Pertanyaan: Apa itu Teori Desain Inteligensia?
Jawaban:
Teori Desain Inteligensia mengatakan bahwa “sebab-sebab inteligensia
dibutuhkan untuk menjelaskan kompleksitas dan kekayaan informasi yang
terkandung dalam struktur-struktur biologi, dan penyebab-penyebab ini
dapat dideteksi secara empiris.” Fitur-fitur biologis tertentu
bertentangan dengan penjelasan “kesempatan secara acak” yang menjadi
standar penganut Darwin. Fitur-fitur tsb kelihatannya berdasarkan
rancangan. Karena secara logika desain membutuhkan desainer yang
berinteligensia, kesan adanya desain disebutkan sebagai bukti dari
seorang Desainer. Ada tiga argumen utama dari Teori Desain Inteligensia:
(1) Kompleksitas yang tak dapat dikurangi, (2) kompleksitas yang
ditentukan, dan (3) Prinsip Antropis.
(1) Kompleksitas yang tak dapat dikurangi didefinisikan sebagai “ …
sebuah sistim tunggal yang terdiri dari bagian-bagian yang berinteraksi
secara berpadanan dan menghasilkan fungsi dasar, di mana hilangnya salah
satu bagian itu mengakibatkan sistim itu secara efektif berhenti
berfungsi.” Secara sederhana, hidup terdiri dari bagian-bagian yang
berjalinan yang saling bergantung kepada satu dengan yang lain untuk
bisa berguna. Mutasi secara acak mungkin menyebabkan berkembangnya
bagian yang baru, namun tidak dapat menjelaskan perkembangan secara
serentak dari berbagai bagian yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistim
itu. Misalnya, mata manusia tentunya merupakan suatu sistim yang sangat
berguna. Tanpa bola mata (yang pada dirinya sendiri juga merupakan
merupakan sebuah sistim yang kompleksitasnya tak dapat dikurangi),
syaraf mata, dan lapisan mata (visual cortex), mutasi mata secara acak
sebetulnya bersifat kontra-produktif untuk kelangsungan hidup dari
spesies itu, dan karenanya akan lenyap melalui proses seleksi alam. Mata
bukanlah suatu sistim yang berguna kecuali kalau semua bagiannya
berfungsi dengan baik pada saat yang bersamaan.
(2) Kompleksitas yang ditentukan adalah konsep bahwa karena pola
kompleks yang tertentu dapat ditemukan pada organisme-organisme, maka
suatu bentuk tuntunan harus diperhitungkan bagi asal mula organisme itu.
Kompleksitas yang ditentukan mengatakan bahwa tidak mungkin untuk suatu
sebuah pola yang kompleks untuk berkembang melalui proses acak.
Contohnya, sebuah ruangan yang dipenuhi dengan 100 ekor monyet and 100
buah mesin ketik mungkin pada akhirnya akan menghasilkan beberapa kata,
atau bahkan mungkin beberapa kalimat, namun tidak akan pernah
menghasilkan drama Shakespeare. Dan makhluk biologis jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan drama Shakespeare.
(3) Prinsip antropis mengatakan bahwa dunia dan alam semesta ditata
sedemikian rupa untuk memungkinkan adanya kehidupan di planet bumi ini.
Kalau saja perbandingan unsur-unsur di udara diubah sedikit saja, banyak
spesies yang akan punah. Eksistensi dan perkembangan kehidupan di bumi
membutuhkan begitu banyak variabel yang perlu diharmoniskan secara
sempurna sehingga tidak mungkin untuk semua variabel itu untuk berada
secara acak dan tidak terkoordinasikan.
Walaupun Teori Desain Inteligensia tidak mencoba mengidentifikasikan
sumber inteligensia itu (apakah itu Allah atau UFO, dll), sebagian besar
penganut teori ini adalah kaum theis. Mereka memandang keberadaan
desain yang meliputi dunia biologis sebagai bukti dari keberadaan Allah.
Ada beberapa orang atheis yang tidak dapat menyangkal bukti kuat adanya
desain namun tidak bersedia mengakui Allah Pencipta. Mereka cenderung
menafsirkan data yang ada sebagai bukti bahwa bumi dibenihi oleh semacam
makhluk angkasa luar yang lebih unggul.
Teori Desain Inteligensia bukanlah Kreationisme Alkitabiah. Ada
perbedaan penting antara kedua posisi tsb. Penganut Kreationisme Alkitab
mulai dengan kesimpulan: bahwa kisah Alkitab mengenai penciptaan dapat
dipercaya dan benar adanya; bahwa kehidupan di atas bumi di desain oleh
Agen yang Berinteligensia (Allah). Mereka kemudian mencari bukti-bukti
dari alam untuk mendukung kesimpulan ini. Penganut Desain Intelligensia
mulai dengan alam dan baru kemudian tiba pada kesimpulan: bahwa hidup di
atas bumi ini dirancang oleh Agen yang Berinteligensia (siapapun itu).
Selasa, 30 April 2013
pembuktian keberadaan tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teologi dan kosmologi)
untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu
diikuti pula oleh para pemikir Islam. Di antara dalil yang banyak
dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metafisika.
Dalil kosmologi
melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian
sebab dan akibat. Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri
sendiri-sendiri, tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai
sebab-sebab dan akibat-akibat pada akhimya hubungan sebab akibat akan
berhenti satu sebab yang pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat
memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan
(berkeputusan).
Selanjutnya,
sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan
sendirinya bukan merupakan akibat. Jadi sebab pertama itu merupakan
kesudahan dari rentetan hubungan sebab dan akibat. Al Farabi dalam
membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik
tolak dari kenyataan yang disentuh dengan pancaindera (makhluk) untuk
kemudian sampai kepada pangkal pertama atau dari wujud yang nungkin kepada wujud yang Wajib.
Pangkal
pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat. ditangkap dengan
pancaindera. Jelasnya Al Farabi menggunakan dalilnya atas dasar
pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al Farabi “setiap sesuatu yang ada dasamya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”.
Kemungkinkan
adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya
itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakanya ke alam wujud ini.
Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang
tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang Illat itu tidak ada dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam
keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh adanya yang lain, dan
keadaan kedua, adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya
dan Sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya
dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu
buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab
perkawinan antara serbuk sari jantan dan sebuk sari betina yang ada pada
pohon, pohon tersebut juga sebagai Wujud yang mungkin dari sebab biji
buah yang ditanam. Dari rentetan tersebut tidaklah mungkin terjadi
perputaran yang melingkar atau sebab akibat yang tanpa berkesudahan.
Suatu
rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti suatu titik akhir
yaitu berkesudahan pada wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari
segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin ditentukan oleh sebab yang
lain, wujud yang wajib itu sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah). Pembuktian dengan kosmologi
seperti yang dilakukan oleh Al Farabi termasuk dalil sederhana mudah
dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal suatu keyakinan yang
mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari
kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud wajib yang harus diyakininya,
bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan
Hakekat Tuhan.
Wujud
a. Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata
dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud
yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya
sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada
dirinya sendiri.
- Wujud Yang Nyata dengan sendirinya, (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah)
Tuhan adalah wujud yang sempurna,
ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan
tidak sempurna lagi, berarti ada Tuhan bergantung kepada sebab yang
lain.
Tuhan adalah wujud yang mulia yang tidak berawal dan tidak berakhir,
sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali, Tuhan
juga wujud yang paling mulia, karena tidak memerlukan yang lain. Lain halnya dengan wujud yang mumkin (makhluk) yang terdiri dari Dzat dan bentuk, pada Tuhan tidak demiki adanya.
Apabila Tuhan terdiri dari unsur-unsur, maka dengan sendirinya akan terdapat susunan, bagian-bagian pada substansi-Nya. Jadi Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, sudah ada dengan sendirinya dan akan ada untuk selamanya.
Karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada. Substansinya itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadi wujud-Nya
Tuhan
Maha Esa, Maha Sempuma, karena kesempumaan wujud Tuhan tak ada yang
menyamai, maka wujudnya tak mungkin terdapat pada selain Tuhan, tidak ada yang seperti wujudNya. Dan tiada sekutu bagi diriNya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila terdapat hal-hal yang membatasi maka berarti Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali dengan batasan yang akan memberi pengertian pada manusia,
sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan menggunakan
golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian Dzat dan bentuk,
seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang. Lain halnya
dengan benda sebagaimana juga manusia, yang dapat diberi definisi
sehingga dapat.diketahui pengertian tentang manusia. Pada manusia dapat didefinisikan sebagai hewan yang berakal, hewan menunjukkan golongan, sedangkan berakal menunjukkan perbedaan yang ada dari golongan. Namun
Tidak demikian dengan Tuhan yang Mutlak, sebagai substansi, oleh sebab
itu definisi tentang Tuhan mustahillah dapat dirumuskan. Suatu rumus
definisi tentang Tuhan berarti akan menghilangkan keesaan Tuhan, hal
dikemukakan oleh Al-Farabi dalam pendapatnya.
Karena
Tuhan itu tunggal sama sekali, maka batasan (definisi) tentang Dia
tidak dapat diberikan sama sekali. Karena batasan berarti suatu
penyusunan yaitu dengan memakai spesies dan differentia (an nau wal fasl) atau dengan memakai hule dan form seperti halnya denga jauhar (benda) sedangkan kesemua itu adalah mustahil bagi Tuhan
Pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali (tiada bermula). Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya,
sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna,
maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam
definisi sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke
Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang
tidak terbatasKonsep Cinta
Ajaran
Islam yang menuntut penganutnya memberikan keutamaan cinta kepada Allah
Swt dan Rasulullah Saw sebelum cinta kepada yang lainnya.
