Selasa, 30 April 2013

Teori Desain Inteligensia

Pertanyaan: Apa itu Teori Desain Inteligensia?

Jawaban:
Teori Desain Inteligensia mengatakan bahwa “sebab-sebab inteligensia dibutuhkan untuk menjelaskan kompleksitas dan kekayaan informasi yang terkandung dalam struktur-struktur biologi, dan penyebab-penyebab ini dapat dideteksi secara empiris.” Fitur-fitur biologis tertentu bertentangan dengan penjelasan “kesempatan secara acak” yang menjadi standar penganut Darwin. Fitur-fitur tsb kelihatannya berdasarkan rancangan. Karena secara logika desain membutuhkan desainer yang berinteligensia, kesan adanya desain disebutkan sebagai bukti dari seorang Desainer. Ada tiga argumen utama dari Teori Desain Inteligensia: (1) Kompleksitas yang tak dapat dikurangi, (2) kompleksitas yang ditentukan, dan (3) Prinsip Antropis.

(1) Kompleksitas yang tak dapat dikurangi didefinisikan sebagai “ … sebuah sistim tunggal yang terdiri dari bagian-bagian yang berinteraksi secara berpadanan dan menghasilkan fungsi dasar, di mana hilangnya salah satu bagian itu mengakibatkan sistim itu secara efektif berhenti berfungsi.” Secara sederhana, hidup terdiri dari bagian-bagian yang berjalinan yang saling bergantung kepada satu dengan yang lain untuk bisa berguna. Mutasi secara acak mungkin menyebabkan berkembangnya bagian yang baru, namun tidak dapat menjelaskan perkembangan secara serentak dari berbagai bagian yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistim itu. Misalnya, mata manusia tentunya merupakan suatu sistim yang sangat berguna. Tanpa bola mata (yang pada dirinya sendiri juga merupakan merupakan sebuah sistim yang kompleksitasnya tak dapat dikurangi), syaraf mata, dan lapisan mata (visual cortex), mutasi mata secara acak sebetulnya bersifat kontra-produktif untuk kelangsungan hidup dari spesies itu, dan karenanya akan lenyap melalui proses seleksi alam. Mata bukanlah suatu sistim yang berguna kecuali kalau semua bagiannya berfungsi dengan baik pada saat yang bersamaan.

(2) Kompleksitas yang ditentukan adalah konsep bahwa karena pola kompleks yang tertentu dapat ditemukan pada organisme-organisme, maka suatu bentuk tuntunan harus diperhitungkan bagi asal mula organisme itu. Kompleksitas yang ditentukan mengatakan bahwa tidak mungkin untuk suatu sebuah pola yang kompleks untuk berkembang melalui proses acak. Contohnya, sebuah ruangan yang dipenuhi dengan 100 ekor monyet and 100 buah mesin ketik mungkin pada akhirnya akan menghasilkan beberapa kata, atau bahkan mungkin beberapa kalimat, namun tidak akan pernah menghasilkan drama Shakespeare. Dan makhluk biologis jauh lebih kompleks dibandingkan dengan drama Shakespeare.

(3) Prinsip antropis mengatakan bahwa dunia dan alam semesta ditata sedemikian rupa untuk memungkinkan adanya kehidupan di planet bumi ini. Kalau saja perbandingan unsur-unsur di udara diubah sedikit saja, banyak spesies yang akan punah. Eksistensi dan perkembangan kehidupan di bumi membutuhkan begitu banyak variabel yang perlu diharmoniskan secara sempurna sehingga tidak mungkin untuk semua variabel itu untuk berada secara acak dan tidak terkoordinasikan.

Walaupun Teori Desain Inteligensia tidak mencoba mengidentifikasikan sumber inteligensia itu (apakah itu Allah atau UFO, dll), sebagian besar penganut teori ini adalah kaum theis. Mereka memandang keberadaan desain yang meliputi dunia biologis sebagai bukti dari keberadaan Allah. Ada beberapa orang atheis yang tidak dapat menyangkal bukti kuat adanya desain namun tidak bersedia mengakui Allah Pencipta. Mereka cenderung menafsirkan data yang ada sebagai bukti bahwa bumi dibenihi oleh semacam makhluk angkasa luar yang lebih unggul.

Teori Desain Inteligensia bukanlah Kreationisme Alkitabiah. Ada perbedaan penting antara kedua posisi tsb. Penganut Kreationisme Alkitab mulai dengan kesimpulan: bahwa kisah Alkitab mengenai penciptaan dapat dipercaya dan benar adanya; bahwa kehidupan di atas bumi di desain oleh Agen yang Berinteligensia (Allah). Mereka kemudian mencari bukti-bukti dari alam untuk mendukung kesimpulan ini. Penganut Desain Intelligensia mulai dengan alam dan baru kemudian tiba pada kesimpulan: bahwa hidup di atas bumi ini dirancang oleh Agen yang Berinteligensia (siapapun itu).

pembuktian keberadaan tuhan

Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teologi dan kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Di antara dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah meta­fisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab dan akibat. Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai sebab-sebab dan akibat-akibat pada akhimya hubungan sebab akibat akan berhenti satu sebab yang pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan).
Selanjutnya, sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan sendirinya bukan merupakan akibat. Jadi sebab pertama itu merupakan kesudahan dari rentetan hubungan sebab dan akibat. Al Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik tolak dari kenyataan yang disentuh dengan pancaindera (makhluk) untuk kemudian sampai kepada pangkal pertama atau dari wujud yang nungkin kepada wujud yang Wajib.
Pangkal pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat. ditangkap dengan pancaindera. Jelasnya Al Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al Farabi “setiap sesuatu yang ada dasamya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”.
Kemungkinkan adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakanya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang Illat itu tidak ada dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh adanya yang lain, dan keadaan kedua, adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya dan Sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan sebuk sari betina yang ada pada pohon, pohon tersebut juga sebagai Wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang ditanam. Dari rentetan tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran yang melingkar atau sebab akibat yang tanpa berkesudahan.
Suatu rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti suatu titik akhir yaitu berkesudahan pada wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin ditentukan oleh sebab yang lain, wujud yang wajib itu sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah). Pembuktian dengan kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al Farabi termasuk dalil sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal suatu keyakinan yang mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud wajib yang harus diyakininya, bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan



