantung dan stroke.  Karbon monoksida merupakan produk sampingan dari asap tembakau.  Sebuah laporan menunjukkan tingkat sangat rendah dari karbon monoksida dapat membantu para korban serangan jantung dan stroke.  Karbon monoksida menghambat pembekuan darah, sehingga melarutkan gumpalan berbahaya di pembuluh arteri.  Para peneliti memfokuskan pada kemiripan yang dekat antara karbon monoksida dengan oksida nitrat yang menjaga pembuluh darah tetap melebar dan mencegah penumpukan sel darah putih.  Baru-baru ini oksida nitrat telah ditingkatkan statusnya dari polutan udara biasa menjadi penghubung fisiologis terpenting kedua secara internal.  Oleh karena itu tidak akan mengherankan kalau karbon monoksida secara paradoks dapat menyelamatkan paru-paru dari cedera akibat penyumbatan pembuluh darah ke jantung (cardiovascular blockage).[6]



3. Merokok mengurangi resiko penyakit susut gusi yang parah

Dulu disebutkan bahwa tembakau adalah akar semua permasalahan penyakit gigi dan mulut.  Padahal sebuah studi menunjukkan bahwa sebenarnya perokok berisiko lebih rendah terhadap penyakit gusi. [74. Merokok mencegah asma dan penyakit karena alergi lainnya

Sebuah studi dari dua generasi penduduk Swedia menunjukkan dalam analisis multi variasi, beberapa anak dari para ibu yang merokok sedikitnya 15 batang sehari cenderung memiliki peluang yang lebih rendah untuk menderita alergi rhino-conjunctivitis, asma alergi, eksim atopik dan alergi makanan, dibandingkan dengan anak-anak dari para ibu yang tidak pernah merokok.  Anak-anak dari ayah yang merokok sedikitnya 15 batang rokok sehari memiliki kecenderungan yang sama. [8]

5. Nikotin membunuh kuman penyebab tuberculosis (TBC)

Suatu hari Nikotin mungkin menjadi alternatif yang mengejutkan sebagai obat TBC yang susah diobati, kata seorang peneliti dari University of Central Florida (UCF).  Senyawa ini menghentikan pertumbuhan kuman TBC dalam sebuah tes laboratorium, bahkan bila digunakan dalam jumlah kecil saja, kata Saleh Naser, seorang profesor mikrobiologi dan biologi molekuler di UCF. Kebanyakan ilmuwan setuju bahwa nikotin adalah zat yang menyebabkan orang menjadi kecanduan rokok. [9]


6. Merokok mencegah kanker kulit yang langka

Seorang peneliti pada National Cancer Institute berpendapat bahwa merokok dapat mencegah pengembangan kanker kulit yang menimpa terutama orang tua di Mediterania wilayah Italia Selatan, Yunani dan Israel.  Bukan berarti merokok disarankan untuk populasi itu, kata Dr James Goedert, namun yang penting adalah merokok tembakau dapat membantu untuk mencegah kanker yang langka bentuk. Dan ini adalah sebuah pengakuan dari peneliti di National Cancer Institute bahwa ada manfaat dari rokok. [10]
7. Merokok mengurangi resiko terkena kanker payudara

Sebuah penelitian baru dalam jurnal dari National Cancer Institute (20 Mei 1998) melaporkan bahwa pembawa mutasi gen tertentu (yang cenderung sebagai pembawa kanker payudara), yang merokok selama lebih dari 4 pak tahun (yaitu, jumlah pak per hari dikalikan dengan jumlah lamanya tahun merokok) menurut statistik ternyata mengalami penurunan signifikan sebesar 54 persen dalam insiden kanker payudara bila dibandingkan dengan pembawa yang tidak pernah merokok.  Salah satu kekuatan dari penelitian ini adalah bahwa penurunan insiden melebihi ambang 50 persen. [11]

8. Nitrat Oksida dalam nikotin mengurangi radang usus besar

Nikotin mengurangi aktivitas otot melingkar, terutama melalui pelepasan nitrat oksida, dalam kasus ulcerative colitis (UC) atau radang usus. Temuan ini dapat menjelaskan beberapa terapi manfaat dari nikotin (dan merokok) terhadap UC dan dapat menjelaskan mengenai disfungsi penggerak kolon pada penyakit aktif. [12]