Adalah bunga api hidup di bawah debu kita
Dengan cinta, ia jadi abadi
Lebih pintar, lebih membakar, lebih bersinar
Dari cinta bermula kegemilangan wujudnya,
Dan pembangunan kemungkinannya yang tidak diketahui
Keadaannya mengumpul api dari cinta
Cinta mengarahnya menyinari dunia
Cinta tidak takut pedang atau keris
Cinta bukan dilahirkan dari air dan udara dan tanah
Cinta mengadakan damai dan perang dalam dunia
Cinta ialah pancaran hidup
Cinta ialah pedang mati yang berkilauan
Batu yang paling keras retak oleh pandangan cinta
Cinta Allah akhirnya menjadi seluruhnya Allah
Dalam hati manusia bertempatnya Muhamamd
Tanah Madinah lebih manis dari kedua-dua alam
Oh gembiralah kota di mana tinggalnya yang dicinta
Konsep Berpikir Sederhana
Dasar berpikir, (berfilsafat) "alinsanu hawananunatik" manusia adalah hewan yang bisa berpikir; manusia diberikelebihan dari mahluk makluk lain. suatu keungulan bagi manusia yang mampu mengunakan akal pikiran secara maksimal dan terarah ;
Konsep
Filsafat dalam Islam sediri didasarkan oleh Kitab Suci Al-Qur'an dan
Hadist Nabi ; kemudian dikembangkan oleh pemikir pemikir Islam yang
ternama Seperti : Ibnu Rusd, Al-Kinddi, Al-Farabi, Ibu Sinna dan
lain-lain ;
Dasar pemikir Islam secara singkat dapat dimengerti bahwa Al-Qur'an merupakan "Hudalinnas Wabayinta walfurqon" yang berarti Al-Quran sebagai Petunjuk bagi manusia untuk membedakan antara yang Hak & yang Batil. untuk itu seluruh umat manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki maka harus merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadist ;
Khusus
umat Islam wajib dapat membaca, memahami dan mengamalkan Al-Qur'an.
untuk pemahaman ada dua makna yang harus dimengerti yaitu "Makna yang
sudah jelas (tidak perlu penjelasan lagi karna makna sudah dapat
dimengerti dari artinya) dan makna yang belum jelas (yang harus
ditafsirkan kembali),
Ex " salah satu ayat "Inamal khamru walmaisyiru walanshobu walajlamu rizsunminamalli syaithon yastanibu laalahum yarsudhun" Artinya Sesungguhnya
khomer (sesuatu yang memabukkan) sirik kepada Allah (menyembah selain
Allah SWT) mengundi nasib (berjudi) ; adalah najis semata-mata perbuatan
setan" makna diatas sangat jelas, gamblang atau tidak ada keraguan dan tidak perlu ditafsirkan lagi.
Dari sisi lain ada ayat ayat yang sifatnya mutashabihat (kurang jelas/samar) dan perlu penafsiran yang disumberkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan pembawa risalah "Ex. Perintah sholat dalam Al-Qur'an, sholat bagaimana tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an ; nah kita harus merujuk bagaimana sholat Nabi Muhammad SAW yang dilakukannya dan diajarkan kepada Sahabat, Thabiin, Thabiinathabiin, ulama hingga sampai sekarang "maka keotentikan dan kemurniannya akan terus terjaga hingga akhir Dunia.seiring dengan perkembangan kemajuan zaman/akhir zaman ; manusia sebagai makhluk yang berpikir terus mengembangkan pemikirannya melalui teori teori ; dan penemuan penemuan; yang pada dasarnya untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri. kendati demikian sebagai seorang pemikir Islam tidak terlepas dari petunjuk yaitu Al-Qur'an & Hadist agar tidak tersesat
teori gradasi wujud
Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan fundamental dalam
filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan
transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang
terus-menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas
dan dalam.
Tuhan
ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian
muncul bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar
pemikiran filsafat Shadrian. Karena menurut pandangan pencetus aliran
ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan landasan bagi isu-isu
filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan,
manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah)?
Melalui
pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan
prinsip-prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud), kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan apakah itu wujud?
Defenisi Wujud
Wujud
mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai
konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu
niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi
Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek filsafat pertama atau
metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi
ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas yang
diabtraksikan benak dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud
ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas daripadanya. Oleh karena
itu pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang demikian
sulit jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini
mengingat bahwa untuk mendefenisikan suatu objek diperlukan suatu hal
yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang
wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam
benak.[2]
Tiga prinsip Filsafat Mulla Shadra
Pertama, ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud).
Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya
analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra menemukan suatu
pemahaman bahwa keseluruhan eksisistensi bukanlah sebagai objek-objek
yang ada (exist) atau maujud-maujud (existents), yang menemukan
partikularitasnya di dunia objektif karena berbagai
kuiditas yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu
realitas tunggal. Pembahasan mengenai hubungan wujud dan kuiditas
(mahiyah) akan dibahas pada prinsip yang ketiga yaitu tentang ashalah al-wujud.[3]
Teori wahdah al-wujud
mula-mula dicetuskan oleh Ibnu ‘Arabi. Teori yang diperkenalkan oleh
Ibnu ‘Arabi tersebut lebih bernuansa sufistik daripada filososfis. Ibnu
‘Arabi melihat tatanan wujud sebagai penjelmaan (tajalliyat)
dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan pada cermin ketiadaan. Penafsiran
terhadap teori ini kemudian diradikalkan oleh Ibnu Sab’in sebagai teori
kesatuan wujud yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang
selainnya hanyalah ilusi. Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan
penghubungannya antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi
laiknya cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu
sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang
sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed Hossein Nasr, wahdah al-wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat Shadra, tanpa fondasi itu seliruh pandangan dunianya akan rapuh.[4]
Permasalahannya
kemudian, jika yang wujud hanyalah satu, apakah ada yang terdapat pada
Tuhan sama dengan ada pada manusia dan spidol? Jika Tuhan sama dengan
ada, manusia sama dengan ada, dan spidol sama dengan ada, bisakah
proposisi ini dibalik menjadi ada sama dengan Tuhan dan seterusnya?
Mulla Shadra menyatakan bahwa ada itu setara dan sama bagi semua benda,
baik yang konkret maupun yang abstrak. Kedati demikian, adanya Tuhan
adalah ada murni sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan
esensi. Hal ini bisa dipahami karena menurut Shadra, semakin sempurna
suatu wujud, semakin sedikit esensi yang ditunjukkannya.[5]
Wujud
adalah satu realitas yang membentang yang kemudian menemukan
partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Dari sini
kemudian muncul prinsip yang kedua, ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).
Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat hierarkis. Wujud tersebut
membentang membetuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke tingkatan
yang lebih rendah.
Mulla
Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan dan gradasi. Teori
ini menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang
juga menyatukan mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu
disatukan oleh cahaya, tetapi satu sama lainnya juga dibedakan oleh
intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing. Namun berbeda dengan
iluminisme yang mengalami graditas dalam esensi, Mulla Shadra
menempatkan graditas tersebut pada eksistensi.[6]
Fazlur
Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang menyatakan
keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:
- Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhlu yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu atai analog, tetapi perbedaan yang mencolok,
- Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik,
- Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam, dan dilamapaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.)[7]
Prinsip ketiga yang kemudian menjadi dasar filsafat Shadra adalah ashalah al-wujud. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal.
Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai merebak semenjak Ibnu
Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi
(wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua
realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud
(eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten)
adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[8]
Namun, perdebatan yang sangat sengit terjadi antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud
yang diwakili oleh Mulla Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud,
karena kedudukannya sebagai sifat umum segala yang ada, yaitu konsep
yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder yang
tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep
dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita
menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang sebenarnya, maka
esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab, apabila
kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud
lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia
tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.[9]
Berbeda
dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah
wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya
wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh
realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang
paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke
dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud.
Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari
pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu
sendiri.[10]
Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:[11]
Pertama,
esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi
predika “ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi
(realitas) itu sendiri, maka tidak dapat dinegasikan, karena menegasi
inti atau dzat adalah mustahil dank arena ada realitas yang ekstrim,
tidak netral terhadap ada dan tidada.
Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi adalah ciri pembeda antar segala sesuatu.
Ketiga,
sesuatu disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai
eksistensi. Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila
menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang riil dan objektif hanyalah
eksistensi.
Keempat,
karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak
wujud-lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak
mungkin menjadi prinsip dan sumber pengaruh riil, kebaikan dan
kesempurnaan.
Kelima,
perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif
adalah bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan,
sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif
yang diniscayakan. Seandainya esensi (kuiditas) adalah sejati (orisinal
atau nyata), maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif
serta pengaruh-pengaruh subjektif. Namun kenyataan empirik menyatakan
sebaliknya.
Keenam,
berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada,
menjadi ada. Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan
sesuatu yang netral, tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula
tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada, dan
karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa
wujud lebih mendasar dan nyata.
Ketujuh,
setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju
kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.
Demikianlah
pembahasan seputar masalah wujud dalam filsafat Shadra. Seyyed hossein
Nasr menyatakan bahwa ajaran metafisika Mulla Shadra sebenarnya bukan
hanya bisa dipahami melalui prinsip-prinsip ini, namun juga dengan
mengetahui hubungan–hubungan yang terjalin di antara mereka.[12]
Wujud tidak hanya satu, melainkan juga bergradasi. Selanjutnya wujud
tidak hanya bergradasi melainkan juga sejati dan mendasar yang
memberikan kesejatian kepada esensi.
m
teori paripatetik
istilah “paripatetik” merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam
mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Paripatetik (masya’un)
berarti “ia yang berjalan memutar atau berkeliling”. Dan ini merujuk
pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi
murid-muridnya, ketika ia mengajarkan Filsafat. Dengan demikian istilah
paripatetik merujuk kepada para pengikut setia Aristoteles. Sekedar
untuk diketahui saja, dalam islam kita memiliki bebrapa aliran
non-paripatetik.
Dalam islam, kita mengenal beberapa filosof yang dapat dikategorikan kedalam aliran ini, yaitu al-Kindi, al-Farabi, ibn siena, Ibn rusd, dan Nashir al-Din Thusi.
Ciri khas aliran paripatetik ini membedakan dari aliran-aliran lainya. Ciri khas aliran ini dari sudut metodologis atau epistimologis, dan itu bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau penjelasan para filosof paripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat sebagai “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang mereka sebut dengan premis (mayor dan minor), dan setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis diatas yang biasa disebut “midle term” atau al-hadd al-awsath.
