Minggu, 26 Agustus 2012

Pemuda dan Penyempitan Peran ( sebuah refleksi sumpah pemuda yang ke 82)



Pada tanggal 28 oktober 1928, tepatnya pada kongres ke II di Jakarta para pelajar senusantara menetapkan sumpah pemuda. Di banding pancasila yang merupakan simbol Negara, sumpah pemuda tidaklah sebanding. Terlalu jauh sekaligus irasional jika membandingkan simbol Negara dengan sebuah sumpah, terutama yang hanya dibuat oleh seorang pemuda.
Gerakan pemuda saat itu, yang termanifestasikan melalui sumpah pemuda merupakan tindakan konkrit di tengah bangsa ini sedang dikuasai oleh kolonial. Di tengah bangsa yang dijajah, pemuda saat itu telah mampu mengambil peran menyatukan dalam melawan kolonial.
Sumpah pemuda, yang merupakan cerminan dari pemuda nusantara seakan menjadi tolak ukur dari kebhinekaan dan kesatuan bangsa ini. Pemuda tersebut mewakili dari berbagai daerah mereka seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi dan lain-lain. Manifestasi pemuda nusantara inilah yang kemudian menjadi ikrar setia terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, penulis tidak akan memperpanjang historis sumpah pemuda yang pada ujungnya akan mengerucut pada satu person yang bias akan kepentingan, karena dalam pendangan penulis keberhasilan tentang gebrakan pemuda saat itu tidak hanya di sebabkan oleh satu individu saja, melainkan semua individu pemuda yang cinta akan persatuan melawan colonial.
Kalau kita cermati, pemuda pada pra kemerdekaan sangatlah progres dan sumpah pemudalah salah satu gebrakan itu yang bisa menandai lahirnya Indonesia. Mulai dari Tan Malaka sembagai pemuda pemberontak saat itu, terutama dalam hal melawan penjajah. Tidak hanya itu Soekarno mulai berjuang melalui kendaraan PNI. Tidak hanya itu Hayam Wuruk pun menjadi raja di usianya yang baru enam belas tahun. Gajah madapun menjadi raja tak lebih dari umur dua puluh tiga tahun.
Kalau kita bandingkan dengan pemuda saat ini, jarang sekali pemuda di usianya yang masih muda terjun keranah masyarakat yang permasalahannya kian kompleks. Melanjutkan tulisan ini tiba-tiba penulis teringat perakataan budayawan agus sunyoto. Tepatnya setahun lalu dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda di café Aquanus Soekarno Hatta Malang. Meskipun masih tak semuanya ucapan beliau penulis semua ingat, yang penulis masih ingat adalah bahwa pemuda saat ini kehilangan perannya sebagai pemuda.
Penulis cermati, peran pemuda kekinian semakin menyempit di tengah pengotakan secara psikis dan justifikasi masyarakat modern tentang peran pemuda. Ambil contoh, dalam ilmu psikologis pemuda yang berumuran dua puluh tahunan. Dalam ilmu psikologi pada usia saat itu yang dibahas tentang pergolkan nilai remaja, menyukai geng-gengan dan sampai puncak dari seks.
Bangunan pengetahuan yang ditanamkan kedalam bawah sadar saat ini adalah bersifat positifistik yang sangat jauh dari ruh perjuangan masyrakat marginal. yang dijelaskan bahwa dalam usia remaja dan dewasa awal yang ada hanya sifat manja dan individualisme, inilah yang penulis sebut sebagai penyempitan peran pemuda saat ini.
Kalau kita bandingkan, Hayam Wuruk bisa menjadi raja pada usia enam belas tahun kenapa pemuda saat ini malah di justifikasi dengan pengetahuan yang cendrung memperkecil peran pemuda. Kalau dahulu pemuda sudah berani memimpin sebuah kerajaan, pada saat ini alam bawah sadar pemuda sudah di hegemoni oleh globalisasi yang mengakibatkan hedonisme dan konumerisme yang malah membunuh kodrat pemuda yang hakikatnya penuh dengan spirit perjuangan.
Dalam konteks kekinian, jarang sekali pemuda mengisi pos penting terutama yang bersifat perjuangan terhadap bangsa. Meskipun sebagian ada, namun suara pemuda tersebut tidaklah sebagai representasi dari pemuda ditanah air ini. Suara lantang pemuda tersebut banyak di motifkan kepentingan pribadi maupun kelompok yang cendrung pragmatis.
Pada tahun 1965 kita mesih sering mendengar perjuangan Soe Hoek Gie yang dengan gigih memperjuangkan nasib rakyat, yang biasanya di kenal dengan perjuangan angkatan 65. Dalam berbagai kesempatan, dalam tulisan maupun dalam filmnnya, Gie banyak menyesalkan gerakan para pemuda yang cendrung tidak independen dan bias kepentingan kelompok. Hal ini penting karena gerakan pemuda seyogyanya sebagai pioner sebagai representasi rakyat seluruhnya, bukan golongan tertentu.
Semangat sumpah pemuda merupakan momen untuk menciptakan gerakan pemuda yang kolektif bukan berkiblat pada golongan tertentu. Sumpah pemuda, pada dasarnya mengajarkan hal tersebut dimana pemuda dari sabang sampai maraoke bersatu menegaskan bangsa Indonesia tanpa kepentiangan dari sekte tertentu.
Selain itu, seyogyanya ada revitalisasi peran pemuda yang secara historis peranannya sangatlah besar bagi bangsa ini. Pemuda identik dengan semangat patriotiknya tentu sangat naïf ketika peran itu dipersempit dengan hegemoni pengetahuan modern yang kering dari semangat memperjuangkan nasib masyrakat marginal.
Memberi kepercayaan bagi yang muda untuk beraktualisasi, tidak hanya dalam diruang prifat melainkan di ranah public merupakan solusi yang koheren ditengah penyempitan peran dan fungsi pemuda yang senangtiasa di sandingkan dengan kata agen of change dalam berbangsa dan bernegara.