9. Efek transdermal nikotin pada kinerja kognitif (berpikir) penderita Down Syndrome

Sebuah penelitian mengenai pengaruh rangsangan nikotin-agonis dengan 5 mg jaringan kulit implan, dibandingkan dengan plasebo (obat kontrol), pada kinerja kognitif pada lima orang dewasa dengan gangguan.  Perbaikan kemungkinan berhubungan dengan perhatian dan pengolahan informasi yang terlihat pada pasien Down Syndrom dibandingkan dengan kontrol kesehatannya. [13]

Down syndrome adalah penyakit yang disebabkan adanya kelainan pada kromosom 21 pada pita q22 gen SLC5A3, yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. [14]

10. Merokok baik bagi ibu hamil untuk mencegah hipertensi di masa kehamilan dan penularan ibu-anak infeksi Helicobacter pyloriKonsentrasi urin cotinine (tembakau yang bermetabolis di dalam tubuh) mengkonfirmasi berkurangnya risiko Preeklamsia dengan paparan tembakau Eksposur.  Preeklamsia adalah kondisi medis di mana hipertensi muncul dalam kehamilan (kehamilan dengan hipertensi) yang bekerjasama dengan sejumlah besar protein dalam urin.  Studi ini, meskipun kecil, menunjukkan salah satu manfaat dari merokok selama kehamilan. "Temuan ini, diperoleh dengan menggunakan uji laboratorium, mengkonfirmasi penurunan risiko preeklamsia berkembang dengan paparan tembakau (Am J Obstet Gynecol 1999;. 181:1192-6.)  [15]

Sebuah penelitian lain menemukan hubungan terbalik yang kuat antara ibu yang merokok ibu dan infeksi Helicobacter pylori di antara anak-anak prasekolah, di mana ditunjukkan kemungkinan bahwa penularan ibu-anak berupa infeksi mungkin kurang efisien jika ibu merokok.  Untuk mengevaluasi hipotesis ini lebih lanjut, dilakukan studi berbasis populasi di mana infeksi H. pylori diukur dengan 13C-urea breath test (tes kandungan urea pada nafas) dalam 947 anak-anak prasekolah dan ibu-ibu mereka.  Kami memperoleh informasi rinci tentang faktor-faktor risiko potensial untuk infeksi, termasuk ibu merokok, dengan menggunakan kuesioner standar.  Secara keseluruhan, 9,8% (93 dari 947) dari anak-anak dan 34,7% (329 dari 947) dari ibu-ibu telah terinfeksi.  Prevalensi (rasio jumlah kejadian penyakit dengan unit pada populasi beresiko) infeksi jauh lebih rendah di antara anak-anak dari ibu yang tidak terinfeksi (1,9%) dibandingkan pada anak-anak dari ibu yang terinfeksi (24,7%).  Ada hubungan terbalik yang kuat infeksi anak-anak dengan ibu yang merokok (odds rasio atau penyimpangan disesuaikan = 0,24; interval kepercayaan 95% = 0,12-0,49) di antara anak-anak dari ibu yang terinfeksi, tetapi tidak di antara anak-anak dari ibu yang terinfeksi.  Hasil ini mendukung hipotesis dari peran utama untuk penularan ibu-anak berupa infeksi H. pylori, yang mungkin menjadi kurang efisien jika si ibu merokok. [16]