(2) karna sifatnya yang diskursif, maka filsafat yang mereka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol baik berupa kata-kata atau konsep maupun representatif. Modus pengetahuan seperti ini biasa disebut husuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung melalui prantara, atau yang saya sebut dengan “infrensial” dan biasanya dikontraskan sengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran. (3) ciri lain dari filsafat paripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritaskan pengenalan intuitif, yang sangat dikenal dalam aliran lain, seperti Isyraqi (iluminasionis) maupun Irfani (gnostik). Akibat penekanan yang kuat terhadap daya-daya akliah, maka mereka dikatakan oleh aliran lain sebagai tidak memperoleh pengetahuan yang otentik (yang biasanya diperoleh melalui pengalaman mistik) tetapi lebih bergantung pada otoritas para pendahulu mereka. Tidak berarti mereka tidak mengakui adanya intuisi suci, tetapi bagi mereka nampaknya itu hanya dimiliki para Nabi dan wali. Adapun mereka sendiri lebih menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau kekuatan akal semata. Karna itu aliran paripatetik barangkali pantas disebut sebagai wakil dari kaum rasionalis islam.
Ciri khas lain dari aliran paripatetik ini berkaitan dengan aspek ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi dan bentuk.
Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasilreformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain daripada bayang-bayang dari idea-idea yang ada di dunia atas-yang kemudian bisa disebut idea-idea plato (platonic ideas). Ide-ide ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk disini bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam Esensi (hakikat) dari sesuatu, sedangkan materi adalah bahan, yang tidak akan mewujud (atau muncul dalam bentuk aktualitas ) kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi.
Di dunia islam hampir semua filosof paripatetik, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, memiliki pandangan Hylomorfis ini, dan mungkin karna itu maka para filosof di atas disebut filosof paripatetik(masya’iyyun), yang dapat dibedakan dari aliran filsafat lainya, yaitu isyraqi (iluminasionis).
Indikasi yang kuat dari ajaran hylomorfis ini dapat dilihat dari ajaran para filosof paripatetik muslim, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina, yang menyebut akal aktif sebagai pemberi bentuk. Ajaran ini mengatakan bahwa alam fisik ini terdiri atas materi dan bentuk. Materi harus difahami disini sebagai bahan, yang potensial menerima bentuk apapun, tetapi tidak/belum lagi berbentuk fisik. Ibn Sina menyebut materi ini sebagai mumkin al-wujud, yaitu kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi untuk mewujud. Nah, agar potensi-potensi ini mewujud atau mengaktual maka perlu ditambahkan atau diberikan kepadanya bentuk. Semua benda yang dapat kita lihat di alam semesta ini tentu saja telah mendapatkan bentuknya masing-masing. Menurut keyakinan mereka, akal aktiflah,-bisa diidentikkan dengan malaikat jibril,-yang telah memberikan bentuk-bentuk tertentu kepada benda-benda tersebut. Itulah sebabnya maka akal aktif itu disebut “wahib al-shuwar” atau “pemberi bentuk”.
Ciri terakhir dari paripatetik islam yang agak menyimpang dari Aristotelianisme murni adalah apa yang kemudian dikenal dengan ajaran atau teori emanasi. Bahkan, bukan hanya al-Farabi dan Ibn Sina yang mempertahankan ajaran ini, tetapi juga suhrawardi, pendiri aliran Isyraqi –tentunya dengan modifikasi yang cukup fundamental, seperti yang akan kita jelaskan setelah ini.
alam ajaran paripatetik sangatlah khas dengan teorinya yang berkenaan dengan aspek ontologis. Yang pertama adalah ajaran yang disebut dengan hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang terjadi didunia ini terdiri atas dua unsur yaitu materi dan bentuk, yang kedua dan yang paling khas dan juga unik adalah ajaran dari parepatetik islam adalah yang disebut emanasi .
Emanasi yang secara bahasa berarti menurun adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari zat yang wajibul wujud (tuhan).
berawal dari al-Farobi yang merasa kecewa dengan buku metafisikanya Aristoteles yang tidak banyak membahas tentang tuhan, padahal tuhan sendiri menjadi objek kajian atau tema-tema yang sangat penting dalam pandangan islam, belum lagi tidak adanya keterangan yang menerangkan tentang bagaimana tuhan menciptakan alam ini.
Atas hal ini, Al-Farobi merasa kurang terpuaskan oleh pemikiran aristoteles, yang belum bisa menjelaskan bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam berikut isinya yang beraneka. Disisi lain pada waktu itu tengah ramai-ramainya beredar dictum filosofis yang telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu hanya akan muncul yang satu juga. Dictum ini yang kemudian memunculkan ajaran yang disebut “murajjih” atau alasan yang memadai (sufficient reason). Hal inilah yang kemudin mendorong Al-Farobi berfikir keras untuk memecahkan persoalan ini, hingga tibalah Al-Farobi pada teori emanasi Plotinus[1], juga disesuaikan dengan teori astronomis yang berkembang pada saat itu, hingga Al-Farobi menghasilkan teori emanasinya sendiri yang tentu saja lebih hebat dari Plotinus.
Menurut Al-Farobi yang pertama ada tentunya adalah tuhan yang maha esa (the true one). Dan tuhan ini digambarkan sebagai “akal” yang tugasnya berfikir, dan sebagai konsekwensi pemikiranya munculah akal pertama, sampe disini belum terjadi potensi keberagaman smapai akal pertama terbentuk barulah potensi itu mulai mulai Nampak. Mengapa demikian? Karena akal pertama telah bisa berpikir bukan hanya tentang tuhan, namun berpikir tentang dirinya sendiri juga, dari sini kita bisa melihat bahwa akal pertama memiliki dua prinsip yaitu keesaan yang bisa menghasilkan akal berikutya, juga prinsip keanekaan dan memunculkan benda-benda samawi. Dan inilah yang terjadi selanjutnya sampai akal ke-10. Dengan demikian maka Al-Farobi merasa bahwa dirinya telah dapat memecahkan pertanyaan tentang bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam dan isinya yang beraneka.
Dalam kejadian terbentuk akal ke-10, disinilah terdapat ajaran yang namanya “hilomorfisme” yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada didunia ini terdiri atas dua unsur utama yaitu bentuk dan materi.
Akal ke-10, berpikir namun tidak menghasilkan akal seterusnya karena sampai akal ke-10 ini emanasi sudah sempurna, jadi akal ke-10 bertugas memberi bentuk kepada apa yang dihasilkan oleh bulan yaitu materi, namun materi disini adalah materi primer yaitu empat elemen kehidupan seperti angin,air,api dan udara. Dalam prosesnya elemen-elemen itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai tumbuhan, dan meregang sebagai hewan sehingga padapuncaknya terwujudlah sebagai manusia.
Sebagai puncak proses kejadian fisik, manusia memadukan seluruh elemen primer secara amat kompleks, sehingga disebutkan dalam teori ini kemampuan manusia yang pertamakalinya muncul adalah kemampuan tumbuh kembang,selanjutnya adalah kemampuan mengindra, lalu berhasrat, berhayal dan terakhir adalah berpikir. Itu sebabnya sampai saat ini kita sering menjumpai sebuah argument bahwa manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna.
Aliaran-aliran filsafat islam
1. Paripatetik
2. Illuminasi
3. Irfan
4. Himah muta'aliyyah
a. paripatetik
filsafat ini di ambil dari filsafat aristoteles yang mengacu pada akal dan logika.
a.1. Epistemologi
Bentuk dan materi yang berubah adalah materinya tapi bentuknya tidak (idea)
contoh: spidol ketika terkena cahaya akan menghasilkan bayangan, dan yang di sebut dengan materinya adalah banyangan, ketika cahaya berpindah bayangan akan selalu berubah atau bergerak tapi untuk spidolnya (bentuk) tidak akan berubah.
Herkalitos mengatakan: "segala sesuatu ada perubahannya", namun berbeda dengan Plato ia mengatakan bahwa: yang berubah hanyalah materinya.
a.2. Ontologi
Hylenormatis : segala sesuatu berasal dari materi. dan materi adalah bahan yang berpotensi
namun prinsip dari filsafat adalah "materi itu tidak bisa mewujudkan dirinya sendir. (mungkirul wujud) untuk bisa mewujudkan dirinya butuh dengan wujud yang actual (wajibul wujud)
.
contoh: perempuan mempunya potensi hamil namun perempuan tidak bisa menghamili dirinya sendiri dia membutuhkan seorang laki-laki untuk mengembangkan potensinya.
dalam filsafat wajibul wujud adalah yang actuall yakni Allah dan Alam. namun Allah wajibul wujud li dzatihi dan alam wajibul wujud li ghairihi. dan Allah juga di sebut dengan Actuall murni yang tidak berawal fdan tidak ada akhir.
mustahil wuijud adalah musthail Allah yidak actuall dan berpotensi.
Contoh: bisahkah Allah maha kuasa membunuh dirinya sendiri? tentu tidak bisa karena kata bisa di analogiikan seperti di atas, kalau bisa berarti bukan mustahil wujud melainkan mungkiru;l wujud.
A.3. Kosmologi
untuk kosmologi paripatetik ini mengacu pada teori Imanasi yang berasal dari aliran Neo-platonisme yang dikembangkan oleh Al-Farabi sekaligus orang pertama yang merumuskannya.
Kedua pemikir ini mewakili madzhab dan langgam pemikiran yang parallel, yakni
mencoba menggabungkan antara paripatetik (masha>’iyah) dengan iluminatif (‘irfa>ni).
Untuk itu, dalam penelitian ini, pemikiran mereka dihadirkan secara bersamaan dalam satu
bingkai, untuk melihat titik bidik epistemolog baya>ni burha>ni dan ‘irfa>ni dalam satu
mainstream pemikiran.
Epistemologi Shuhrawardi>
Karya-karya Shiha>b al-Di>n Yahya> al-Shuhrawardi>, yang digelari sebagai
Shaikh Al-Ishra>q (Guru Besar Filsafat Illuminasionis), sampai sekarang mendapat posisi
yang istimewa di berbagai sekte sufi (t}uruq al-S{u>fiyyah). Buah pemikiran al-
Shuhrawardi> membuka wacana pembaharuan pemikiran yang dilestarikan oleh banyak
pemikir dan juru spiritual (al-ru>ha>niyyi>n) sampai sekarang. Mempelajari
epistemologi Al-Shuhrawardi>, sama dengan mempelajari sinkretisasi tiga displin ilmu
sekaligus: kala>m (Islamic Theology), filsafat dan tasawuf.