Hakekat Tuhan.
Wujud
a.       Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
  1. Wujud Yang Nyata dengan sendirinya, (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah)
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi, berarti ada Tuhan bergantung kepada sebab yang lain.
Tuhan adalah wujud yang mulia yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali, Tuhan juga wujud yang paling mulia, karena tidak memerlukan yang lain. Lain halnya dengan wujud yang mumkin (makhluk) yang terdiri dari Dzat dan bentuk, pada Tuhan tidak demiki adanya.
Apabila Tuhan terdiri dari unsur-unsur, maka dengan sendirinya akan terdapat susunan, bagian-bagian pada substansi-Nya. Jadi Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, sudah ada dengan sendirinya dan akan ada untuk selamanya.
Karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada. Substansinya itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadi wujud-Nya
Tuhan Maha Esa, Maha Sempuma, karena kesempumaan wujud Tuhan tak ada yang menyamai, maka wujudnya tak mungkin terdapat pada selain Tuhan, tidak ada yang seperti wujudNya. Dan tiada sekutu bagi diriNya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila terdapat hal-hal yang membatasi maka berarti Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali dengan batasan yang akan memberi pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian Dzat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang. Lain halnya dengan benda sebagaimana juga manusia, yang dapat diberi definisi sehingga dapat.diketahui pengertian tentang manusia. Pada manusia dapat didefinisikan sebagai hewan yang berakal, hewan menunjukkan golongan, sedangkan berakal menunjukkan perbedaan yang ada dari golongan. Namun Tidak demikian dengan Tuhan yang Mutlak, sebagai substansi, oleh sebab itu definisi tentang Tuhan mustahillah dapat dirumuskan. Suatu rumus definisi tentang Tuhan berarti akan menghilangkan keesaan Tuhan, hal dikemukakan oleh Al-Farabi dalam pendapatnya.
Karena Tuhan itu tunggal sama sekali, maka batasan (definisi) tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali. Karena batasan berarti suatu penyusunan yaitu dengan memakai spesies dan differentia (an nau wal fasl) atau dengan memakai hule dan form seperti halnya denga jauhar (benda) sedangkan kesemua itu adalah mustahil bagi Tuhan  
Pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah, Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali (tiada bermula). Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi sebagaimana benda sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas


Konsep Cinta


Ajaran Islam yang menuntut penganutnya memberikan keutamaan cinta kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw sebelum cinta kepada yang lainnya.

Titik yang bercahaya yang namanya ialah diri
Adalah bunga api hidup di bawah debu kita
Dengan cinta, ia jadi abadi
Lebih pintar, lebih membakar, lebih bersinar
Dari cinta bermula kegemilangan wujudnya,
Dan pembangunan kemungkinannya yang tidak diketahui
Keadaannya mengumpul api dari cinta
Cinta mengarahnya menyinari dunia
Cinta tidak takut pedang atau keris
Cinta bukan dilahirkan dari air dan udara dan tanah
Cinta mengadakan damai dan perang dalam dunia
Cinta ialah pancaran hidup
Cinta ialah pedang mati yang berkilauan
Batu yang paling keras retak oleh pandangan cinta
Cinta Allah akhirnya menjadi seluruhnya Allah
Dalam hati manusia bertempatnya Muhamamd
Tanah Madinah lebih manis dari kedua-dua alam
Oh gembiralah kota di mana tinggalnya yang dicinta



Konsep Berpikir Sederhana

Dasar berpikir, (berfilsafat) "alinsanu hawananunatik" manusia adalah hewan yang bisa berpikir; manusia diberikelebihan dari mahluk makluk lain. suatu keungulan bagi manusia yang mampu mengunakan akal pikiran secara maksimal dan terarah ;
Konsep Filsafat dalam Islam sediri didasarkan oleh Kitab Suci Al-Qur'an dan Hadist Nabi ; kemudian dikembangkan oleh pemikir pemikir Islam yang ternama Seperti : Ibnu Rusd, Al-Kinddi, Al-Farabi, Ibu Sinna dan lain-lain ;
Dasar pemikir Islam secara singkat dapat dimengerti bahwa Al-Qur'an merupakan "Hudalinnas Wabayinta walfurqon" yang berarti Al-Quran sebagai Petunjuk bagi manusia untuk membedakan antara yang Hak & yang Batil. untuk itu seluruh umat manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki maka harus merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadist ;
Khusus umat Islam wajib dapat membaca, memahami dan mengamalkan Al-Qur'an. untuk pemahaman ada dua makna yang harus dimengerti yaitu "Makna yang sudah jelas (tidak perlu penjelasan lagi karna makna sudah dapat dimengerti dari artinya) dan makna yang belum jelas (yang harus ditafsirkan kembali),
Ex " salah satu ayat "Inamal khamru walmaisyiru walanshobu walajlamu rizsunminamalli syaithon yastanibu laalahum yarsudhun" Artinya Sesungguhnya khomer (sesuatu yang memabukkan) sirik kepada Allah (menyembah selain Allah SWT) mengundi nasib (berjudi) ; adalah najis semata-mata perbuatan setan" makna diatas sangat jelas, gamblang atau tidak ada keraguan dan tidak perlu ditafsirkan lagi.
Dari sisi lain  ada ayat ayat  yang sifatnya mutashabihat (kurang jelas/samar) dan perlu penafsiran yang disumberkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan pembawa risalah  "Ex. Perintah sholat dalam Al-Qur'an, sholat bagaimana tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an ; nah kita harus merujuk bagaimana  sholat Nabi Muhammad SAW yang dilakukannya dan diajarkan kepada Sahabat, Thabiin, Thabiinathabiin, ulama hingga sampai sekarang "maka keotentikan dan kemurniannya akan terus terjaga hingga akhir Dunia.
seiring dengan perkembangan kemajuan zaman/akhir zaman ; manusia sebagai makhluk yang berpikir terus mengembangkan pemikirannya melalui teori teori ; dan penemuan penemuan; yang pada dasarnya untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri. kendati demikian sebagai seorang pemikir Islam tidak terlepas dari petunjuk yaitu Al-Qur'an & Hadist agar tidak tersesat

