Kalimat yang dikemukakan oleh Descartes itu selalu
dimuat dalam buku buku pengantar filsafat khususnya yang membahas mazhab
rasionalisme dan senantiasa nyaris tanpa ada koreksi benar-salahnya
sama sekali, dan kemudian menjadi semacam ‘mantra sakti’ yang membius
banyak orang sehingga selalu takjub tanpa bisa bersikap kritis kepada
apa yang datang dari dunia filsafat.
Dan sebagian orang menganggap prinsip Descartes
‘aku berfikir karena itu aku ada’ itu sebagai semacam pijakan atau
parameter untuk memahami konsep rasionalisme serta pengertian
‘rasionalitas’.yang berbahaya kemudian adalah bila orang mengaitkan
sesuatu yang harus masuk akal (yang rasional) dengan kekuatan kesadaran
manusia sehingga yang diluar kekuatan kesadaran manusia menangkap (dan
memikirkannya) nya akan dianggap ‘tidak masuk akal’. masalahnya kemudian
adalah kekuatan kesadaran berfikir manusia itu (tanpa bimbingan agama)
seringkali menjadi sangat bergantung pada pengalaman dunia inderawinya
sehingga yang tidak masuk pengalaman dunia inderawinya seringkali tidak
masuk dalam kesadaran berfikir nya sehingga ujungnya lahir prinsip ‘yang
masuk akal adalah yang dunia indera bisa menangkapnya’.
Artinya dengan pernyataannya yang terkenal itu
Descartes telah membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran
berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai
‘ada’, (sehingga yang tidak masuk kedalam kesadaran berfikirnya harus
dianggap untuk ‘tidak ada’ ?)
Mari kita kaji dan kita kritisi pemikiran Descartes ini untuk menemukan benar-salah nya :
Descartes berkata : ‘aku berfikir karena itu aku
ada’ bila kita melihatnya hanya dari satu sisi yaitu sisi dimana
(kesadaran) manusia menjadi parameter kebenaran maka pernyataan itu
seperti benar tapi bila kita melihatnya dari kacamata sudut pandang lain
dari kacamata sudut pandang yang bersifat Ilahiah, dari kacamata sudut
pandang Sang pencipta maka pernyataan itu sebenarnya akan berubah
menjadi tidak benar.mari kita analisis :
Descartes menyatakan : ‘aku berfikir maka karena
itu aku ada’ ,analisisnya kita mulai dengan pertanyaan berikut : bila
Descartes sedang tertidur atau sedang pingsan dan artinya saat itu
Descartes sedang tidak dalam keadaan menyadari bahwa dirinya ‘ada’ maka
pada saat itu apakah kita akan mengatakan bahwa Descartes sedang ‘tidak
ada’ (?).
Kita buat analogi lain : dimasa silam sebelum
manusia menemukan teropong yang bisa meneropong alam semesta saat itu
manusia belum mengetahui bahwa ada banyak planet yang berada diseputar
planet bumi yang juga mengelilingi matahari,artinya keberadaan planet
planet saat itu belum masuk kedalam kesadaran berfikir manusia,nah
pertanyaannya : apakah saat itu ketika manusia belum menyadari
keberadaan planet planet itu maka planet planet itu kita katakan ‘belum
ada’ dan hanya bisa disebut ‘ada’ setelah manusia menemukan
keberadaannya (?)
Kalau begitu maka pertanyaannya : siapa sebenarnya
yang berhak menentukan sesuatu itu sebagai ada (?) apakah Sang pencipta
ada atau makluk yang diciptakan oleh Sang pencipta itu (?)dalam dimensi
yang lebih luas : siapa yang berhak mendeskripsikan realitas (yang
menentukan ini ada dan ini tidak ada) apakah Tuhan sang pencipta
realitas ataukah makhluk yang diciptakan (?) dengan kata lain : apakah
manusia itu penentu ‘ada’ (yang berhak menentukan ini ada atu ini tidak
ada) ataukah hanya makhluk penangkap sebagian kecil ‘ada’.
Untuk menjawabnya mari kita buat analogi yang lain :
si Fulan kedatangan tamu yaitu saudaranya dari luar kota,saudaranya ini
sebenarnya sudah tiba didepan halaman rumahnya tapi karena si Fulan
sedang berada dikamarnya maka karena itu ia tidak melihat keberadaan
saudaranya yang sudah berada didepan halaman rumahnya dan karenanya
keberadaan saudaranya yang sudah berada didepan halaman rumahnya ini
belum masuk kepada kesadarannya.lalu apakah karena itu maka harus kita
katakan bahwa ‘saudaranya itu belum ada didepan halaman rumahnya ’
karena si Fulan belum menyadarinya (?)
Apakah sebuah realitas harus dinyatakan sebagai
‘ada’ hanya setelah manusia menyadari keberadaannya,dengan kata lain
bila keberadaan sesuatu belum masuk kepada kesadaran manusia apakah
sesuatu itu harus kita katakan ‘tidak ada’ atau ‘bukan realitas’
(?).ataukah realitas itu harus kita lihat dari kacamata sudut pandang
Tuhan sebagai penciptanya sehingga kita mengetahui segala suatu sebagai
‘ada’ atau ‘realitas’ karena Tuhan yang mendeskripsikannya.