Nama lengkap al-Shuhrawardi> adalah Abu> al-Futu>h Yahya> ibn Habsh ibn
Ami>rik. Beliau lahir pada 549 H/1155 M di Barat Laut Iran di kota Shuhraward, kota di
mana sering terjadi bentrokan peperangan. Sejak belia, dia menuntut ilmu di Mara>ghah
daerah Adzbija>n. Kemudian menuju As}biha>n di pusat Iran. Di sana beliau
menyaksikan rintisan-rintisan filsafat Ibn Sina dilestarikan. Kemudian menghabiskan
beberapa tahun di Ana>dlu>l, menimba ilmu kepada banyak pejabat dinasti Saljukiyah
dengan penuh antusias. Terakhir menuju Syiria dan tidak pernah kembali dari sana. Di
daerah inilah beliau dituduh mengajarkan ajaran yang kontradiktif dengan ajaran
mainstream sehingga- atas desakan S{alahuddin al-Ayyu>bi kepada putranya, Al-Ma>lik
al-D{a>hir, yang jadi hakim di sana- difatwa sebagai kafir dan sesat. Akhirnya beliau
mati secara misterius (digantung, dipenjara, mogok makan, dibunuh dengan pedang atau
dibakar?) pada 587 H/1191 M. Sehingga total umur beliau adalah 36 tahun (38 tahun
Qamariyyah). Para sejarawan umumnya menjulukinya dengan al- Shaikh al-Maqt}u>l,
(maha guru yang terpancung), sedangkan para muridnya mengagungkannya dengan
sebutan al-Shaikh al-Shahi>d, (maha guru yang gugur dalam keshahidan).
Shuhrawardi> merupakan tokoh yang pertama kali berani menantang hegemoni
filsafat paripatetik pada abad enam Hijriyah. Kemudian berusaha membangun aliran
filsafat baru yang bernama falsafah ishra>qiyyah (filsafat illuminasi). Karir intelektual Al-
Shuhrawardi> bermula sebagai seorang sufi, kemudian sebagai seorang filosof paripatetik.
Puncak dari ajaran filsafatnya berupa h}ikmah al-ishra>q, dengan nama kitab master
piece-nya yang sama, yang merupakan gabungan antar filsafat dan tashawwuf. H{ikmah
al-Ishra>q dibangun atas dua hal: al-h}ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah aldhauqiyyah.
Al-H}ikmah al-baht}iyyah (disebut juga h}ikmah al-Fala>sifah) dibangun
atas dasar metodologi analisis, komposisi, istidla>l al-burha>ni>; dan bertujuan
mencapai hakikat. Sementara al-h}ikmah al-dhauqiyyah (disebut juga h}ikmah alishra>
qiyyi>n) merupakan buah dari eksperimen spiritual menghampiri sang Maha tahu.
Sejatinya tidak ada kontradiksi esensi antara satu sama lain. Yang terjadi hanya sebatas
kontradiksi lahir. Karena puncak dari h}ikmah al-ishra>q adalah eklektisasi antara alh}
ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah al-dhauqiyyah, memperkokoh hikmah yang
pertama sekaligus mempertajam aura hikmah yang kedua.65 Al-Ishra>q adalah
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa ketika tajarrud atau khalwah. Jadi h}ikmah al-ishra>q adalah
hikmah yang dibangun atas dasar epistemologi al-ishra>q (illuminasionis) yang
merupakan kashf atau h}ikmah ‘ala> musha>riqah (bangsa Persia klasik). Definisi ini
mengisyaratkan: pertama, bahwa al-ishra>q adalah sumber al-h}ikmah al-ishra>qiyyah.
Ia mengandung konsep manifestasi atau pembasisan alam realita. Manifestasi ini
merupakan kerja aktif jiwa yang mampu menahan curahan kashf. Kedua, terdapat
sinonimitas antara kata ishra>qi> dan mashriqi>, yang bermakna memahami ishra>qi>
dengan logika h}ikmah mashriqi>yyi>n. Ketiga, para juru hikmah Persia klasik
membangun epistemologi filsafatnya atas dasar kashf atau musha>hadah yang bermakna
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa setelah tajarrud atau khalwah.
Karena itu filsafat Illuminasi (falsafah ishraqiyyah) adalah antonim dari filsafat
paripatetik (falsafah masha>iyyi>n) di mana yang kedua berbasis analisis, bukti-bukti
rasional-logis, sementara yang pertama berbasis kashf dan dauq s}ufi>.66 Ada istilahistilah
asing yang digunakan al-Shuhrawardi> dalam karya-karyanya, sebagai berikut:67
(1) al-k{air= al-ru>ha>ni>; (2) al-ma>ddi>= al-maz}lam; (3) al-anwa>r = al-‘uqu>l;
(4) al-anwa>r al-qa>hirah = ‘uqu>l al-afla>k; (5) al-anwa>r al-mujarradah = al-nufu>s
al-insa>niyyah; (6) nu>r al-anwa>r = Allah, Tuhan, God; (7) al-jauhar al-muz}lim au algha>
siq= al-jism; (8) ‘a>lam al-bara>zikh = ‘a>lam al-ajsa>m.
Logika Illuminasi merupakan ringkasan dari logika paripatetik-Aristotelian.
Logika ini terinspirasi oleh spirit-spirit sufi dengan kosep keesaannya. Logika Illuminasi
melebur qad}i>yyah muja>bah dan qad}i>yyah sa>libah menjadi hanya satu, yaitu
qad}i>yyah muja>bah ma’du>lah dengan cara memindahkan seluruh nafy ke bagian
mahmu>l.68 Bila logika paripatetik-Aristotelian mengkomposisikan definisi (ta’ri>f)
dengan jins dan dhat kha>s}, maka logika Illuminasi mengkritik pemahaman ini. Karena
bagi al-Shuhrawardi>, dhat kha>s} itu unknowable (majhu>l, tidak dapat diketahui
dengan pasti). Sesuai dengan prinsip logika paripatetik-Aristotelian sendiri, sesuatu yang
majhu>l hanya bisa dipahami dari yang ma’lu>m. Lantas al-Shuhrawardi> menawarkan
konsep baru tentang definisi (h}add), yakni melalui dua metode: Pertama, metode alih}
sa>s (inderawi); perkara-perkara yang mah}su>sa>t mampu dipahami secara
sempurna. Kedua, metode kashf dan ‘iya>n.
Dalam masalah qad}aya>, logika al-Shuhrawardi> melebur qad}aya> kulliyyah
dan qad}a>ya> juziyah menjadi qad}a>ya kulliyyah saja. Karena qad}a>ya> kulliyyah
adalah asal sedangkan qad}a>ya> juziyah adalah derivasi atau turunan darinya. Sesuatu
yang bukan asal tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang meyakinkan.
Madhhab al-ishra>qi> ini berkaitan erat dengan filsafat Persia klasik sekaligus
filsafat Neo-Platonisme khususnya pada konsep illuminasi (al-faid}, curahan) dan cahaya
(al-nu>r). Madhhab al-ishra>qi> tidak lepas dari madzhab al-faid} yang mendahuluinya
sekaligus mempengaruhinya. Karena itu, madzhab ini bisa dianggap- terutama dalam
konsep al-bina> al-wuju>di> sebagai penerus dari metodologi teori “akal sepuluh” (al-
‘uqu>l al-‘ashrah); atau sebagai kritik konsep “akal sepuluh” tidak dari sigi proses, tetapi
dari kuantitasnya. Karena kritikan penting yang dihujamkan oleh Al-Shuhrawardi> kepada
teori penciptaan kosmos paripatetik-aristotelian berorientasi pada memperbanyak jumlah
dan bilangan akal.
Dalam islam, kita mengenal beberapa filosof yang dapat dikategorikan kedalam aliran ini, yaitu al-Kindi, al-Farabi, ibn siena, Ibn rusd, dan Nashir al-Din Thusi.
Ciri khas aliran paripatetik ini membedakan dari aliran-aliran lainya. Ciri khas aliran ini dari sudut metodologis atau epistimologis, dan itu bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau penjelasan para filosof paripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat sebagai “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang mereka sebut dengan premis (mayor dan minor), dan setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis diatas yang biasa disebut “midle term” atau al-hadd al-awsath.
(2) karna sifatnya yang diskursif, maka filsafat yang mereka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol baik berupa kata-kata atau konsep maupun representatif. Modus pengetahuan seperti ini biasa disebut husuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung melalui prantara, atau yang saya sebut dengan “infrensial” dan biasanya dikontraskan sengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran. (3) ciri lain dari filsafat paripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritaskan pengenalan intuitif, yang sangat dikenal dalam aliran lain, seperti Isyraqi (iluminasionis) maupun Irfani (gnostik). Akibat penekanan yang kuat terhadap daya-daya akliah, maka mereka dikatakan oleh aliran lain sebagai tidak memperoleh pengetahuan yang otentik (yang biasanya diperoleh melalui pengalaman mistik) tetapi lebih bergantung pada otoritas para pendahulu mereka. Tidak berarti mereka tidak mengakui adanya intuisi suci, tetapi bagi mereka nampaknya itu hanya dimiliki para Nabi dan wali. Adapun mereka sendiri lebih menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau kekuatan akal semata. Karna itu aliran paripatetik barangkali pantas disebut sebagai wakil dari kaum rasionalis islam.
Ciri khas lain dari aliran paripatetik ini berkaitan dengan aspek ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi dan bentuk.
Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasilreformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain daripada bayang-bayang dari idea-idea yang ada di dunia atas-yang kemudian bisa disebut idea-idea plato (platonic ideas). Ide-ide ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk disini bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam Esensi (hakikat) dari sesuatu, sedangkan materi adalah bahan, yang tidak akan mewujud (atau muncul dalam bentuk aktualitas ) kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi.
Di dunia islam hampir semua filosof paripatetik, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, memiliki pandangan Hylomorfis ini, dan mungkin karna itu maka para filosof di atas disebut filosof paripatetik(masya’iyyun), yang dapat dibedakan dari aliran filsafat lainya, yaitu isyraqi (iluminasionis).
Indikasi yang kuat dari ajaran hylomorfis ini dapat dilihat dari ajaran para filosof paripatetik muslim, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina, yang menyebut akal aktif sebagai pemberi bentuk. Ajaran ini mengatakan bahwa alam fisik ini terdiri atas materi dan bentuk. Materi harus difahami disini sebagai bahan, yang potensial menerima bentuk apapun, tetapi tidak/belum lagi berbentuk fisik. Ibn Sina menyebut materi ini sebagai mumkin al-wujud, yaitu kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi untuk mewujud. Nah, agar potensi-potensi ini mewujud atau mengaktual maka perlu ditambahkan atau diberikan kepadanya bentuk. Semua benda yang dapat kita lihat di alam semesta ini tentu saja telah mendapatkan bentuknya masing-masing. Menurut keyakinan mereka, akal aktiflah,-bisa diidentikkan dengan malaikat jibril,-yang telah memberikan bentuk-bentuk tertentu kepada benda-benda tersebut. Itulah sebabnya maka akal aktif itu disebut “wahib al-shuwar” atau “pemberi bentuk”.