teori gradasi wujud

Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan fundamental dalam filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang terus-menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas dan dalam.
Tuhan ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian muncul bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar pemikiran filsafat Shadrian. Karena menurut pandangan pencetus aliran ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan landasan bagi isu-isu filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan, manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)?
Melalui pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan prinsip-prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud), kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan apakah itu wujud?
Defenisi Wujud
Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas yang diabtraksikan benak dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas daripadanya. Oleh karena itu pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang demikian sulit jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini mengingat bahwa untuk mendefenisikan suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam benak.[2]
Tiga prinsip Filsafat Mulla Shadra
Pertama, ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud). Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra menemukan suatu pemahaman bahwa keseluruhan eksisistensi bukanlah sebagai objek-objek yang ada (exist) atau maujud-maujud (existents), yang menemukan partikularitasnya di dunia objektif karena berbagai kuiditas yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu realitas tunggal. Pembahasan mengenai hubungan wujud dan kuiditas (mahiyah) akan dibahas pada prinsip yang ketiga yaitu tentang ashalah al-wujud.[3]
Teori wahdah al-wujud mula-mula dicetuskan oleh Ibnu ‘Arabi. Teori yang diperkenalkan oleh Ibnu ‘Arabi tersebut lebih bernuansa sufistik daripada filososfis. Ibnu ‘Arabi melihat tatanan wujud sebagai penjelmaan (tajalliyat) dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan pada cermin ketiadaan. Penafsiran terhadap teori ini kemudian diradikalkan oleh Ibnu Sab’in sebagai teori kesatuan wujud yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang selainnya hanyalah ilusi. Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan penghubungannya antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi laiknya cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed Hossein Nasr, wahdah al-wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat Shadra, tanpa fondasi itu seliruh pandangan dunianya akan rapuh.[4]
Permasalahannya kemudian, jika yang wujud hanyalah satu, apakah ada yang terdapat pada Tuhan sama dengan ada pada manusia dan spidol? Jika Tuhan sama dengan ada, manusia sama dengan ada, dan spidol sama dengan ada, bisakah proposisi ini dibalik menjadi ada sama dengan Tuhan dan seterusnya? Mulla Shadra menyatakan bahwa ada itu setara dan sama bagi semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Kedati demikian, adanya Tuhan adalah ada murni sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan esensi. Hal ini bisa dipahami karena menurut Shadra, semakin sempurna suatu wujud, semakin sedikit esensi yang ditunjukkannya.[5]
Wujud adalah satu realitas yang membentang yang kemudian menemukan partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Dari sini kemudian muncul prinsip yang kedua, ambiguitas wujud (tasykik al-wujud). Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat hierarkis. Wujud tersebut membentang membetuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke tingkatan yang lebih rendah.
Mulla Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan dan gradasi. Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang juga menyatukan mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh cahaya, tetapi satu sama lainnya juga dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing. Namun berbeda dengan iluminisme yang mengalami graditas dalam esensi, Mulla Shadra menempatkan graditas tersebut pada eksistensi.[6]
Fazlur Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang menyatakan keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:
  1. Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhlu yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu atai analog, tetapi perbedaan yang mencolok,
  2. Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik,
  3. Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam, dan dilamapaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.)[7]
Prinsip ketiga yang kemudian menjadi dasar filsafat Shadra adalah ashalah al-wujud. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[8]
Namun, perdebatan yang sangat sengit terjadi antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh Mulla Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai sifat umum segala yang ada, yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang sebenarnya, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.[9]
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri.[10]
Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:[11]
Pertama, esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi predika “ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi (realitas) itu sendiri, maka tidak dapat dinegasikan, karena menegasi inti atau dzat adalah mustahil dank arena ada realitas yang ekstrim, tidak netral terhadap ada dan tidada.
Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi adalah ciri pembeda antar segala sesuatu.
Ketiga, sesuatu disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai eksistensi. Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang riil dan objektif hanyalah eksistensi.
Keempat, karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak wujud-lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak mungkin menjadi prinsip dan sumber pengaruh riil, kebaikan dan kesempurnaan.
Kelima, perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan. Seandainya esensi (kuiditas) adalah sejati (orisinal atau nyata), maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif serta pengaruh-pengaruh subjektif. Namun kenyataan empirik menyatakan sebaliknya.
Keenam, berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada, menjadi ada. Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang netral, tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa wujud lebih mendasar dan nyata.
Ketujuh, setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.
Demikianlah pembahasan seputar masalah wujud dalam filsafat Shadra. Seyyed hossein Nasr menyatakan bahwa ajaran metafisika Mulla Shadra sebenarnya bukan hanya bisa dipahami melalui prinsip-prinsip ini, namun juga dengan mengetahui hubungan–hubungan yang terjalin di antara mereka.[12] Wujud tidak hanya satu, melainkan juga bergradasi. Selanjutnya wujud tidak hanya bergradasi melainkan juga sejati dan mendasar yang memberikan kesejatian kepada esensi. 





 
m

teori paripatetik

istilah “paripatetik” merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Paripatetik (masya’un) berarti “ia yang berjalan memutar atau berkeliling”. Dan ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi murid-muridnya, ketika ia mengajarkan Filsafat. Dengan demikian istilah paripatetik merujuk kepada para pengikut setia Aristoteles. Sekedar untuk diketahui saja, dalam islam kita memiliki bebrapa aliran non-paripatetik.
Dalam islam, kita mengenal beberapa filosof yang dapat dikategorikan kedalam aliran ini, yaitu al-Kindi, al-Farabi, ibn siena, Ibn rusd, dan Nashir al-Din Thusi.
Ciri khas aliran paripatetik ini membedakan dari aliran-aliran lainya. Ciri khas aliran ini dari sudut metodologis atau epistimologis, dan itu bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau penjelasan para filosof paripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat sebagai “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang mereka sebut dengan premis (mayor dan minor), dan setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis diatas yang biasa disebut “midle term” atau al-hadd al-awsath.
(2) karna sifatnya yang diskursif, maka filsafat yang mereka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol baik berupa kata-kata atau konsep maupun representatif. Modus pengetahuan seperti ini biasa disebut husuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung melalui prantara, atau yang saya sebut dengan “infrensial” dan biasanya dikontraskan sengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran. (3) ciri lain dari filsafat paripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritaskan pengenalan intuitif, yang sangat dikenal dalam aliran lain, seperti Isyraqi (iluminasionis) maupun Irfani (gnostik). Akibat penekanan yang kuat terhadap daya-daya akliah, maka mereka dikatakan oleh aliran lain sebagai tidak memperoleh pengetahuan yang otentik (yang biasanya diperoleh melalui pengalaman mistik) tetapi lebih bergantung pada otoritas para pendahulu mereka. Tidak berarti mereka tidak mengakui adanya intuisi suci, tetapi bagi mereka nampaknya itu hanya dimiliki para Nabi dan wali. Adapun mereka sendiri lebih menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau kekuatan akal semata. Karna itu aliran paripatetik barangkali pantas disebut sebagai wakil dari kaum rasionalis islam.
Ciri khas lain dari aliran paripatetik ini berkaitan dengan aspek ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi dan bentuk.
Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasilreformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain daripada bayang-bayang dari idea-idea yang ada di dunia atas-yang kemudian bisa disebut idea-idea plato (platonic ideas). Ide-ide ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk disini bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam Esensi (hakikat) dari sesuatu, sedangkan materi adalah bahan, yang tidak akan mewujud (atau muncul dalam bentuk aktualitas ) kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi.
Di dunia islam hampir semua filosof paripatetik, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, memiliki pandangan Hylomorfis ini, dan mungkin karna itu maka para filosof di atas disebut filosof paripatetik(masya’iyyun), yang dapat dibedakan dari aliran filsafat lainya, yaitu isyraqi (iluminasionis).
Indikasi yang kuat dari ajaran hylomorfis ini dapat dilihat dari ajaran para filosof paripatetik muslim, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina, yang menyebut akal aktif sebagai pemberi bentuk. Ajaran ini mengatakan bahwa alam fisik ini terdiri atas materi dan bentuk. Materi harus difahami disini sebagai bahan, yang potensial menerima bentuk apapun, tetapi tidak/belum lagi berbentuk fisik. Ibn Sina menyebut materi ini sebagai mumkin al-wujud, yaitu kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi untuk mewujud. Nah, agar potensi-potensi ini mewujud atau mengaktual maka perlu ditambahkan atau diberikan kepadanya bentuk. Semua benda yang dapat kita lihat di alam semesta ini tentu saja telah mendapatkan bentuknya masing-masing. Menurut keyakinan mereka, akal aktiflah,-bisa diidentikkan dengan malaikat jibril,-yang telah memberikan bentuk-bentuk tertentu kepada benda-benda tersebut. Itulah sebabnya maka akal aktif itu disebut “wahib al-shuwar” atau “pemberi bentuk”.
Ciri terakhir dari paripatetik islam yang agak menyimpang dari Aristotelianisme murni adalah apa yang kemudian dikenal dengan ajaran atau teori emanasi. Bahkan, bukan hanya al-Farabi dan Ibn Sina yang mempertahankan ajaran ini, tetapi juga suhrawardi, pendiri aliran Isyraqi –tentunya dengan modifikasi yang cukup fundamental, seperti yang akan kita jelaskan setelah ini.