Contoh lain : bila realitas yang dinyatakan oleh
Tuhan seperti : alam kubur,sorga-neraka dlsb. apakah karena semua
realitas itu belum bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera manusia
maka manusia berhak mendefinisikannya sebagai sesuatu yang ‘tidak ada’
(?)kalau begitu manusia memposisikan dirinya bukan lagi hanya sebagai
penangkap realitas yang terbatas tapi sudah menempatkan diri sebagai
‘penentu realitas’.
Itulah sebab dalam melihat problem ‘realitas’
manusia harus belajar melihat realitas dari kacamata sudut pandang atau
dari dimensi lain jangan melihatnya hanya dari kacamata sudut pandang
kesadaran manusia sebab manusia bukan pencipta realitas tapi penangkap
sebagian realitas (itupun sangat terbatas) artinya kita harus belajar
melihat realitas dari sudut pandang penciptanya, Tuhan yang menciptakan
realitas,dan kemudian belajar menyadari dan menempatkan diri sebagai
‘penangkap sebagian kecil realitas’,dengan cara demikian manusia tidak
mudah memvonis apa pun yang datang dari agama sebagai ‘hanya dogma’
tanpa mengaitkannya dengan ilmu tentang realitas itu.
Bila Tuhan menyatakan bahwa :
Saitan,malaikat,sorga-neraka itu ada maka manusia sebenarnya tidak
berhak memvonis semua itu sebagai ‘tidak ada’ hanya karena dunia panca
indera manusia tidak bisa menangkapnya (dan karena itu belum menyadari
keberadaannya) sebab sekali lagi posisi manusia sebenarnya bukan penentu
‘ada’ hanya penangkap sebagian kecil ‘ada’.problem keberadaan
sorga-neraka kurang lebih sama dengan kasus planet planet itu tadi yang
karena manusia belum bisa menangkapnya maka tidak bisa dikatakan bahwa
planet planet itu’tidak ada’,planet planet itu ada hanya saja (saat itu)
manusia belum bisa menangkap keberadaannya.
(Jadi dalam berhadapan dengan problem realitas
manusia harus terlebih dahulu memposisikan dirinya hanya sebagai
penangkap sebagian kecil ada bukan penentu ada.sebab orang yang mudah
memvonis agama secara negative biasanya tanpa sadar di awal fikirannya
telah memposisikan diri sebagai ‘penentu ‘ada’).
Itulah sebab orang yang memvonis sorga-neraka tidak
ada karena tidak bisa dibuktikan secara empirik tidak bisa dikatakan
pernyataan yang berdasar ilmu sebab orang ini belum menyadari posisi
dirinya dalam berhadapan dengan realitas.
Kekeliruan vital dari prinsip Descartes diatas
kalau kita melihatnya dari kacamata sudut pandang Sang pencipta adalah
berupaya menjadikan kesadaran manusia sebagai parameter bagi sesuatu
untuk disebut atau dinyatakan sebagai ‘ada’ sebab salah satu kekeliruan
mendasarnya adalah terletak pada : bagaimana bila sesuatu itu memang
‘ada’ (karena ia diciptakan Tuhan untuk menjadi ada) tapi manusia tidak
menyadari keberadaannya (?)apakah yang diciptakan Tuhan untuk menjadi
ada itu harus dihapus dari daftar ‘ada’ hanya karena manusia tidak bisa
atau belum bisa menyadari keberadaannya (?)
Apakah konsep rasionalitas harus disandarkan pada
sesuatu yang melekat dalam diri manusia seperti ‘kesadaran’ atau yang
lebih ekstrim : ’penangkapan dunia inderawi’ atau harus disandarkan pada
sesuatu yang diluar manusia yang diciptakan oleh Tuhan sebagai konsep
hukum kehidupan yang bersifat hakiki dan pasti(?) bila rasionalitas
disandarkan pada kesadaran manusiawi maka ‘kebenaran rasional’ bisa
menjadi relative sebab tiap manusia bisa mengemukakan konsep yang
berbeda beda yang satu sama lain bisa saling berlawanan,tapi bila
kebenaran rasional disandarkan pada konsep hukum kehidupan (sunnatullah)
maka konsep kebenaran rasional akan memiliki dasar pijakan yang kuat
dan pasti.sebab cara berfikir logika akal manusia itu diciptakan Tuhan
berkarakter dualistik paralel dengan konsep hukum kehidupan yang
diciptakan secara dualistik (ada siang-malam,kehidupan-kematian dlsb.),
sehingga karena itu akal menjadi alat baca yang tepat untuk membaca
konsep hukum kehidupan.
Melalui rubrik ini saya mengajak siapapun untuk
mengoreksi apapun yang datang dari dunia filsafat,karena wacana filsafat
adalah olah fikir manusia yang terbatas yang selalu mungkin untuk jatuh
kepada benar atau salah sehingga derajat kebenaran yang datang dari
dunia filsafat selalu bersifat relatif, sehingga agar kita selalu bisa
bersikap kritis maka kita tak boleh menelannya secara mentah mentah.dan
janganlah sebuah pernyataan dianggap ‘benar’ hanya karena ia dikemukakan
oleh seorang ternama yang namanya telah tertulis dalam buku buku
sejarah filsafat sebab nama besar bukan ukuran kebenaran