Ciri terakhir dari paripatetik islam yang agak menyimpang dari Aristotelianisme murni adalah apa yang kemudian dikenal dengan ajaran atau teori emanasi. Bahkan, bukan hanya al-Farabi dan Ibn Sina yang mempertahankan ajaran ini, tetapi juga suhrawardi, pendiri aliran Isyraqi –tentunya dengan modifikasi yang cukup fundamental, seperti yang akan kita jelaskan setelah ini.
alam ajaran paripatetik sangatlah khas dengan teorinya yang berkenaan dengan aspek ontologis. Yang pertama adalah ajaran yang disebut dengan hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang terjadi didunia ini terdiri atas dua unsur yaitu materi dan bentuk, yang kedua dan yang paling khas dan juga unik adalah ajaran dari parepatetik islam adalah yang disebut emanasi .
Emanasi yang secara bahasa berarti menurun adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari zat yang wajibul wujud (tuhan).
berawal dari al-Farobi yang merasa kecewa dengan buku metafisikanya Aristoteles yang tidak banyak membahas tentang tuhan, padahal tuhan sendiri menjadi objek kajian atau tema-tema yang sangat penting dalam pandangan islam, belum lagi tidak adanya keterangan yang menerangkan tentang bagaimana tuhan menciptakan alam ini.
Atas hal ini, Al-Farobi merasa kurang terpuaskan oleh pemikiran aristoteles, yang belum bisa menjelaskan bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam berikut isinya yang beraneka. Disisi lain pada waktu itu tengah ramai-ramainya beredar dictum filosofis yang telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu hanya akan muncul yang satu juga. Dictum ini yang kemudian memunculkan ajaran yang disebut “murajjih” atau alasan yang memadai (sufficient reason). Hal inilah yang kemudin mendorong Al-Farobi berfikir keras untuk memecahkan persoalan ini, hingga tibalah Al-Farobi pada teori emanasi Plotinus[1], juga disesuaikan dengan teori astronomis yang berkembang pada saat itu, hingga Al-Farobi menghasilkan teori emanasinya sendiri yang tentu saja lebih hebat dari Plotinus.
Menurut Al-Farobi yang pertama ada tentunya adalah tuhan yang maha esa (the true one). Dan tuhan ini digambarkan sebagai “akal” yang tugasnya berfikir, dan sebagai konsekwensi pemikiranya munculah akal pertama, sampe disini belum terjadi potensi keberagaman smapai akal pertama terbentuk barulah potensi itu mulai mulai Nampak. Mengapa demikian? Karena akal pertama telah bisa berpikir bukan hanya tentang tuhan, namun berpikir tentang dirinya sendiri juga, dari sini kita bisa melihat bahwa akal pertama memiliki dua prinsip yaitu keesaan yang bisa menghasilkan akal berikutya, juga prinsip keanekaan dan memunculkan benda-benda samawi. Dan inilah yang terjadi selanjutnya sampai akal ke-10. Dengan demikian maka Al-Farobi merasa bahwa dirinya telah dapat memecahkan pertanyaan tentang bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam dan isinya yang beraneka.
Dalam kejadian terbentuk akal ke-10, disinilah terdapat ajaran yang namanya “hilomorfisme” yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada didunia ini terdiri atas dua unsur utama yaitu bentuk dan materi.
Akal ke-10, berpikir namun tidak menghasilkan akal seterusnya karena sampai akal ke-10 ini emanasi sudah sempurna, jadi akal ke-10 bertugas memberi bentuk kepada apa yang dihasilkan oleh bulan yaitu materi, namun materi disini adalah materi primer yaitu empat elemen kehidupan seperti angin,air,api dan udara. Dalam prosesnya elemen-elemen itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai tumbuhan, dan meregang sebagai hewan sehingga padapuncaknya terwujudlah sebagai manusia.
Sebagai puncak proses kejadian fisik, manusia memadukan seluruh elemen primer secara amat kompleks, sehingga disebutkan dalam teori ini kemampuan manusia yang pertamakalinya muncul adalah kemampuan tumbuh kembang,selanjutnya adalah kemampuan mengindra, lalu berhasrat, berhayal dan terakhir adalah berpikir. Itu sebabnya sampai saat ini kita sering menjumpai sebuah argument bahwa manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna.
Aliaran-aliran filsafat islam
1. Paripatetik
2. Illuminasi
3. Irfan
4. Himah muta'aliyyah
a. paripatetik
filsafat ini di ambil dari filsafat aristoteles yang mengacu pada akal dan logika.
a.1. Epistemologi
Bentuk dan materi yang berubah adalah materinya tapi bentuknya tidak (idea)
contoh: spidol ketika terkena cahaya akan menghasilkan bayangan, dan yang di sebut dengan materinya adalah banyangan, ketika cahaya berpindah bayangan akan selalu berubah atau bergerak tapi untuk spidolnya (bentuk) tidak akan berubah.
Herkalitos mengatakan: "segala sesuatu ada perubahannya", namun berbeda dengan Plato ia mengatakan bahwa: yang berubah hanyalah materinya.
a.2. Ontologi
Hylenormatis : segala sesuatu berasal dari materi. dan materi adalah bahan yang berpotensi
namun prinsip dari filsafat adalah "materi itu tidak bisa mewujudkan dirinya sendir. (mungkirul wujud) untuk bisa mewujudkan dirinya butuh dengan wujud yang actual (wajibul wujud)
.
contoh: perempuan mempunya potensi hamil namun perempuan tidak bisa menghamili dirinya sendiri dia membutuhkan seorang laki-laki untuk mengembangkan potensinya.
dalam filsafat wajibul wujud adalah yang actuall yakni Allah dan Alam. namun Allah wajibul wujud li dzatihi dan alam wajibul wujud li ghairihi. dan Allah juga di sebut dengan Actuall murni yang tidak berawal fdan tidak ada akhir.
mustahil wuijud adalah musthail Allah yidak actuall dan berpotensi.
Contoh: bisahkah Allah maha kuasa membunuh dirinya sendiri? tentu tidak bisa karena kata bisa di analogiikan seperti di atas, kalau bisa berarti bukan mustahil wujud melainkan mungkiru;l wujud.
A.3. Kosmologi
untuk kosmologi paripatetik ini mengacu pada teori Imanasi yang berasal dari aliran Neo-platonisme yang dikembangkan oleh Al-Farabi sekaligus orang pertama yang merumuskannya.
Kedua pemikir ini mewakili madzhab dan langgam pemikiran yang parallel, yakni
mencoba menggabungkan antara paripatetik (masha>’iyah) dengan iluminatif (‘irfa>ni).
Untuk itu, dalam penelitian ini, pemikiran mereka dihadirkan secara bersamaan dalam satu
bingkai, untuk melihat titik bidik epistemolog baya>ni burha>ni dan ‘irfa>ni dalam satu
mainstream pemikiran.
Epistemologi Shuhrawardi>
Karya-karya Shiha>b al-Di>n Yahya> al-Shuhrawardi>, yang digelari sebagai
Shaikh Al-Ishra>q (Guru Besar Filsafat Illuminasionis), sampai sekarang mendapat posisi
yang istimewa di berbagai sekte sufi (t}uruq al-S{u>fiyyah). Buah pemikiran al-
Shuhrawardi> membuka wacana pembaharuan pemikiran yang dilestarikan oleh banyak
pemikir dan juru spiritual (al-ru>ha>niyyi>n) sampai sekarang. Mempelajari
epistemologi Al-Shuhrawardi>, sama dengan mempelajari sinkretisasi tiga displin ilmu
sekaligus: kala>m (Islamic Theology), filsafat dan tasawuf.
Nama lengkap al-Shuhrawardi> adalah Abu> al-Futu>h Yahya> ibn Habsh ibn
Ami>rik. Beliau lahir pada 549 H/1155 M di Barat Laut Iran di kota Shuhraward, kota di
mana sering terjadi bentrokan peperangan. Sejak belia, dia menuntut ilmu di Mara>ghah
daerah Adzbija>n. Kemudian menuju As}biha>n di pusat Iran. Di sana beliau
menyaksikan rintisan-rintisan filsafat Ibn Sina dilestarikan. Kemudian menghabiskan
beberapa tahun di Ana>dlu>l, menimba ilmu kepada banyak pejabat dinasti Saljukiyah
dengan penuh antusias. Terakhir menuju Syiria dan tidak pernah kembali dari sana. Di
daerah inilah beliau dituduh mengajarkan ajaran yang kontradiktif dengan ajaran
mainstream sehingga- atas desakan S{alahuddin al-Ayyu>bi kepada putranya, Al-Ma>lik
al-D{a>hir, yang jadi hakim di sana- difatwa sebagai kafir dan sesat. Akhirnya beliau
mati secara misterius (digantung, dipenjara, mogok makan, dibunuh dengan pedang atau
dibakar?) pada 587 H/1191 M. Sehingga total umur beliau adalah 36 tahun (38 tahun
Qamariyyah). Para sejarawan umumnya menjulukinya dengan al- Shaikh al-Maqt}u>l,
(maha guru yang terpancung), sedangkan para muridnya mengagungkannya dengan
sebutan al-Shaikh al-Shahi>d, (maha guru yang gugur dalam keshahidan).
Shuhrawardi> merupakan tokoh yang pertama kali berani menantang hegemoni
filsafat paripatetik pada abad enam Hijriyah. Kemudian berusaha membangun aliran
filsafat baru yang bernama falsafah ishra>qiyyah (filsafat illuminasi). Karir intelektual Al-
Shuhrawardi> bermula sebagai seorang sufi, kemudian sebagai seorang filosof paripatetik.
Puncak dari ajaran filsafatnya berupa h}ikmah al-ishra>q, dengan nama kitab master
piece-nya yang sama, yang merupakan gabungan antar filsafat dan tashawwuf. H{ikmah
al-Ishra>q dibangun atas dua hal: al-h}ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah aldhauqiyyah.