alam ajaran paripatetik sangatlah khas dengan teorinya yang berkenaan dengan aspek ontologis.  Yang pertama adalah ajaran yang disebut dengan hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang terjadi didunia ini terdiri atas dua unsur yaitu materi dan bentuk, yang kedua  dan yang paling khas dan juga unik adalah ajaran dari parepatetik islam adalah yang disebut emanasi .
Emanasi  yang secara bahasa berarti  menurun adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari zat yang wajibul wujud (tuhan).
berawal dari al-Farobi yang merasa kecewa dengan buku metafisikanya Aristoteles yang tidak banyak membahas tentang tuhan, padahal tuhan sendiri menjadi objek kajian atau tema-tema yang sangat penting dalam pandangan islam, belum lagi tidak adanya keterangan yang menerangkan tentang bagaimana  tuhan menciptakan alam ini.
Atas hal ini, Al-Farobi merasa kurang terpuaskan oleh pemikiran aristoteles, yang belum bisa menjelaskan bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam  berikut isinya yang beraneka. Disisi lain pada waktu itu tengah ramai-ramainya beredar dictum filosofis yang telah diterima secara umum, yang menyatakan  bahwa dari yang satu hanya akan muncul yang satu juga. Dictum ini yang kemudian memunculkan ajaran yang disebut “murajjih” atau alasan yang memadai (sufficient reason). Hal inilah yang kemudin mendorong Al-Farobi berfikir keras untuk memecahkan persoalan ini, hingga tibalah Al-Farobi pada teori emanasi Plotinus[1], juga disesuaikan dengan teori astronomis yang berkembang pada saat itu, hingga Al-Farobi menghasilkan teori emanasinya sendiri yang tentu saja lebih hebat dari Plotinus.
Menurut Al-Farobi yang pertama ada tentunya adalah tuhan yang maha esa (the true one). Dan tuhan ini digambarkan sebagai “akal” yang tugasnya berfikir, dan sebagai konsekwensi pemikiranya munculah akal pertama, sampe disini belum terjadi potensi keberagaman smapai akal pertama terbentuk barulah potensi itu mulai mulai Nampak. Mengapa demikian? Karena akal pertama telah bisa berpikir bukan hanya tentang tuhan, namun berpikir tentang dirinya sendiri juga, dari sini kita bisa melihat bahwa akal pertama memiliki dua prinsip yaitu keesaan yang bisa menghasilkan akal berikutya, juga prinsip keanekaan dan memunculkan benda-benda samawi. Dan inilah yang terjadi selanjutnya sampai akal ke-10. Dengan demikian maka Al-Farobi merasa bahwa dirinya telah dapat memecahkan pertanyaan tentang bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam dan isinya yang beraneka.


ert

Dalam kejadian terbentuk akal ke-10, disinilah terdapat ajaran  yang namanya “hilomorfisme” yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada didunia ini terdiri atas dua unsur utama yaitu bentuk dan materi.
Akal ke-10, berpikir namun tidak menghasilkan akal seterusnya karena  sampai akal ke-10 ini emanasi sudah sempurna, jadi akal ke-10 bertugas memberi bentuk kepada apa yang dihasilkan oleh bulan yaitu materi, namun materi disini adalah materi primer yaitu  empat elemen kehidupan seperti angin,air,api dan udara. Dalam prosesnya elemen-elemen itu mengendap  sebagai mineral, lantas meriap sebagai tumbuhan, dan meregang sebagai hewan sehingga padapuncaknya terwujudlah sebagai manusia.
Sebagai puncak proses kejadian fisik, manusia memadukan seluruh elemen primer secara amat kompleks, sehingga disebutkan dalam teori ini kemampuan manusia yang pertamakalinya muncul adalah kemampuan tumbuh kembang,selanjutnya adalah kemampuan mengindra, lalu berhasrat, berhayal dan terakhir adalah berpikir. Itu sebabnya sampai saat ini kita sering menjumpai sebuah argument bahwa manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna.



 Aliaran-aliran filsafat islam

1. Paripatetik
2. Illuminasi
3. Irfan
4. Himah muta'aliyyah

a. paripatetik
    filsafat ini di ambil dari filsafat aristoteles yang mengacu pada akal dan logika.

a.1. Epistemologi
       Bentuk dan materi yang berubah adalah materinya tapi bentuknya tidak (idea)
contoh: spidol ketika terkena cahaya akan menghasilkan bayangan, dan yang di sebut dengan materinya adalah banyangan, ketika cahaya berpindah bayangan akan selalu berubah atau bergerak tapi untuk spidolnya (bentuk) tidak akan berubah.
Herkalitos mengatakan: "segala sesuatu ada perubahannya", namun berbeda dengan Plato ia mengatakan bahwa: yang berubah hanyalah materinya.
a.2. Ontologi
       Hylenormatis : segala sesuatu berasal dari materi. dan materi adalah bahan yang berpotensi
 namun prinsip dari filsafat adalah "materi itu tidak bisa mewujudkan dirinya sendir. (mungkirul wujud) untuk bisa mewujudkan dirinya butuh dengan wujud yang actual (wajibul wujud)
.
contoh: perempuan mempunya potensi hamil namun perempuan tidak bisa menghamili dirinya sendiri dia membutuhkan seorang laki-laki untuk mengembangkan potensinya.

dalam filsafat wajibul wujud adalah yang actuall yakni Allah dan Alam. namun Allah wajibul wujud li dzatihi dan alam wajibul wujud li ghairihi. dan Allah juga di sebut dengan Actuall murni yang tidak berawal fdan tidak ada akhir.
mustahil wuijud adalah musthail Allah yidak actuall dan berpotensi.
Contoh: bisahkah Allah maha kuasa membunuh dirinya sendiri? tentu tidak bisa karena kata bisa di analogiikan seperti di atas, kalau bisa berarti bukan mustahil wujud melainkan mungkiru;l wujud.

A.3. Kosmologi
untuk kosmologi paripatetik ini mengacu pada teori Imanasi yang berasal dari aliran Neo-platonisme yang dikembangkan oleh Al-Farabi sekaligus orang pertama yang merumuskannya. 



Kedua pemikir ini mewakili madzhab dan langgam pemikiran yang parallel, yakni
mencoba menggabungkan antara paripatetik (masha>’iyah) dengan iluminatif (‘irfa>ni).
Untuk itu, dalam penelitian ini, pemikiran mereka dihadirkan secara bersamaan dalam satu
bingkai, untuk melihat titik bidik epistemolog baya>ni burha>ni dan ‘irfa>ni dalam satu
mainstream pemikiran.