intelektualis

Di tengah berbagai krisis bangsa, kita selalu menaruh harapan pada dunia pendidikan. Harapannya, dengan pendidikan yang bermutu, anak-anak kita akan menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik untuk Indonesia di masa depan. Harapan itu, pada hemat saya, amat masuk akal. Percuma kita membenahi segala bidang kehidupan bersama, tetapi mengabaikan pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah kunci utama untuk menjadi bangsa yang berkarakter, yakni bangsa yang maju budaya serta peradabannya.
Namun, apa metode yang tepat untuk mendidik anak-anak kita? Jawaban atas pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali ke lebih dari dua ribu tahun yang lalu, yakni ke dalam perdebatan antara Aristoteles dan Plato, gurunya, tentang pendidikan. Secara sederhana, Plato, dengan menggunakan mulut Sokrates di dalam tulisan-tulisannya, berpendapat, bahwa pendidikan adalah soal intelektualitas. Untuk menjadi baik berarti memahami sungguh apa artinya baik. Jika orang belum menjadi baik, maka ia tidak paham arti sesungguhnya dari baik itu sendiri.
Sementara itu, bagi muridnya, Aristoteles, intelektualitas semata tidaklah cukup. Memahami arti kata jujur tidak otomatis membuat orang jujur. Bahkan, pengertian sejati tentang kata jujur pun juga belum cukup untuk membuat orang menjadi jujur di dalam tindakannya sehari-hari. Kunci pendidikan adalah membentuk kebiasaan (habituation), sehingga akhirnya menjadi karakter. Untuk menjadi jujur, orang perlu dikondisikan dan dibiasakan untuk menjadi jujur, sehingga akhirnya kejujuran sungguh menjadi bagian utuh dari dirinya.

Situasi Indonesia
Pada hemat saya, dua pandangan ini juga menjadi inti perdebatan dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ada pandangan yang melihat pendidikan sebagai proses untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan pengetahuan serta informasi. Dalam konteks ini, penelitian amatlah penting untuk dilakukan. Pendidikan adalah proses membagi hasil penelitian kepada siswa, dan kepada masyarakat luas.
Di dalam pandangan ini, proses analisis adalah bagian utama dari pendidikan. Pendidikan berarti melihat dunia, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil (analisis) dengan tujuan untuk memahaminya. Kunci utama pendidikan adalah pemahaman yang benar yang didasarkan pada informasi, penelitian, dan pengetahuan yang juga benar. Namun, sayangnya, pandangan ini, walaupun terkesan ilmiah dan masuk akal, punya kelemahan yang amat fundamental.
Yang pertama, informasi ilmiah hasil dari analisis sering hanya berhenti semata menjadi pengetahuan, hanya olah intelektual, tanpa mampu mengubah pandangan hidup seseorang. Orang bisa amat cerdas menyerap beragam informasi ke dalam dirinya, tanpa mengalami perubahan cara berpikir atas dirinya sendiri dan hidup yang dijalaninya. Ini pula yang menjelaskan, mengapa banyak teroris adalah orang-orang yang amat cerdas secara intelektual, namun mampu melakukan perbuatan kejam dengan membantai orang-orang yang tak bersalah.
Tumpukan informasi dan pengetahuan juga tidak mengubah perilaku seseorang. Orang bisa menyebutkan makna kejujuran dari beragam agama dan pemikiran para filsuf, sambil terus melakukan korupsi. Informasi pada akhirnya menjadi tumpukan sampah di kepala yang tidak mendorong perubahan cara berpikir, apalagi perubahan perilaku sehari-hari. Pada titik ini, kita perlu mempertimbangkan pandangan kedua.
Pandangan kedua menyatakan, bahwa informasi dan pengetahuan tidak cukup, tetapi juga harus sampai pada pengkondisian nilai-nilai hidup, sehingga akhirnya pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai keutamaan yang membawa perubahan cara berpikir, dan juga membawa perubahan perilaku sehari-hari. Inilah yang menurut saya menjadi inti dari pendidikan karakter. Akan tetapi, apakah pendidikan semacam ini sudah ideal? Saya melihat setidaknya satu kelemahan mendasar di dalam pendidikan semacam ini.
Dasar dari pendidikan adalah kebebasan. Informasi dan pengetahuan digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia di hadapan alam, sehingga ia tidak lagi tunduk patuh pada hukum-hukum alam semata, tetapi bisa bersikap kritis, dan turut serta di dalam menciptakan masyarakat, maupun alam. Konsep pengkondisian dan pembiasaan berusaha membentuk manusia seturut dengan hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan cara ini, eksistensi manusia disempitkan semata menjadi alat-alat masyarakat, dan kehilangan martabat yang dicirikan melalui kebebasannya.