Al-H}ikmah al-baht}iyyah (disebut juga h}ikmah al-Fala>sifah) dibangun
atas dasar metodologi analisis, komposisi, istidla>l al-burha>ni>; dan bertujuan
mencapai hakikat. Sementara al-h}ikmah al-dhauqiyyah (disebut juga h}ikmah alishra>
qiyyi>n) merupakan buah dari eksperimen spiritual menghampiri sang Maha tahu.
Sejatinya tidak ada kontradiksi esensi antara satu sama lain. Yang terjadi hanya sebatas
kontradiksi lahir. Karena puncak dari h}ikmah al-ishra>q adalah eklektisasi antara alh}
ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah al-dhauqiyyah, memperkokoh hikmah yang
pertama sekaligus mempertajam aura hikmah yang kedua.65 Al-Ishra>q adalah
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa ketika tajarrud atau khalwah. Jadi h}ikmah al-ishra>q adalah
hikmah yang dibangun atas dasar epistemologi al-ishra>q (illuminasionis) yang
merupakan kashf atau h}ikmah ‘ala> musha>riqah (bangsa Persia klasik). Definisi ini
mengisyaratkan: pertama, bahwa al-ishra>q adalah sumber al-h}ikmah al-ishra>qiyyah.
Ia mengandung konsep manifestasi atau pembasisan alam realita. Manifestasi ini
merupakan kerja aktif jiwa yang mampu menahan curahan kashf. Kedua, terdapat
sinonimitas antara kata ishra>qi> dan mashriqi>, yang bermakna memahami ishra>qi>
dengan logika h}ikmah mashriqi>yyi>n. Ketiga, para juru hikmah Persia klasik
membangun epistemologi filsafatnya atas dasar kashf atau musha>hadah yang bermakna
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa setelah tajarrud atau khalwah.
Karena itu filsafat Illuminasi (falsafah ishraqiyyah) adalah antonim dari filsafat
paripatetik (falsafah masha>iyyi>n) di mana yang kedua berbasis analisis, bukti-bukti
rasional-logis, sementara yang pertama berbasis kashf dan dauq s}ufi>.66 Ada istilahistilah
asing yang digunakan al-Shuhrawardi> dalam karya-karyanya, sebagai berikut:67
(1) al-k{air= al-ru>ha>ni>; (2) al-ma>ddi>= al-maz}lam; (3) al-anwa>r = al-‘uqu>l;
(4) al-anwa>r al-qa>hirah = ‘uqu>l al-afla>k; (5) al-anwa>r al-mujarradah = al-nufu>s
al-insa>niyyah; (6) nu>r al-anwa>r = Allah, Tuhan, God; (7) al-jauhar al-muz}lim au algha>
siq= al-jism; (8) ‘a>lam al-bara>zikh = ‘a>lam al-ajsa>m.
Logika Illuminasi merupakan ringkasan dari logika paripatetik-Aristotelian.
Logika ini terinspirasi oleh spirit-spirit sufi dengan kosep keesaannya. Logika Illuminasi
melebur qad}i>yyah muja>bah dan qad}i>yyah sa>libah menjadi hanya satu, yaitu
qad}i>yyah muja>bah ma’du>lah dengan cara memindahkan seluruh nafy ke bagian
mahmu>l.68 Bila logika paripatetik-Aristotelian mengkomposisikan definisi (ta’ri>f)
dengan jins dan dhat kha>s}, maka logika Illuminasi mengkritik pemahaman ini. Karena
bagi al-Shuhrawardi>, dhat kha>s} itu unknowable (majhu>l, tidak dapat diketahui
dengan pasti). Sesuai dengan prinsip logika paripatetik-Aristotelian sendiri, sesuatu yang
majhu>l hanya bisa dipahami dari yang ma’lu>m. Lantas al-Shuhrawardi> menawarkan
konsep baru tentang definisi (h}add), yakni melalui dua metode: Pertama, metode alih}
sa>s (inderawi); perkara-perkara yang mah}su>sa>t mampu dipahami secara
sempurna. Kedua, metode kashf dan ‘iya>n.
Dalam masalah qad}aya>, logika al-Shuhrawardi> melebur qad}aya> kulliyyah
dan qad}a>ya> juziyah menjadi qad}a>ya kulliyyah saja. Karena qad}a>ya> kulliyyah
adalah asal sedangkan qad}a>ya> juziyah adalah derivasi atau turunan darinya. Sesuatu
yang bukan asal tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang meyakinkan.
Madhhab al-ishra>qi> ini berkaitan erat dengan filsafat Persia klasik sekaligus
filsafat Neo-Platonisme khususnya pada konsep illuminasi (al-faid}, curahan) dan cahaya
(al-nu>r). Madhhab al-ishra>qi> tidak lepas dari madzhab al-faid} yang mendahuluinya
sekaligus mempengaruhinya. Karena itu, madzhab ini bisa dianggap- terutama dalam
konsep al-bina> al-wuju>di> sebagai penerus dari metodologi teori “akal sepuluh” (al-
‘uqu>l al-‘ashrah); atau sebagai kritik konsep “akal sepuluh” tidak dari sigi proses, tetapi
dari kuantitasnya. Karena kritikan penting yang dihujamkan oleh Al-Shuhrawardi> kepada
teori penciptaan kosmos paripatetik-aristotelian berorientasi pada memperbanyak jumlah
dan bilangan akal.
TEORI ILLUMINASI BY SUHRAWARDI
LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI
LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI
Setidaknya terdapat tiga persoalan keilmuan paling krusial saat ini, pertama
soal dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang terdiri
dari dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis, dan dampak
psikologis.[1] Kedua, soal bangunan episteme[2]
yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu, yaitu rasionalitas melebihi
wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi dan sejarah,
progresivitas lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme
yang melandasi tiga elemen sebelumnya.[3] Ketiga, seiring dengan universalisme itu, elemen-elemen episteme tersebut lalu menjadi kekuatan “hegemonik”, sehingga tidak tersedia lagi ruang tafsir lain atas realitas.[4]
Krisis
peradaban modern, banyak kalangan mengatakan, bermula dari persoalan
bangunan keilmuan itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khususnya dan
pemeluk agama pada umumnya, terkait problem pengetahuan ini, adalah
karena dominasi rasionalitas itu telah jauh meninggalkan agama.
Keyakinan adanya Tuhan dan peranNya sama sekali tidak disentuh, bahkan
dinafikan dalam proses pengetahuan.
Tapi,
benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses pengetahuan manusia?
Persoalan seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi
agama-agama, seperti yang terjadi pada tradisi sufisme. Tetapi bagaimana
penjelasannya. Inilah barangkali yang diperlukan. Kontribusi seperti
itu bisa jadi memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologi saat
ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan alternatif, semacam
“second opinion”.
Pada
sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan karena sentimen agama
kerap terjadi. “The Battle for God”, demikian ungkap Karen Amstrong.
Benarkah Tuhan menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh
jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada pada konsepsi
manusia (umat beragama), bukan Tuhan in Himself; bukan tuhan yang mencipta manusia (dan alam semesta) tetapi tuhan yang dicipta manusia dalam konsep-konsepnya itu.
Bangunan
keilmuan yang bercorak rasionalis jelas berujung pada pembentukan
konsep, teori dan semacamnya. Ini merupakan kelebihan sekaligus
kelemahan model keilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi.
Tetapi adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat
mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk Tuhan?
Dalam
tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan pemikiran logika
illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian epistemologi Islam yang
bercorak intuitif sekaligus bersifat teodesi. Dalam kerangka demikian,
makalah ini akan menunjukkan keberatan Suhrawardi terhadap logika
rasional Peripatetik dan mengungkap argumen filsafat Illuminasi tentang
proses keilmuan (epistemologi) yang diklaim sebagai dapat mengantar
manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, serta menemukan
relevansinya bagi keilmuan dewasa ini.
Mengapa harus Suhrawardi?
Suhrawardi
dalam wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. Ia adalah
seorang filosof Muslim besar. Pemikiran filsafatnya dikenal dengan
sebutan Filsafat Illuminasi atau al-hikmah al-isyraqiyah. Menurut Hasan Hanafi, di tangan Suhrawaydi, filsafat Islam mencapai puncaknya.[5] Namun demikian, pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja. Pertama,
ia tampil sebagai tokoh ‘sejarah’, di mana perbincangannya sekitar
nama, tempat dan tanggal lahir, nama guru dan pendidikannya sampai tahun
meninggalnya. Hal ini dapat dilihat di hampir semua buku (literatur)
yang berjudul ‘History of Muslim Philosophy’ atau ‘History of Islamic Philosophy’.
Kedua,
ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan karenanya iapun ‘duduk’
sejajar dengan al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Hal ini
terlihat jelas dalam buku-buku ‘tasawuf’ yang ditulis oleh pemikir Muslim atau buku-buku yang bertema ‘Sufism’, ‘Mistical Dimension in Islam’
dll. yang ditulis oleh pemikir Barat. Menurut Hossein Ziai, para
pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed Hossein Nasr (dari
kalangan Muslim) yang mempopulerkan Suhrawardi, juga masih
mengesankannya sebagai sosok sufi dan masih bercorak historis. Ajaran
Suhrawardi, seperti juga tokoh-tokoh sufi tersebut, memang bercorak
mistiko-filosofis, tetapi yang mengesankan mengapa Suhrawardi disebut
sebagai filosof (besar), sedang yang lain hanya tokoh sufi saja. Sudah
tentu Suhrawardi punya kekhasan; tentang problematiknya, tawaran
penyelesaiannya, metodologinya, dll.
Alasan
yang terpenting adalah: sama seperti problem pengetahuan saat ini,
problem mendasar di sekitar kemunculan Suhrawardi adalah soal “validitas
pengetahuan”, di mana pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah
logika Peripatetik. Ciri paling menonjol dari model pengetahuan ini
adalah kebenaran silogisme, proposisi, konsep dan problem definisi.
Makanya pengetahuan itu dapat dicari (mathlub) meski terkait objek yang tidak dapat dicerap (al-syai’ al-ghaib). Bagi Suhrawardi, model pengetahuan rasionalis seperti itu banyak terjadi kelemahan.
Suhrawardi dan Problem Logika
Suhrawardi,
nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, ia
lahir pada tahun 549 H/1155 M di Suhraward, Mediterania kuno, Iran Barat
Laut dan meninggal di Aleppo pada tahun 587 H/1191 M.[6] Berarti ia meninggal dalam usia yang sangat muda (+
38 tahun hijriah atau 36 tahun masehi). Dapat dibayangkan bahwa ia
adalah seorang yang amat cerdas sekaligus mempunyai ‘pikiran nakal.’