Epistemologi Shuhrawardi>
Karya-karya Shiha>b al-Di>n Yahya> al-Shuhrawardi>, yang digelari sebagai
Shaikh Al-Ishra>q (Guru Besar Filsafat Illuminasionis), sampai sekarang mendapat posisi
yang istimewa di berbagai sekte sufi (t}uruq al-S{u>fiyyah). Buah pemikiran al-
Shuhrawardi> membuka wacana pembaharuan pemikiran yang dilestarikan oleh banyak
pemikir dan juru spiritual (al-ru>ha>niyyi>n) sampai sekarang. Mempelajari
epistemologi Al-Shuhrawardi>, sama dengan mempelajari sinkretisasi tiga displin ilmu
sekaligus: kala>m (Islamic Theology), filsafat dan tasawuf.
Nama lengkap al-Shuhrawardi> adalah Abu> al-Futu>h Yahya> ibn Habsh ibn
Ami>rik. Beliau lahir pada 549 H/1155 M di Barat Laut Iran di kota Shuhraward, kota di
mana sering terjadi bentrokan peperangan. Sejak belia, dia menuntut ilmu di Mara>ghah
daerah Adzbija>n. Kemudian menuju As}biha>n di pusat Iran. Di sana beliau
menyaksikan rintisan-rintisan filsafat Ibn Sina dilestarikan. Kemudian menghabiskan
beberapa tahun di Ana>dlu>l, menimba ilmu kepada banyak pejabat dinasti Saljukiyah
dengan penuh antusias. Terakhir menuju Syiria dan tidak pernah kembali dari sana. Di
daerah inilah beliau dituduh mengajarkan ajaran yang kontradiktif dengan ajaran
mainstream sehingga- atas desakan S{alahuddin al-Ayyu>bi kepada putranya, Al-Ma>lik
al-D{a>hir, yang jadi hakim di sana- difatwa sebagai kafir dan sesat. Akhirnya beliau
mati secara misterius (digantung, dipenjara, mogok makan, dibunuh dengan pedang atau
dibakar?) pada 587 H/1191 M. Sehingga total umur beliau adalah 36 tahun (38 tahun
Qamariyyah). Para sejarawan umumnya menjulukinya dengan al- Shaikh al-Maqt}u>l,
(maha guru yang terpancung), sedangkan para muridnya mengagungkannya dengan
sebutan al-Shaikh al-Shahi>d, (maha guru yang gugur dalam keshahidan).
Shuhrawardi> merupakan tokoh yang pertama kali berani menantang hegemoni
filsafat paripatetik pada abad enam Hijriyah. Kemudian berusaha membangun aliran
filsafat baru yang bernama falsafah ishra>qiyyah (filsafat illuminasi). Karir intelektual Al-
Shuhrawardi> bermula sebagai seorang sufi, kemudian sebagai seorang filosof paripatetik.
Puncak dari ajaran filsafatnya berupa h}ikmah al-ishra>q, dengan nama kitab master
piece-nya yang sama, yang merupakan gabungan antar filsafat dan tashawwuf. H{ikmah
al-Ishra>q dibangun atas dua hal: al-h}ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah aldhauqiyyah.
Al-H}ikmah al-baht}iyyah (disebut juga h}ikmah al-Fala>sifah) dibangun
atas dasar metodologi analisis, komposisi, istidla>l al-burha>ni>; dan bertujuan
mencapai hakikat. Sementara al-h}ikmah al-dhauqiyyah (disebut juga h}ikmah alishra>
qiyyi>n) merupakan buah dari eksperimen spiritual menghampiri sang Maha tahu.
Sejatinya tidak ada kontradiksi esensi antara satu sama lain. Yang terjadi hanya sebatas
kontradiksi lahir. Karena puncak dari h}ikmah al-ishra>q adalah eklektisasi antara alh}
ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah al-dhauqiyyah, memperkokoh hikmah yang
pertama sekaligus mempertajam aura hikmah yang kedua.65 Al-Ishra>q adalah
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa ketika tajarrud atau khalwah. Jadi h}ikmah al-ishra>q adalah
hikmah yang dibangun atas dasar epistemologi al-ishra>q (illuminasionis) yang
merupakan kashf atau h}ikmah ‘ala> musha>riqah (bangsa Persia klasik). Definisi ini
mengisyaratkan: pertama, bahwa al-ishra>q adalah sumber al-h}ikmah al-ishra>qiyyah.
Ia mengandung konsep manifestasi atau pembasisan alam realita. Manifestasi ini
merupakan kerja aktif jiwa yang mampu menahan curahan kashf. Kedua, terdapat

sinonimitas antara kata ishra>qi> dan mashriqi>, yang bermakna memahami ishra>qi>
dengan logika h}ikmah mashriqi>yyi>n. Ketiga, para juru hikmah Persia klasik
membangun epistemologi filsafatnya atas dasar kashf atau musha>hadah yang bermakna
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa setelah tajarrud atau khalwah.
Karena itu filsafat Illuminasi (falsafah ishraqiyyah) adalah antonim dari filsafat
paripatetik (falsafah masha>iyyi>n) di mana yang kedua berbasis analisis, bukti-bukti
rasional-logis, sementara yang pertama berbasis kashf dan dauq s}ufi>.66 Ada istilahistilah
asing yang digunakan al-Shuhrawardi> dalam karya-karyanya, sebagai berikut:67
(1) al-k{air= al-ru>ha>ni>; (2) al-ma>ddi>= al-maz}lam; (3) al-anwa>r = al-‘uqu>l;
(4) al-anwa>r al-qa>hirah = ‘uqu>l al-afla>k; (5) al-anwa>r al-mujarradah = al-nufu>s
al-insa>niyyah; (6) nu>r al-anwa>r = Allah, Tuhan, God; (7) al-jauhar al-muz}lim au algha>
siq= al-jism; (8) ‘a>lam al-bara>zikh = ‘a>lam al-ajsa>m.
Logika Illuminasi merupakan ringkasan dari logika paripatetik-Aristotelian.
Logika ini terinspirasi oleh spirit-spirit sufi dengan kosep keesaannya. Logika Illuminasi
melebur qad}i>yyah muja>bah dan qad}i>yyah sa>libah menjadi hanya satu, yaitu
qad}i>yyah muja>bah ma’du>lah dengan cara memindahkan seluruh nafy ke bagian
mahmu>l.68 Bila logika paripatetik-Aristotelian mengkomposisikan definisi (ta’ri>f)
dengan jins dan dhat kha>s}, maka logika Illuminasi mengkritik pemahaman ini. Karena
bagi al-Shuhrawardi>, dhat kha>s} itu unknowable (majhu>l, tidak dapat diketahui
dengan pasti). Sesuai dengan prinsip logika paripatetik-Aristotelian sendiri, sesuatu yang
majhu>l hanya bisa dipahami dari yang ma’lu>m. Lantas al-Shuhrawardi> menawarkan
konsep baru tentang definisi (h}add), yakni melalui dua metode: Pertama, metode alih}
sa>s (inderawi); perkara-perkara yang mah}su>sa>t mampu dipahami secara
sempurna. Kedua, metode kashf dan ‘iya>n.
Dalam masalah qad}aya>, logika al-Shuhrawardi> melebur qad}aya> kulliyyah
dan qad}a>ya> juziyah menjadi qad}a>ya kulliyyah saja. Karena qad}a>ya> kulliyyah
adalah asal sedangkan qad}a>ya> juziyah adalah derivasi atau turunan darinya. Sesuatu
yang bukan asal tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang meyakinkan.
Madhhab al-ishra>qi> ini berkaitan erat dengan filsafat Persia klasik sekaligus
filsafat Neo-Platonisme khususnya pada konsep illuminasi (al-faid}, curahan) dan cahaya
(al-nu>r). Madhhab al-ishra>qi> tidak lepas dari madzhab al-faid} yang mendahuluinya
sekaligus mempengaruhinya. Karena itu, madzhab ini bisa dianggap- terutama dalam
konsep al-bina> al-wuju>di> sebagai penerus dari metodologi teori “akal sepuluh” (al-
‘uqu>l al-‘ashrah); atau sebagai kritik konsep “akal sepuluh” tidak dari sigi proses, tetapi
dari kuantitasnya. Karena kritikan penting yang dihujamkan oleh Al-Shuhrawardi> kepada
teori penciptaan kosmos paripatetik-aristotelian berorientasi pada memperbanyak jumlah
dan bilangan akal.