Penyadaran
Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian (pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), saya ingin menawarkan satu pandangan, yakni pendidikan sebagai penyadaran (to be aware). Untuk menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan semua informasi maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu berhenti menganalisis segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. Orang harus belajar untuk unlearn.
Setelah semua informasi dan pengetahuan ditunda, dan pola berpikir analisis dihentikan, pendidikan harus mengajak orang untuk merasa, yakni merasa dengan keseluruhan eksistensi diri. Kejujuran tidak lagi sekedar konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang menempel di dalam seluruh diri. Kemurahan hati tidak lagi sekedar kebiasaan, yang sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan menjadi gerak keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam tentang realitas itu sendiri.
Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta, atau membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia terhadap diri dan lingkungannya. Untuk melahirkan kesadaran semacam ini, orang perlu belajar untuk berhenti belajar (unlearn), dan melepaskan diri dari segala pola kebiasaan yang mencekik diri. Kesadaran mengubah cara orang di dalam melihat dunianya. Dan dengan itu, kesadaran mengubah seluruh diri manusia. Ia menjadi manusia yang bebas, bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan kebebasannya.
Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai menyerap dan memuntahkan informasi belaka. Ia tidak lagi menjadi robot-robot hasil bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu berpikir kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Membangun kesadaran berarti menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola pendidikan yang seringkali memenjara jiwa, melainkan melihat realitas apa adanya dengan segala rasa yang ada di dalam eksistensi diri manusia, lalu bertindak atas dasar rasa serta kebebasan itu.
Kualitas sebuah bangsa tidak dilihat dari tingkat ekonominya semata, tetapi dari kualitas pribadi orang-orang yang ada di dalamnya. Pribadi yang mirip bank informasi dan robot-robot patuh tidak akan membawa peradaban ke arah keagungannya, melainkan justru merusaknya. Pendidikan di Indonesia perlu menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma maupun kebijakan-kebijakannya. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun harapan yang konkret akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat untuk anak-anak kita.



Sebagaimana dicatat oleh Shields, pendapat orang tentang pribadi Aristoteles seolah terbelah dua. Di satu sisi, ia dianggap sebagai orang yang, walaupun amat cerdas, menyebalkan, arogan, dan suka mendominasi pembicaraan, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain.

Di sisi lain, beberapa temannya berpendapat, bahwa Aristoteles adalah sosok pribadi yang amat brilian, perhatian pada perasaan teman-temannya, dan amat mencintai semua proses pengembangan pengetahuan di berbagai bidang. Dengan kata lain, ia adalah pribadi yang hangat, sekaligus sosok filsuf dan ilmuwan sejati. Dua potret ini membuat kita memiliki dua pendapat yang berbeda tentang Aristoteles. Namun, jika kita memahami, bahwa kepribadian manusia pada dasarnya adalah suatu fragmentasi, yakni suatu keterpecahan, maka dua pendapat yang kontras berbeda tentang kepribadian Aristoteles bisa kita tempatkan sebagai sesuatu yang benar. Pada hemat saya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hanya memiliki satu sisi pribadi. Semuanya memiliki sisi-sisi yang terpecah, dan seringkali kontras bertentangan.
Aristoteles mulai berkarya sebagai seorang ilmuwan dan filsuf di Athena, setelah ia cukup lama belajar di Akademi yang didirikan oleh gurunya, yakni Plato. Namun, tidak seperti murid pada umumnya, ia mengambil jarak dari Plato, dan melakukan kritik keras pada pemikirannya. Shields menulis Aristoteles sebagai seorang “murid yang menendang ibunya sendiri.” 

Dalam arti ini, ibu adalah gurunya, yakni Plato sendiri. Di dalam sejarah filsafat, kita sudah mengetahui, bahwa Aristoteles secara telak melakukan kritik pada inti seluruh filsafat Plato, yakni teorinya tentang forma-forma (forms). “Selamat tinggal kepada forma-forma”, demikian 
tulis Aristoteles, “mereka hanya mainan, dan jika pun ada, mereka tidak relevan.”