Disebut cerdas, tidak saja karena Suhawardi telah menulis sekitar 50
judul buku dalam bahsa Arab dan Persia, dan sebagian besar telah sampai
kepada kita, meski masa hidupnya terbilang pendek,[7]
namun lebih dari itu buku-buku itu merupakan karya yang utuh. Disebut
punya ‘pikiran nakal’, karena biasanya para sufi hidupnya sederhana
menjahui ‘gemerlap’ dunia, Suhrawardi malah tinggal di istana, memenuhi
undangan Malik al-Dzahir, seorang putra Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.[8] Artinya menjadi sufi tidak harus meninggalkan kehidupan keduniaan. Tampaknya hal ini yang kemudian dilakukan Jalaluddin Rumi.[9]
Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau lebih tepatnya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal experience
dalam arti pengalaman pribadi. Jika pengalaman demikian ‘diberlakukan’
pada dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya
tanpa disangka-sangka, maka tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya
apa yang dialami oleh Abu Yazid al-Basthami. Sebaliknya akan menjadi
masalah besar, jika pengalaman itu kemudian di’sulap’ menjadi sebuah
ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam banyak kasus, nasib pelakunya
kemudian berakhir di tiang gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa,
seperti yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar,
dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh Suhrawardi,
makanya ia dijuluki al-Maqtul atau al-Syahid,[10] yaitu hanya karena ajaran-ajarannya yang bercorak mistiko-filosofis (bahasa Azra) itu dianggap menyeleweng dari mainstream yang bersifat heterodoks (C.E. Farah)
Kecuali personal experience
seperti dinyatakan di atas, pilihan hidup mistik lahir sebagai efek
samping dari ‘kejenuhan’ formalisme (Mukti Ali, Simuh dll termasuk
Annimarie Schimmel mengakui hal ini). Jenuh, karena –seakan- hanya ada
satu logika (dalam hidup ini) yang disebut logika ‘monster’,
yaitu suatu kerangka berpikir umum di mana seseorang sulit untuk
menghindar dan melepaskan diri dari logika itu, seakan tidak punya
pilihan lain, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jenuh
dalam pengertian seperti inilah yang dialami oleh Hasan al-Basri. Hasan
al-Basri, sebagaimana dimaklumi, memilih hidup sebagai zahid atau ‘âbid
karena ‘jenuh’ terhadap formalisme atau logika ‘monster’, dalam hal
ini, perdebatan yang berlarut-larut di sekitar suksesi sepeninggal Ali
bin Abi Thalib, yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim teologis
dan hukum.[11]
Dalam
sejarah pemikiran Suhrawardi, tampak jelas, hal ini juga terjadi
padanya. Kecuali situasi perang (dalam hal ini perang
salib) dari sisi ‘polkam’, logika Peripatetik rupanya merupakan
‘satu-satu’ nya model kerangka berpikir kala itu. Inilah logika monster
itu. Bagi Suhrawardi logika ini mempunyai banyak kelemahan. Inilah yang
menjadi keprihatinan (kegelisahan akademik, kata Amin Abdullah)
Suhrawardi. Meski penulis memahami bahwa pemikiran Suhrawardi memiliki
sejarah yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa guru[12] dan aliran filsafat yang mempengaruhinya,[13] bahkan ia pun melakukan meditasi dan berhalwat,[14]
namun harus diakui bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak
kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karakteristiknya itu. Menurut
Hossein Ziai, persoalan logika illuminasi –yang merupakan ‘penyerangan’
terhadap logika Peripatetik ini– adalah persoalan paling krusial dalam
filsafat Isyraqiyah ini.[15] “Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan logika illuminasi,” demikian Ziai.[16]
Poin inilah yang menjadi fokus pembicaraan makalah ini, meski harus
diakui, justru karena ini menyangkut persoalan yang rumit, maka banyak
terjadi penyederhanaan, sesuai tangkapan penulis.
Penerus Peripatetik?
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât,[17]
yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah
kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah
penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari
teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin
menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk
selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di
kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu.
Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan
atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu
merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi
sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin?
Menurut
Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini,
tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis.[18] Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât,
misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang
berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam
filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik
dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan
pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu
filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.[19]
Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia
mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat
usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk
menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup
panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan
dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan
illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji)
seperti Seyyed Hossein Nasr,[20] Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.[21]
Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat
diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang
kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya
Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts
yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya.
Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.[22]
Sedang
filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik
berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat
illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan
sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode
intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi,
meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi
sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.[23]
Menurut Ziai,[24] Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah)
adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi
yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke
kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi.
Ciri
utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal
dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika
ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub),[25] meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).[26]
Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara
mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat
definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul).[27] Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness)[28] dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence).
Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam
terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh
apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat
Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam
filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian
disempurnakan dengan metode intuitif. Persoalannya, kapan metode
diskursif itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan pengetahuan yang
bagaimana yang dimaui oleh filsafat Isyraqiyah? Persoalan ini akan
dijawab pada pasal berikut ini.
Problem Validitas Pengetahuan
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10).[29] Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau
rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif
Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal.[30]
Dari
beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi,
pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî.[31] Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql.[32] Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.[33]
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah)
dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam
pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang
diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi
pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama
dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).[34]
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui.[35] Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai.[36] Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).[37]
Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif.[38] Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân),
antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini
diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi
menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan
objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus
diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak
demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah
itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh.
Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan
salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau
tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran
dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif
dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.[39]
Harus
terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam
subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini
berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus
dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek
merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan
subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan
melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada
keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi.
Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara
subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran
diri-subjek.[40]
Logika Illuminasi: beberapa poin
Hadd bukan Ta’rif
Seperti
dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat
diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa
yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan
terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).”[41] Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.[42]
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan
dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu
dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau
lebih jelas (al-azhhar).[43]
Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui
sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep
sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak
pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan
dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika
Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan
sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga,
menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka
mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang
dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada
karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara
formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat)
harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses
mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa
jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna.[44]
Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak
dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang
berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah
aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya
“hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti
bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid
secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya,
formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”[45]
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi
mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan
diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan
tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah
hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu
dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk
dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith).
Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat
sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi
definisi istaghna ‘an al-ta’rif,[46] dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.”[47]
Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat
kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang
menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan
menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya
“dirasakan.”[48]
Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith)
yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian.
“Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak
melihat sebagaimana adanya.[49]
Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat
diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya
yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau
secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas
tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik.
Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan
objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa
pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan
subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung,
dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual
antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan
antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah
hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan.
Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah
merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika
Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi
intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi).
Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum
tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka
wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka
kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr),
menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena
esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau
sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap
kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya
ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.[50]
Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib?
Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan
yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di
atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan
Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata
kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam
Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan
pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin
dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini.
Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau
keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau
keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan
kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit
penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah
seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka
yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti
telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling
mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang
menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak
kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan
otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga
pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses
universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains
mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative[51]
yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang
memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap
Foucault.[52]
Lahirnya
norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan
non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat
positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai
fakta positif[53]
yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf
Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan
bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah.[54]
Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem
pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar
jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan
lebih-lebih agama.
Konsekuensinya,
jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk
agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains.
Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang
disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa
dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi
metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai
untuk metafisika,[55] Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni,[56]
sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori
developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city.[57]
Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna
metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan
mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu
agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka,
apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan
ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan
pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial,
lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan
ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat
empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.[58]
Hal
inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan
dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan
peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan
bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak
signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar
dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi).
Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang
modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih
sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah)
memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu
mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam
filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku”
(ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness])
sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi
anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting.
Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul).
Dengan
mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model
illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat
ini.
Wallahu a’lam bish shawab
Daftar Pustaka
Al-Attas, Seyyed Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995)
Corbin, Henry, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), Te Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967)
Cox, Harvey, Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967)
Faucoult, Michel, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)
Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Giddens, Anthony. (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975)
Hanafi, Hasan, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt)
Hardiman, Budi, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
Hardiman, Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003
Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991
Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
Kertanegara, Mulyadhi, “Peran
Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religiu: Perspektif Islam”,
makalah disampaikan pada Seminar Sehari kerjasama Studi Perbandingan
Agama PPS UGM dengan Jemaat Ahmadiyah, dengan tema “Reaktualisasi Agama
dalam Konteks Perubahan Sosial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001
Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984)
Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)
Marty, Martin E., “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar”, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994)
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963)
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto&London: New American Library, 1968)
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: Caravan Book)
Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Rayan, Mohd Ali Abu, Ushûl al-Falsafah al-Isrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-Jami’ah, tt)
Schimmel, Annimarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Rajawali Press, II/1997)
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown University, 1990)
[1]Menurut Armahedi, dampak pertama terkait
potensi destruktif yang ditemukan sains yang secara serta-merta
dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh
kekuatan-kekuatan militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak
langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh
industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah
keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang
dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi.
Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia. Lihat Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004), p. 221-222
[2]Episteme
merupakan keseluruhan ruang makna dan prapengandaian yang mendasari
kehidupan yang memungkinkan pengetahuan bisa terlahir. Maka episteme
berisi hal-hal yang bisa dipikirkan dan dipahami pada suatu masa. Michel
Foucault lebih jauh melihat, episteme merupakan ‘medan’ penelusuran
epistemologis dari kelahiran pengetahuan. Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994), p. xxii
[3]Lihat Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), p. 194
[4]Lahirnya
norma-norma ilmiah seperti pada Positivisme yang hanya mempercayai
fakta “positif” dan yang digali dengan “metodologi ilmiah”, lalu
Positivisme Logis yang mengajukan prinsip “verifikasi” untuk membedakan
bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[5]
Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu sendiri merupakan
penyambung ujung-ujung kesempurnaan pemikiran. Dalam segi pemikiran ia
hidup pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika
filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan ibn Rusyd (1126-1198) dan
tasawuf di tangan Ibn ‘arabi (1165-1240), kemudian pada abad berikutnya
ilmu kalam di tangan al-Iji (w. 1388). Jadi Suhrawardi datang setelah
pemilahan metode penalaran dan zauq mencapai puncaknya. Lihat Hasan Hanafi, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt), p. 274
[6]Henry Corbin, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967), p. 486; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto & London: New American Library, 1968), p. 328
[7]Seyyed Hossein Nasr, Three Muslem Sages, (New York: Caravan Book), p. 56
[8]ibid., p. 57
[9]Mulyadhi
Kertanegara, “Peran Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religius:
Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari
“Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Soasial” UGM, Yogyakarta,
23 Agustus 2001
[10]Disebut
demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum mati. Menurut catatan
Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran Malik al-Zhahir untuk
tinggal di istana. Pamornya menjadi menurun, terutama di kalangan ulama.