TEORI ILLUMINASI BY SUHRAWARDI

LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI



LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI
Setidaknya terdapat tiga persoalan keilmuan paling krusial saat ini, pertama soal dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang terdiri dari dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis, dan dampak psikologis.[1] Kedua, soal bangunan episteme[2] yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu, yaitu rasionalitas melebihi wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi dan sejarah, progresivitas lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.[3] Ketiga, seiring dengan universalisme itu, elemen-elemen episteme tersebut lalu menjadi kekuatan “hegemonik”, sehingga tidak tersedia lagi ruang tafsir lain atas realitas.[4]http://www.mohammadmuslih.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Krisis peradaban modern, banyak kalangan mengatakan, bermula dari persoalan bangunan keilmuan itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khususnya dan pemeluk agama pada umumnya, terkait problem pengetahuan ini, adalah karena dominasi rasionalitas itu telah jauh meninggalkan agama. Keyakinan adanya Tuhan dan peranNya sama sekali tidak disentuh, bahkan dinafikan dalam proses pengetahuan.
Tapi, benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses pengetahuan manusia? Persoalan seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi agama-agama, seperti yang terjadi pada tradisi sufisme. Tetapi bagaimana penjelasannya. Inilah barangkali yang diperlukan. Kontribusi seperti itu bisa jadi memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologi saat ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan alternatif, semacam “second opinion”.
Pada sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan karena sentimen agama kerap terjadi. “The Battle for God”, demikian ungkap Karen Amstrong. Benarkah Tuhan menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada pada konsepsi manusia (umat beragama), bukan Tuhan in Himself; bukan tuhan yang mencipta manusia (dan alam semesta) tetapi tuhan yang dicipta manusia dalam konsep-konsepnya itu.
Bangunan keilmuan yang bercorak rasionalis jelas berujung pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya. Ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan model keilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi. Tetapi adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk Tuhan?
Dalam tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan pemikiran logika illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian epistemologi Islam yang bercorak intuitif sekaligus bersifat teodesi. Dalam kerangka demikian, makalah ini akan menunjukkan keberatan Suhrawardi terhadap logika rasional Peripatetik dan mengungkap argumen filsafat Illuminasi tentang proses keilmuan (epistemologi) yang diklaim sebagai dapat mengantar manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, serta menemukan relevansinya bagi keilmuan dewasa ini.
Mengapa harus Suhrawardi?
Suhrawardi dalam wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. Ia adalah seorang filosof Muslim besar. Pemikiran filsafatnya dikenal dengan sebutan Filsafat Illuminasi atau al-hikmah al-isyraqiyah. Menurut Hasan Hanafi, di tangan Suhrawaydi, filsafat Islam mencapai puncaknya.[5] Namun demikian, pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja. Pertama, ia tampil sebagai tokoh ‘sejarah’, di mana perbincangannya sekitar nama, tempat dan tanggal lahir, nama guru dan pendidikannya sampai tahun meninggalnya. Hal ini dapat dilihat di hampir semua buku (literatur) yang berjudul ‘History of Muslim Philosophy’ atau ‘History of Islamic Philosophy’.
Kedua, ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan karenanya iapun ‘duduk’ sejajar dengan al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Hal ini terlihat jelas dalam buku-buku ‘tasawuf’ yang ditulis oleh pemikir Muslim atau buku-buku yang bertema ‘Sufism’, ‘Mistical Dimension in Islam’ dll. yang ditulis oleh pemikir Barat. Menurut Hossein Ziai, para pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed Hossein Nasr (dari kalangan Muslim) yang mempopulerkan Suhrawardi, juga masih mengesankannya sebagai sosok sufi dan masih bercorak historis. Ajaran Suhrawardi, seperti juga tokoh-tokoh sufi tersebut, memang bercorak mistiko-filosofis, tetapi yang mengesankan mengapa Suhrawardi disebut sebagai filosof (besar), sedang yang lain hanya tokoh sufi saja. Sudah tentu Suhrawardi punya kekhasan; tentang problematiknya, tawaran penyelesaiannya, metodologinya, dll.
Alasan yang terpenting adalah: sama seperti problem pengetahuan saat ini, problem mendasar di sekitar kemunculan Suhrawardi adalah soal “validitas pengetahuan”, di mana pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah logika Peripatetik. Ciri paling menonjol dari model pengetahuan ini adalah kebenaran silogisme, proposisi, konsep dan problem definisi. Makanya pengetahuan itu dapat dicari (mathlub) meski terkait objek yang tidak dapat dicerap (al-syai’ al-ghaib). Bagi Suhrawardi, model pengetahuan rasionalis seperti itu banyak terjadi kelemahan.
Suhrawardi dan Problem Logika
Suhrawardi, nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, ia lahir pada tahun 549 H/1155 M di Suhraward, Mediterania kuno, Iran Barat Laut dan meninggal di Aleppo pada tahun 587 H/1191 M.[6] Berarti ia meninggal dalam usia yang sangat muda (+ 38 tahun hijriah atau 36 tahun masehi). Dapat dibayangkan bahwa ia adalah seorang yang amat cerdas sekaligus mempunyai ‘pikiran nakal.’ Disebut cerdas, tidak saja karena Suhawardi telah menulis sekitar 50 judul buku dalam bahsa Arab dan Persia, dan sebagian besar telah sampai kepada kita, meski masa hidupnya terbilang pendek,[7] namun lebih dari itu buku-buku itu merupakan karya yang utuh. Disebut punya ‘pikiran nakal’, karena biasanya para sufi hidupnya sederhana menjahui ‘gemerlap’ dunia, Suhrawardi malah tinggal di istana, memenuhi undangan Malik al-Dzahir, seorang putra Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.[8] Artinya menjadi sufi tidak harus meninggalkan kehidupan keduniaan. Tampaknya hal ini yang kemudian dilakukan Jalaluddin Rumi.[9]
Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau lebih tepatnya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal experience dalam arti pengalaman pribadi. Jika pengalaman demikian ‘diberlakukan’ pada dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya tanpa disangka-sangka, maka tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya apa yang dialami oleh Abu Yazid al-Basthami. Sebaliknya akan menjadi masalah besar, jika pengalaman itu kemudian di’sulap’ menjadi sebuah ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam banyak kasus, nasib pelakunya kemudian berakhir di tiang gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa, seperti yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh Suhrawardi, makanya ia dijuluki al-Maqtul atau al-Syahid,[10] yaitu hanya karena ajaran-ajarannya yang bercorak mistiko-filosofis (bahasa Azra) itu dianggap menyeleweng dari mainstream yang bersifat heterodoks (C.E. Farah)
Kecuali personal experience seperti dinyatakan di atas, pilihan hidup mistik lahir sebagai efek samping dari ‘kejenuhan’ formalisme (Mukti Ali, Simuh dll termasuk Annimarie Schimmel mengakui hal ini). Jenuh, karena –seakan- hanya ada satu logika (dalam hidup ini) yang disebut logika ‘monster’, yaitu suatu kerangka berpikir umum di mana seseorang sulit untuk menghindar dan melepaskan diri dari logika itu, seakan tidak punya pilihan lain, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jenuh dalam pengertian seperti inilah yang dialami oleh Hasan al-Basri. Hasan al-Basri, sebagaimana dimaklumi, memilih hidup sebagai zahid atau ‘âbid karena ‘jenuh’ terhadap formalisme atau logika ‘monster’, dalam hal ini, perdebatan yang berlarut-larut di sekitar suksesi sepeninggal Ali bin Abi Thalib, yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim teologis dan hukum.[11]
Dalam sejarah pemikiran Suhrawardi, tampak jelas, hal ini juga terjadi ­­­­­­­­­­­­­­­­­­padanya. Kecuali situasi perang (dalam hal ini perang salib) dari sisi ‘polkam’, logika Peripatetik rupanya merupakan ‘satu-satu’ nya model kerangka berpikir kala itu. Inilah logika monster itu. Bagi Suhrawardi logika ini mempunyai banyak kelemahan. Inilah yang menjadi keprihatinan (kegelisahan akademik, kata Amin Abdullah) Suhrawardi. Meski penulis memahami bahwa pemikiran Suhrawardi memiliki sejarah yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa guru[12] dan aliran filsafat yang mempengaruhinya,[13] bahkan ia pun melakukan meditasi dan berhalwat,[14] namun harus diakui bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karakteristiknya itu. Menurut Hossein Ziai, persoalan logika illuminasi –yang merupakan ‘penyerangan’ terhadap logika Peripatetik ini– adalah persoalan paling krusial dalam filsafat Isyraqiyah ini.[15] “Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan logika illuminasi,” demikian Ziai.[16] Poin inilah yang menjadi fokus pembicaraan makalah ini, meski harus diakui, justru karena ini menyangkut persoalan yang rumit, maka banyak terjadi penyederhanaan, sesuai tangkapan penulis.
Penerus Peripatetik?
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât,[17] yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin?
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis.[18] Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.[19] Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji) seperti Seyyed Hossein Nasr,[20] Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.[21]
Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.[22]
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.[23]
Menurut Ziai,[24] Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah) adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi.
Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub),[25] meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).[26] Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul).[27] Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness)[28] dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian disempurnakan dengan metode intuitif. Persoalannya, kapan metode diskursif itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan pengetahuan yang bagaimana yang dimaui oleh filsafat Isyraqiyah? Persoalan ini akan dijawab pada pasal berikut ini.
Problem Validitas Pengetahuan
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10).[29] Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal.[30]
Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî.[31] Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql.[32] Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.[33]
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).[34]
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui.[35] Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai.[36] Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).[37]
Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif.[38] Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân), antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.[39]
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.[40]
Logika Illuminasi: beberapa poin
Hadd bukan Ta’rif
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).”[41] Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.[42]
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-azhhar).[43] Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga, menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna.[44] Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”[45]
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an al-ta’rif,[46] dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.”[47] Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya “dirasakan.”[48]
Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya.[49] Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung, dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan.
Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.[50]
Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib? Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini. Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative[51] yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Foucault.[52]
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai fakta positif[53] yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah.[54] Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika,[55] Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni,[56] sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city.[57] Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.[58]
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul).
Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat ini.
Wallahu a’lam bish shawab