Tidak hanya filsafat Plato, bagi Aristoteles, seluruh filsafat sebelumnya bersifat kasar, dan kekanak-kanakan. Para filsuf sebelumnya banyak berkutat dengan permasalahan filosofis yang disebut sebagai “satu dan banyak” (one and many). Intinya begini, apakah unsur dasar realitas itu tunggal, atau jamak? Dan bagaimana penjelasannya? Aristoteles mencemooh gaya berpikir semacam ini. Baginya, sebagaimana dicatat oleh Shields, mengapa unsur terdasar dari alam semesta dan realitas itu sekaligus satu, dan banyak?  Seperti dinyatakan oleh Shields, Aristoteles memang seringkali tidak adil terhadap para pemikir sebelumnya. Ia memilih argumen-argumen terlemah para pemikir sebelumnya, dan kemudian menjadikannya alasan untuk melakukan kritik terhadap mereka, serta, dengan begitu, mengajukan pemikirannya sendiri yang, dianggapnya, lebih baik.
Aristoteles lahir pada 384 sebelum Masehi di Stagirus, koloni Yunani pada masa itu yang sekarang sudah tidak lagi ada. 

Ayahnya bernama Nicomachus, seorang dokter kerajaan di Makedonia. Namun sayang, ayahnya meninggal, sewaktu Aristoteles masih kecil. Pada usia 17, ia pergi ke Athena untuk melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu, Athena adalah pusat dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebudayaan Yunani.  Di sana, Aristoteles langsung belajar pada Plato, yang memang pada masa itu dikenal sebagai seorang filsuf besar selama kurang lebih 20 tahun. Pada 347, Plato meninggal. Sebagai salah seorang muridnya yang paling cerdas, Aristoteles sebenarnya bisa menjadi pemimpin akademik berikutnya, menggantikan Plato. Namun, karena banyak posisi-posisi teoritisnya yang beseberangan secara diametral dengan Plato, Aristoteles tidak mungkin menjadi penerusnya sebagai pemimpin Akademi.
Aristoteles menerima undangan dari Hermeas, penguasa di Mysia, untuk pindah ke istananya, dan menjadi tutor pribadi. Aristoteles menerima undangan itu, dan pergi ke sana. Ia mengajar selama 3 tahun, dan menikah dengan seorang wanita bernama Pythias. Beberapa waktu kemudian, Aristoteles mendapatkan undangan dari Phillip Makedonia untuk menjadi tutor pribadi bagi anaknya, Alexander. Pada waktu itu, Alexander baru berusia 13 tahun. Selama 5 tahun, ia belajar bersama Aristoteles. Dan seperti kita semua tahu, Alexander nantinya akan menaklukan begitu banyak daerah di Eropa, Timur Tengah, Mesir, sampai dengan bagian Utara India. Bersama dengan penaklukannya itu, ia menyebarkan pemikiran Yunani Kuno. Seluruh proses ini dikenal nantinya sebagai Helenisasi. Rupanya, seperti dicatat oleh banyak ahli, Philip dan Alexander amat menghargai Aristoteles. Ia mendapatkan banyak uang untuk melakukan penelitian-penelitiannya, hidup layak, dan mengajarkan ilmunya. Tidak hanya itu, menurut legenda, ia mendapatkan amat banyak budak untuk membantunya mengumpulkan data demi pengembangan penelitian empirisnya, terutama yang terkait dengan alam.

Setelah selesai dari Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena. Pada masa itu, Platonisme, yang merupakan pengembangan dari filsafat Plato, berkembang pesat di berbagai penjuru Yunani, terutama Athena. Namun, seperti sudah disinggung sebelumnya, Aristoteles tidak menyetujui banyak isi dari filsafat Plato. Maka, ia pun mendirikan sekolah tandingan yang disebutnya sebagai Lyceum. Ada kebiasaan menarik di tempat ini. Aristoteles sering berdiskusi dengan murid-muridnya sambil berjalan. Tradisi berdiskusi sambil berjalan ini nantinya disebut sebagai peripatetics, yang juga berarti “untuk berjalan”. 