Mereka menuntut agar Suhrawrdi dihukum mati, tetapi Malik al-Zhahir
menolak. Mereka lalu mendekati Shalah al-Din al-Ayyubi yang kemudian
mengancam akan menurunkan anaknya, kecuali jika ia mau mengikuti aturan
para ulama. Suhrawardi kemudian dipenjarakan dan pada tahun 587/1191 ia
meninggal dunia, entah karena dicekik atau karena dibiarkan kelaparan.
Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), p. 375
[11]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta, Rajawali Press, II/1997), p. 25; Annimarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), p. 35
[12]Konon,
mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majduddin Jili di Maraghah, dan
kemudian belajar pada Zahiruddin di Isfahan serta Fakhruddin al-Mardini
(w. 1198 M), yang diduga sebagai gurunya yang paling penting. Gurunya
yang lain adalah Zahir al-Farsi, seorang ahli logika dan al-basa’ir. Suhrawardi juga berguru pada Umar ibn Sahlan al-Sawi, seorang filosof dan ahli logika. Lihat Dr. Muhammad Ali abu Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, tt), p. 19-20
[13]Tentang
aliran filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Suhrawardi,
mulai dari aliran filsafat Platonism, Aristotelianism, Peripatetik Ibn
Sina sampai dengan pengaruh al-Ghazali dll. Lihat ibid., p. 71-119
[14]Sebagaiana secara eksplisit dikatakan Suhrawardi dalam “Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix A dalam Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 173
[15]Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 143
[16]Ibid., p. 115
[17]Menurut
Abu Rayan, buku ini merupakan satu dari lima buku Suhrawardi yang
ditulis pada periode peripatetik. Empat yang lain adalah al-Lamahat,
al-Muqawamat, al-Mutharahat, al-Munajah. Lihat Mohd Ali Abu Rayan, op.cit., p. 61
[18]Hossein Ziai, op.cit., p. 10-11
[19]ibid., p. 17
[20]Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din, op.cit., p. 374
[21]Adalah beberapa sarjana yang mengakui karya-karya Suhrawardi seperti al-Talwihat, al-Muqawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat sebagai
karya peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan filsafat
illuminasi yang pada masa sebelum Suhrawardi mengembangkan
prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metode illuminasi. Hossein Ziai
merujuk pada Louis Massignon, Recueil de textes inedis (Paris: Paul Geuthner, 1929), p. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, p. 437-438.GAL SI, p. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomenes”, Opera II.
[22]Hossein Ziai, ibid., p. 14 Footnote 3
[23]ibid.
[24]ibid., p. 22
[25]ibid., p. 136
[26]Ini
juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama ini disebut
ta’rif oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang hanya
menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rif ia klaim lebih
dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka ta’rif
kemudian diterjemahkan dengan “menjadikan ditahui”; making known.
[27]Hossein Ziai, ibid., p. 141
[28]ibid., p. 117
[29]Sebagaimana dikutip Hossein Ziai :
?? ???? (???? ???? ???????) ???? ??????? ?? ??? ????? ???? ???
Lihat. Hossein Ziai, ibid., p. 43 footnote 2
[30]ibid.
[31]ibid., p. 54
[32]Muhammad Ali Abu Rayyan, op.cit., p. 306 dan 316; dan ada beberapa literatur yang menyebut idrak bil hissi, idrak bil fahm, dan idrak bil aql
[33]Argumen Suhrawardi: ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ??
Lihat Hossein Ziai, op.cit., p. 133
[34]Ibid., p. 44
[35]Ibid., p. 140 dan terutama footnote 4:
?? (?????) ????? ???? ?????? ???
[36]ibid., p. 61
[37]Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Pengantar, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994), p. 14
[38]Hossein Ziai, op.cit., p. 141
[39]ibid., p. 142
[40]ibid., p. 143
[41]Hossein Ziai, ibid., p. 78 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 21
[42]ibid.
[43]ibid., p. 65
[44]ibid., p. 66
[45]ibid., p. 118-9
[46]Hossein Ziai, ibid., p. 134 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 73-74
?? ????? (?????) ?????? ?? ??????? (barangsiapa sudah menyaksikan, maka tidak butuh lagi definisi)
[47]Hossein Ziai, ibid. ????? ?? ????? ?????? ?? ????
[48]ibid., p. 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 42, 134-135
[49]Hossein Ziai, ibid. ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ?? (tidak mungkin mengenalnya bagi orang yang tidak menyaksikan sebagaimana adanya)
[50]
Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu ungkapan: “saya
tahu tapi belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat misalnya uraian
pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20-24
[51]Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984), p. 37
[52]Lihat Michel Faucoult, Diciplin and Punish: The Brith of Prison,
trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979); Bandingkan dengan
Budi Hardiman, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme:
Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
[53]Auguste
Comte, perintis positivisme, lebih tajam lagi, menjelaskan istilah
‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan
‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan
‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’. Lihat F. Budi
Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan
Subjek” dalam Basis, Maret 1991
[54]Uraian lebih luas lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[55]Rumusan
kegelisahan Kant sebenarnya, antara lain dinyatakan: How is Pure
Mathematics Possible?, How is Pure Natural Science Possible?, How is
Pure Metaphysics in General Possible?, How is Pure Metaphysics Possible
as Science? Lihat Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
[56]Nyoman Kutha Ratna, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 2
[57]Konsep ini dipopulerkan oleh Harvey Cox. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967). Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre
agama di luar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini
merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual
dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang
menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty,
beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual
untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat Martin
E. Marty, “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
[58]Ketiga prinsip positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini, menurut Anthony Giddens, membawa implikasi sebagai berikut. Pertama, prosedur-prosedur
metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu
sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan
dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan ketiga,
ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan
pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus
dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan
juga tidak terkait pada dimensi politis. Artinya, seperti ilmu-ilmu
alam, ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-free). Lihat A. Giddens (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975), p. 3-4
Sejarah
membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi
dari pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah
intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum,
pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam) merupakan sintesa
sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan
Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria
(Nashr, 1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk
mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.
Upaya
untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh
al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth)
dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena
filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya
tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Lebih jauh dari
itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah
orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai
orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak
agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104).
Dalam
aspek metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki
metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok
pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat
pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi
segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang dimaksud dengan Yang
Benar Pertama adalah al-haqq (Tuhan). Konsep al-haqq
yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil
aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh,
1983:17).
Harmonisasi
antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn
Sînâ. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak
mempergunakan pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan
filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang
banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai
pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi.[i]
Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan
proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya
dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam
materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan sebagai
wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut
muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal
pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran
ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut
hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah
alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution, 1995:27-28).
Filsafat
emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan
dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian.
Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim
mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).[ii] Wacana
teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abû
Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya
terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran diri”) dan baqâ’
(hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud
jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî,
1983:106).
Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang
ada dalam tubuh itu lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas
pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat
ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasût). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl.
Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat
ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan
dengan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69).
Kosep hulûl yang diprakarsai oleh al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq
(Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia
menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat
alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat
ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam
cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di
sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50).
Usaha
untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya
didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut
juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang
berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia
memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang
bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan
tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri
sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat
(kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial
(abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara
orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani
sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).
Sikap
kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik
keras di kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh
bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah
kaprah. Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah
musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus
didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan
menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat
memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas
Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam
pengertian ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan
perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan perenial dalam
Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan
agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya.
Di
samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun
berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat,
khususnya filsafat peripatetik[iii]
yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model dialog yang
dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah
pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).
Sejalan
dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada
mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang
bertumpu kuat pada metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya
yang bercorak peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum
mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam
itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca
karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination).
Melihat
struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî
sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan
secara matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansi Hikmat al-Isyrâq.
Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya
sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail.
Artinya, dengan mengkaji Hikmat al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan, 1966:66-67).
Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi
ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik
terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi.
Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada
bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka
kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan.
Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke
dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî
terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh
dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui
indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala
objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat,
mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana
daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek
rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan pengetahuan hudhûrî
adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu
pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi
berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq)
sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk
mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi,
teologi, dan ontologi. Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.
Dengan konsep al-Isyrâq-nya,
Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan
dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada
kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi
berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).
Gagasan
mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang
munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence).
Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para
ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman
mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî
menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya
sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22).
Hukuman
mati yang dijatuhkan kepada Suhrawardî mengingatkan kita pada
perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana Socrates juga harus meminum
racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa
hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang memperjuangkan
kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran
mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi
warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi
generasi-generasi sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat
ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan atau aliran-aliran
pemikiran yang terpengaruh olehnya.
Uraian
yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî
dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi
filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya
menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh
setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran
Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk
menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di
samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan
sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat
Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.
CATATAN:
[i] Teori
emanasi Plotinos diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua
makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun
sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Satu” (to hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus).
Akal budi merupakan suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri.
Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini terdapat dualitas yaitu
pemikiran dan yang dipikirkan. Dari akal budi itu kemudian muncul jiwa
dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya (Bertens, 1983:19).
[ii] Teosofi
adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat
dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73).
[iii] Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Yunani peripatein yang berarti berjalan dengan berkeliling. Kata tersebut juga merujuk kepada kata peripatos
yang berarti serambi gedung olah raga di Athena, tempat Aristoteles
mengajar sambil berjalan-jalan (Ziyâdat, 1988:1274) . Dalam tradisi
filsafat Islam, istilah itu dikenal dengan masysyâ’iyyat yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan istilah peripatetik (masysyâ’iyyat)
mengacu kepada metode mengajar Aristoteles yang menggembleng siswanya
dengan cara berjalan-jalan. Oleh karena itu, istilah peripatetik mengacu
pada seluruh bangunan filsafat Aristoteles (Ma’luf, 1997:764).
Langganan:
Postingan (Atom)