Daftar Pustaka
Al-Attas, Seyyed Naquib,  Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995)
Corbin, Henry, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), Te Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967)
Cox, Harvey, Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967)
Faucoult, Michel, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)
Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Giddens, Anthony.  (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975)
Hanafi, Hasan, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt)
Hardiman, Budi, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
Hardiman, Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003
Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991
Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
Kertanegara, Mulyadhi, “Peran Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religiu: Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari kerjasama Studi Perbandingan Agama PPS UGM dengan Jemaat Ahmadiyah, dengan tema “Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Sosial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001
Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984)
Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)
Marty, Martin E., “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar”, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994)
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963)
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto&London: New American Library, 1968)
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: Caravan Book)
Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Rayan, Mohd Ali Abu, Ushûl al-Falsafah al-Isrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-Jami’ah, tt)
Schimmel, Annimarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Rajawali Press, II/1997)
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown University, 1990)


[1]Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains yang secara serta-merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan-kekuatan militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan tek­nologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keter­asingan mental yang dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industri­alisasi ekonomi. Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia. Lihat Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004), p. 221-222
[2]Episteme merupakan keseluruhan ruang makna dan prapengandaian yang mendasari kehidupan yang memungkinkan pengetahuan bisa terlahir. Maka episteme berisi hal-hal yang bisa dipikirkan dan dipahami pada suatu masa. Michel Foucault lebih jauh melihat, episteme merupakan ‘medan’ penelusuran epistemologis dari kelahiran pengetahuan. Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994), p. xxii
[3]Lihat Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), p. 194
[4]Lahirnya norma-norma ilmiah seperti pada Positivisme yang hanya mempercayai fakta “positif” dan yang digali dengan “metodologi ilmiah”, lalu Positivisme Logis yang mengajukan prinsip “verifikasi” untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[5] Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu sendiri merupakan penyambung ujung-ujung kesempurnaan pemikiran. Dalam segi pemikiran ia hidup pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan ibn Rusyd (1126-1198) dan tasawuf di tangan Ibn ‘arabi (1165-1240), kemudian pada abad berikutnya ilmu kalam di tangan al-Iji (w. 1388). Jadi Suhrawardi datang setelah pemilahan metode penalaran dan zauq mencapai puncaknya. Lihat Hasan Hanafi, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt), p. 274
[6]Henry Corbin, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967), p. 486; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto & London: New American Library, 1968), p. 328
[7]Seyyed Hossein Nasr, Three Muslem Sages, (New York: Caravan Book), p. 56
[8]ibid., p. 57
[9]Mulyadhi Kertanegara, “Peran Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religius: Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Soasial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001
[10]Disebut demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum mati. Menurut catatan Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran Malik al-Zhahir untuk tinggal di istana. Pamornya menjadi menurun, terutama di kalangan ulama. Mereka menuntut agar Suhrawrdi dihukum mati, tetapi Malik al-Zhahir menolak. Mereka lalu mendekati Shalah al-Din al-Ayyubi yang kemudian mengancam akan menurunkan anaknya, kecuali jika ia mau mengikuti aturan para ulama. Suhrawardi kemudian dipenjarakan dan pada tahun 587/1191 ia meninggal dunia, entah karena dicekik atau karena dibiarkan kelaparan. Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), p. 375
[11]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta, Rajawali Press, II/1997), p. 25; Annimarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), p. 35
[12]Konon, mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majduddin Jili di Maraghah, dan kemudian belajar pada Zahiruddin di Isfahan serta Fakhruddin al-Mardini (w. 1198 M), yang diduga sebagai gurunya yang paling penting. Gurunya yang lain adalah Zahir al-Farsi, seorang ahli logika dan al-basa’ir. Suhrawardi juga berguru pada Umar ibn Sahlan al-Sawi, seorang filosof dan ahli logika. Lihat Dr. Muhammad Ali abu Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, tt), p. 19-20
[13]Tentang aliran filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Suhrawardi, mulai dari aliran filsafat Platonism, Aristotelianism, Peripatetik Ibn Sina sampai dengan pengaruh al-Ghazali dll. Lihat ibid., p. 71-119
[14]Sebagaiana secara eksplisit dikatakan Suhrawardi dalam “Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix A dalam Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 173
[15]Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 143
[16]Ibid., p. 115
[17]Menurut Abu Rayan, buku ini merupakan satu dari lima buku Suhrawardi yang ditulis pada periode peripatetik. Empat yang lain adalah al-Lamahat, al-Muqawamat, al-Mutharahat, al-Munajah. Lihat Mohd Ali Abu Rayan, op.cit., p. 61
[18]Hossein Ziai, op.cit., p. 10-11
[19]ibid., p. 17
[20]Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din, op.cit., p. 374
[21]Adalah beberapa sarjana yang mengakui karya-karya Suhrawardi seperti al-Talwihat, al-Muqawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat sebagai karya peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan filsafat illuminasi yang pada masa sebelum Suhrawardi mengembangkan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metode illuminasi. Hossein Ziai merujuk pada Louis Massignon, Recueil de textes inedis (Paris: Paul Geuthner, 1929), p. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, p. 437-438.GAL SI, p. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomenes”, Opera II.
[22]Hossein Ziai, ibid., p. 14 Footnote 3
[23]ibid.
[24]ibid., p. 22
[25]ibid., p. 136
[26]Ini juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama ini disebut ta’rif oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang hanya menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rif ia klaim lebih dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka ta’rif kemudian diterjemahkan dengan “menjadikan ditahui”; making known.
[27]Hossein Ziai, ibid., p. 141
[28]ibid., p. 117
[29]Sebagaimana dikutip Hossein Ziai :
?? ???? (???? ???? ???????) ???? ??????? ?? ??? ????? ???? ???
Lihat. Hossein Ziai, ibid., p. 43 footnote 2
[30]ibid.
[31]ibid., p. 54
[32]Muhammad Ali Abu Rayyan, op.cit., p. 306 dan 316; dan ada beberapa literatur yang menyebut idrak bil hissi, idrak bil fahm, dan idrak bil aql
[33]Argumen Suhrawardi: ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ??
Lihat Hossein Ziai, op.cit., p. 133
[34]Ibid., p. 44
[35]Ibid., p. 140 dan terutama footnote 4:
?? (?????) ????? ???? ?????? ???
[36]ibid., p. 61
[37]Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Pengantar, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994), p. 14
[38]Hossein Ziai, op.cit., p. 141
[39]ibid., p. 142
[40]ibid., p. 143
[41]Hossein Ziai, ibid., p. 78 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 21
[42]ibid.
[43]ibid., p. 65
[44]ibid., p. 66
[45]ibid., p. 118-9
[46]Hossein Ziai, ibid., p. 134 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 73-74
?? ????? (?????) ?????? ?? ??????? (barangsiapa sudah menyaksikan, maka tidak butuh lagi definisi)
[47]Hossein Ziai, ibid. ????? ?? ????? ?????? ?? ????
[48]ibid., p. 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 42, 134-135
[49]Hossein Ziai, ibid. ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ?? (tidak mungkin mengenalnya bagi orang yang tidak menyaksikan sebagaimana adanya)
[50] Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu ungkapan: “saya tahu tapi belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat misalnya uraian pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed Naquib al-Attas,  Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20-24
[51]Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984), p. 37
[52]Lihat Michel Faucoult, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979); Bandingkan dengan Budi Hardiman, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
[53]Auguste Comte, perintis positivisme, lebih tajam lagi, menjelaskan istilah ‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’. Lihat F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991
[54]Uraian lebih luas lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[55]Rumusan kegelisahan Kant sebenarnya, antara lain dinyatakan: How is Pure Mathematics Possible?, How is Pure Natural Science Possible?, How is Pure Metaphysics in General Possible?, How is Pure Metaphysics Possible as Science? Lihat Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
[56]Nyoman Kutha Ratna, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 2
[57]Konsep ini dipopulerkan oleh Harvey Cox. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967). Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama di luar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat Martin E. Marty, “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
[58]Ketiga prinsip positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini, menurut Anthony Giddens, membawa implikasi sebagai berikut. Pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Artinya, seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-free). Lihat A. Giddens (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975), p. 3-4




Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam) merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria (Nashr, 1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.
Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Lebih jauh dari itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104).
Dalam aspek metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-haqq (Tuhan). Konsep al-haqq yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh, 1983:17).
Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn Sînâ. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak mempergunakan pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi.[i] Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution, 1995:27-28).
Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).[ii]  Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran diri”) dan baqâ’ (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106).
Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasût). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl. Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan dengan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69).
Kosep hulûl yang diprakarsai oleh al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50).
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).
 Sikap kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah kaprah.  Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaran-ajaran esoteriknya.  Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya.
Di samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya filsafat peripatetik[iii] yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).
Sejalan dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang bertumpu kuat pada metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya yang bercorak peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination).
Melihat struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan secara matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansi Hikmat al-Isyrâq. Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail. Artinya, dengan mengkaji Hikmat al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan, 1966:66-67).
Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi.  Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya.  Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan ontologi.  Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa. 
Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf.   Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).
Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22).
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Suhrawardî mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana Socrates juga harus meminum racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang memperjuangkan kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan atau aliran-aliran pemikiran yang terpengaruh olehnya.
Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.





CATATAN:

[i] Teori emanasi Plotinos diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Satu” (to hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus). Akal budi merupakan suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini terdapat dualitas yaitu pemikiran dan yang dipikirkan. Dari akal budi itu kemudian muncul jiwa dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya (Bertens, 1983:19).

[ii] Teosofi adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73).

[iii] Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Yunani peripatein yang berarti berjalan dengan berkeliling. Kata tersebut juga merujuk kepada kata peripatos yang berarti serambi gedung olah raga di Athena, tempat Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan (Ziyâdat, 1988:1274) . Dalam tradisi filsafat Islam, istilah itu dikenal dengan masysyâ’iyyat yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan istilah peripatetik (masysyâ’iyyat) mengacu kepada metode mengajar Aristoteles yang menggembleng siswanya dengan cara berjalan-jalan. Oleh karena itu, istilah peripatetik mengacu pada seluruh bangunan filsafat Aristoteles (Ma’luf, 1997:764).