Di Lyceum, Aristoteles mengajar kurang lebih selama 13 tahun. Di sana pula, ia merumuskan sistem filsafatnya, dan menulis begitu banyak buku tentang beragam hal, mulai dari tentang fenomena alam, politik, sampai dengan tentang metafisika. Ia memberikan dua macam kuliah. Yang pertama adalah kuliah yang mendetil tentang sistem filsafatnya yang biasanya diberikan pada pagi hari untuk murid-murid yang ia anggap berbakat. Yang kedua adalah kuliah yang lebih populer yang diberikan untuk murid-murid pada umumnya.
Setelah Alexander meninggal pada 323 sebelum Masehi, seluruh dunia seolah memusuhi segala sesuatu yang berbau Makedonia, termasuk Aristoteles, karena ia pernah menjadi tutor pribadi di tempat itu. Ia pun dituntut atas dasar pengkhianatan pada negara. Namun, ia berhasil melarikan diri. Ucapannya ketika melarikan diri kini sudah menjadi terkenal di kalangan para peminat filsafat. “Orang-orang Athena tidak akan lagi mendapatkan kesempatan untuk berdoas terhadap filsafat seperti yang telah mereka lakukan kepada Sokrates.”

 Ia pergi ke Chalcis di Euboea. Namun, tahun pertama di sana, ia menderita sakit perut, dan kemudian meninggal pada 322 sebelum Masehi. Sebagai seorang filsuf, nama Aristoteles sudah melegenda. Ia menulis beragam tema, mulai dari logika, matematika, fisika, biologi, etika, politik, dan bahkan pertanian. Dari gaya menulis dan tema tulisannya, kita bisa melihat, bahwa ia amat menekankan pentingnya pengalaman inderawi sebagai dasar dari pengetahuan manusia. Pada titik inilah ia berbeda dengan gurunya, Plato, yang lebih menekankan forma-forma yang berada di level metafisis, melampaui pengalaman inderawi.
Tidak hanya seorang filsuf dan ilmuwan, Aristoteles juga adalah seorang penulis yang amat produktif. Buah-buah pikiran dan tulisannya mengubah pandangan banyak orang tentang dunia. Thomas Aquinas, salah satu filsuf Eropa Abad Pertengahan terbesar, bahkan selalu menyebut Aristoteles sebagai “Sang Filsuf”. Setidaknya, sebagaimana dicatat oleh Internet Encylopedia of Philosophy, Aristoteles semata hidupnya telah menulis 200 traktat filsafat. Sayangnya, kini hanya ada 31 traktat yang selamat, dan bisa dibaca. Bentuknya adalah naskah kuliah dan catatan-catatan pendek yang memang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca oleh publik luas. Kesan kering dan membosankan pun tak dapat dihilangkan, ketika kita mencoba untuk membaca teks-teks tersebut. Sumbangan terbesar Aristoteles, sebagaimana diakui oleh banyak ilmuwan dan filsuf, adalah membuat klasifikasi pengetahuan manusia yang terdiri dari biologi, etika, dan matematika. Sampai sekarang, kita masih menggunakan klasifikasi pengetahuan ini.
Aristoteles juga dikenal sebagai bapak logika. Ia adalah pemikir yang pertama kali secara serius merumuskan sistematika berpikir manusia dengan menggunakan rumus-rumus formal yang bisa dipelajari semua orang. Ia berpendapat, bahwa kekuatan argumen seseorang bisa dilihat dari struktur argumen tersebut, dan bukan semata isinya. Dengan demikian, selama pengandaian-pengandaian yang menyusun suatu argumen benar, maka orang bisa menarik kesimpulan baru yang juga lurus (bukan benar) dari pengandaian tersebut, dan memperlakukannya sebagai kebenaran. Misalnya, Andi adalah orang Jawa (terbukti benar). Semua orang Jawa berkulit coklat (terbukti benar). Maka, Andi berkulit coklat (lurus, bisa juga benar). Ini disebut juga sebagai logika sillogisme yang sampai sekarang masih digunakan sebagai dasar berpikir dan penarikan kesimpulan. Seluruh karya Aristoteles memiliki ciri yang sama, yakni penekanan pada sistematika berpikir, penarikan kesimpulan yang baik, dan berpijak pengalaman inderawi. Terkait dengan filsafat Plato, bagi Aristoteles, forma-forma bukanlah sesuatu yang bersifat metafisis, dan terletak di dunia ide, sebagaimana dimaksudkan oleh Plato, melainkan sesuatu yang sudah ada di dalam benda itu sendiri, dan bersifat empiris (dapat dicerap oleh pengalaman inderawi).
Melihat begitu luas dan dalamnya karya-karya Aristoteles, kita akan sulit menentukan, aliran apakah yang dipeluk olehnya. Berbagai komentar dan tafsiran tentang pemikirannya telah lahir, dan seringkali berbeda, dan bahkan bertentangan, satu sama lain.

 Filsafat Aristoteles bisa digunakan untuk melakukan kritik ataupun membenarkan suatu tindakan apapun. Lepas dari itu, ketika kita mencoba untuk membaca tulisan-tulisannya dengan mata “segar”, kita jelas akan menemukan sebuah ide yang menantang secara intelektual, dan penuh dengan ide-ide filosofis baru yang sebelumnya tak kita tahu, atau justru terlupakan. Kita perlu melepaskan segala label yang telah dibuat oleh para ahli ataupun komentator pemikiran Aristoteles, termasuk yang terus berusaha membandingkan pemikirannya dengan Plato, dan baru begitu, kita bisa sungguh memahami keluasan sekaligus kedalam pemikirannya. Bukankah itu yang kiranya Aristoteles sendiri inginkan?


Demokrasi dan Sisi Gelap Manusia
Reza A.A Wattimena

Manusia itu terdiri dari sisi gelap dan sisi terang. Di dalam dirinya terjadi pertarungan antara malaikat dan iblis. Pertarungan itu bersifat abadi. Pemenangnya akan menentukan karakter dari manusia itu, apakah ia akan menjadi manusia yang baik atau buruk.
Itulah pandangan berbagai peradaban yang tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah arena pertarungan. Dalam terang argumen ini, kita perlu bertanya, model tata sosial politik macam apakah yang kiranya bisa menampung kerumitan manusia tersebut? Bagaimana supaya manusia –yang merupakan arena pertarungan tersebut- dapat hidup bersama tanpa saling menghancurkan satu sama lain?
Rheinhold Niebuhr –seorang teolog dan filsuf abad 19- pernah mengajukan argumen menarik, bahwa demokrasi adalah tata sosial politik yang cocok untuk tujuan itu. “Kemampuan manusia untuk bersikap adil”, demikian tulisnya, “membuat demokrasi menjadi mungkin. Namun dorongan manusia untuk bertindak tidak adil membuat demokrasi menjadi sangat diperlukan.” (Dikutip dari Brooks, 2009)
Demokrasi lahir dari fakta, bahwa manusia mampu bersikap adil. Keadilan adalah keutamaan terang yang tertanam di dalam diri manusia. Namun sebaliknya demokrasi juga lahir dari fakta, bahwa manusia itu jahat, tidak adil, dan mampu berbuat kejam. Inilah sisi gelap dari manusia yang membuat demokrasi, seperti ditulis oleh Niebuhr, menjadi diperlukan. Demokrasi adalah pemerintahan minus mallum.

Sisi Gelap Manusia

Kehidupan manusia adalah perjuangan untuk melenyapkan sisi gelap dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah upaya untuk menjinakkan naluri destruktif yang tertanam di dalam hakekat dirinya. “Adalah merupakan suatu fakta nyata”, demikian tulis George Kennan, seorang ahli strategi Amerika Serikat pada masa perang dingin, “bahwa ada secuil sisi totaliter terkubur di dalam, jauh di dalam, diri setiap orang.” (Brooks, 2009)
David Brooks –seorang jurnalis New York Times- juga menegaskan, bahwa kejahatan itu nyata. Ia tidak bisa dibantah. Buktinya adalah keberadaan Hitler dan Stalin. Mereka mengorbankan begitu banyak nyawa untuk mewujudkan ambisi politisnya.
Paul Ricoeur –seorang filsuf Prancis abad ke-20- pernah mengajukan argumen, bahwa sisi gelap manusia itu bisa dilihat secara langsung di dalam simbol. Simbol-simbol itu tersebar di dalam kitab suci berbagai peradaban. Ada tiga simbol yang dirumuskannya, yakni simbol dosa, noda jiwa, dan rasa bersalah. (Ricoeur, 1969) Hampir semua peradaban memiliki cerita yang mengandung tiga konsep itu. Dari fakta ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa kejahatan itu ada (evil does exist).
Hannah Arendt –seorang filsuf perempuan Jerman- juga berpendapat, bahwa kejahatan itu muncul di dalam banalitas kehidupan. Semakin manusia terbiasa bertindak jahat, semakin tindakan itu tidak terasa lagi sebagai jahat, melainkan sebagai sesuatu yang normal. (Arendt, 1963) Arendt menulis ini untuk memahami sepak terjang Hitler dan para perwira NAZI Jerman pada masa perang dunia kedua.
Tentu saja sisi gelap manusia pun memiliki tingkatan, dari maling ayam sampai koruptor, dan dari tukang contek sampai pelaku genosida. Lain lagi pendapat yang dikemukakan oleh Michel Foucault. Baginya setiap bentuk pengetahuan adalah bentuk dari kekuasaan. Kekuasaan itu memiliki fungsi penciptaan. (Foucault, 1969) Segala sesutu diproduksi oleh kekuasaan, termasuk pengetahuan kita tentang baik dan buruk.
Maka dari itu kejahatan tidak buruk pada dirinya sendiri. Suatu tindakan tidaklah jahat pada dirinya sendiri. Manusialah yang menilainya sebagai jahat. Seperti ajaran Buddhisme klasik, bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak memiliki esensi pada dirinya sendiri. Segala sesuatu di dunia ini temporal. (dalam Billington, 1997) Manusia yang memberikan isi pada segala sesuatu.
Kejahatan itu nyata baik sebagai penilaian subyektif dan juga sebagai fakta obyektif. Perilaku jahat itu nyata. Motivasi jahat itu nyata. Manusia berperang melawan sisi jahat di dalam dirinya sendiri. Perang itu abadi.

Jangan Menyerah dengan Demokrasi

Lalu bagaimana menata jutaan manusia yang memiliki sisi jahat di dalam dirinya tersebut? Represi totaliter bukanlah jawaban. “Setiap bentuk kekerasan untuk menyelesaikan kejahatan”, demikian perkataan Gandhi, “hanya akan memunculkan kejahatan baru, dan memperumit masalah.” (Dalam Obama, 2009) Demokrasi adalah jawaban atas pertanyaan ini. Demokrasi mengandaikan kebebasan dan hormat pada martabat manusia.
Demokrasi juga hidup di atas hukum positif yang adil. Dan seperti sudah ditegaskan oleh Neibuhr, demokrasi lahir, karena manusia itu memiliki potensi untuk bersikap adil. Manusia itu ingin hidup baik. Ia menginginkan harmoni dengan sesamanya.
Namun demokrasi memiliki muka yang lain. Demokrasi muncul karena kesadaran penuh, bahwa manusia bisa berbuat kejam dan tidak adil. Demokrasi dipandang perlu untuk meredam gejolak destruktif yang memang tertanam di dalam kodrat manusia. Maka jangan menyerah dengan demokrasi.
Proses demokratisasi adalah proses yang sulit. Mentalitas demokratis berkembang di dalam tempaan persoalan publik. Namun semua ini baik adanya. Bangsa Indonesia perlu setia dan percaya, bahwa ini akan bermuara pada terciptanya masyarakat yang adil dan makmur yang menjadi cita-cita kita semua. Maka sekali lagi; jangan menyerah dengan demokrasi.