Jumat, 28 September 2012

Aku berfikir dan Karena Itu Aku Ada

Kalimat yang dikemukakan oleh Descartes itu selalu dimuat dalam buku buku pengantar filsafat khususnya yang membahas mazhab rasionalisme dan senantiasa nyaris tanpa ada koreksi benar-salahnya sama sekali, dan kemudian menjadi semacam ‘mantra sakti’ yang membius banyak orang  sehingga selalu takjub tanpa bisa bersikap kritis kepada apa yang datang dari dunia filsafat.
Dan sebagian orang menganggap prinsip Descartes ‘aku berfikir karena itu aku ada’ itu sebagai semacam pijakan atau  parameter untuk memahami konsep rasionalisme serta pengertian ‘rasionalitas’.yang berbahaya kemudian adalah bila orang mengaitkan sesuatu yang harus masuk akal (yang rasional) dengan kekuatan kesadaran manusia sehingga yang diluar kekuatan kesadaran manusia menangkap (dan memikirkannya) nya akan dianggap ‘tidak masuk akal’. masalahnya kemudian adalah kekuatan kesadaran berfikir manusia itu (tanpa bimbingan agama) seringkali menjadi sangat bergantung pada pengalaman dunia inderawinya sehingga yang tidak masuk pengalaman dunia inderawinya seringkali tidak masuk dalam kesadaran berfikir nya sehingga ujungnya lahir prinsip ‘yang masuk akal adalah yang dunia indera bisa menangkapnya’.
Artinya dengan pernyataannya yang terkenal itu Descartes telah membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai ‘ada’, (sehingga yang tidak masuk kedalam kesadaran berfikirnya harus dianggap untuk ‘tidak ada’ ?)

Mari kita kaji dan kita kritisi pemikiran Descartes ini untuk menemukan benar-salah nya :
Descartes berkata : ‘aku berfikir karena itu aku ada’ bila kita melihatnya hanya dari satu sisi yaitu sisi dimana (kesadaran) manusia menjadi parameter kebenaran maka pernyataan itu seperti benar tapi bila kita melihatnya dari kacamata sudut pandang lain dari kacamata sudut pandang yang bersifat Ilahiah, dari kacamata sudut pandang Sang pencipta maka pernyataan itu sebenarnya akan berubah menjadi tidak benar.mari kita analisis :
Descartes menyatakan : ‘aku berfikir maka karena itu aku ada’ ,analisisnya kita mulai dengan pertanyaan berikut : bila Descartes sedang tertidur atau sedang pingsan dan artinya saat itu Descartes sedang tidak dalam keadaan menyadari bahwa dirinya ‘ada’ maka pada saat itu apakah kita akan mengatakan bahwa Descartes sedang ‘tidak ada’ (?).
Kita buat analogi lain : dimasa silam sebelum manusia menemukan teropong yang bisa meneropong alam semesta saat itu manusia belum mengetahui bahwa ada banyak planet yang berada diseputar planet bumi yang juga mengelilingi matahari,artinya keberadaan planet planet saat itu belum masuk kedalam kesadaran berfikir manusia,nah pertanyaannya : apakah saat itu ketika manusia belum menyadari keberadaan planet planet itu maka planet planet itu kita katakan ‘belum ada’ dan hanya bisa disebut ‘ada’ setelah manusia menemukan keberadaannya (?)
Kalau begitu maka pertanyaannya : siapa sebenarnya yang berhak menentukan sesuatu itu sebagai ada (?) apakah Sang pencipta ada atau makluk yang diciptakan oleh Sang pencipta itu (?)dalam dimensi yang lebih luas : siapa yang berhak mendeskripsikan realitas (yang menentukan ini ada dan ini tidak ada) apakah Tuhan sang pencipta realitas ataukah makhluk yang diciptakan (?) dengan kata lain : apakah manusia itu penentu ‘ada’ (yang berhak menentukan ini ada atu ini tidak ada) ataukah hanya makhluk penangkap sebagian kecil ‘ada’.
Untuk menjawabnya mari kita buat analogi yang lain : si Fulan kedatangan tamu yaitu saudaranya dari luar kota,saudaranya ini sebenarnya sudah tiba didepan halaman rumahnya tapi karena  si Fulan sedang berada dikamarnya maka karena itu ia tidak melihat keberadaan saudaranya yang sudah berada didepan halaman rumahnya dan karenanya keberadaan saudaranya yang sudah berada didepan halaman rumahnya ini belum masuk kepada kesadarannya.lalu apakah karena itu maka harus kita katakan bahwa ‘saudaranya itu belum ada didepan halaman rumahnya ’ karena si Fulan belum menyadarinya (?)
Apakah sebuah realitas harus dinyatakan sebagai ‘ada’ hanya setelah manusia menyadari keberadaannya,dengan kata lain bila keberadaan sesuatu belum masuk kepada kesadaran manusia apakah sesuatu itu harus kita katakan ‘tidak ada’ atau ‘bukan realitas’ (?).ataukah realitas itu harus kita lihat dari kacamata sudut pandang Tuhan sebagai penciptanya sehingga kita mengetahui segala suatu sebagai ‘ada’ atau ‘realitas’ karena Tuhan yang mendeskripsikannya.
Contoh lain : bila realitas yang dinyatakan oleh Tuhan seperti : alam kubur,sorga-neraka dlsb. apakah karena semua realitas itu belum bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera manusia maka manusia berhak mendefinisikannya sebagai sesuatu yang  ‘tidak ada’ (?)kalau begitu manusia memposisikan dirinya bukan lagi hanya sebagai penangkap realitas yang terbatas tapi sudah menempatkan diri sebagai ‘penentu realitas’.
Itulah sebab dalam melihat problem ‘realitas’ manusia harus belajar melihat realitas dari kacamata sudut pandang atau dari dimensi lain jangan melihatnya hanya dari kacamata sudut pandang kesadaran manusia sebab manusia bukan pencipta realitas tapi penangkap sebagian realitas (itupun sangat terbatas) artinya kita harus belajar melihat  realitas dari sudut pandang penciptanya, Tuhan yang menciptakan realitas,dan kemudian belajar menyadari dan menempatkan diri sebagai ‘penangkap sebagian kecil realitas’,dengan cara demikian manusia tidak mudah memvonis apa pun yang datang dari agama sebagai ‘hanya dogma’ tanpa mengaitkannya dengan ilmu tentang realitas itu.
Bila Tuhan menyatakan bahwa : Saitan,malaikat,sorga-neraka itu ada maka manusia sebenarnya tidak berhak memvonis semua itu sebagai ‘tidak ada’ hanya karena dunia panca indera manusia tidak bisa menangkapnya (dan karena itu belum menyadari keberadaannya) sebab sekali lagi posisi manusia sebenarnya bukan penentu ‘ada’ hanya penangkap sebagian kecil ‘ada’.problem keberadaan sorga-neraka kurang lebih sama dengan kasus planet planet itu tadi yang karena manusia belum bisa menangkapnya maka tidak bisa dikatakan bahwa planet planet itu’tidak ada’,planet planet itu ada hanya saja (saat itu) manusia belum bisa menangkap keberadaannya.
(Jadi dalam berhadapan dengan problem realitas manusia harus terlebih dahulu memposisikan dirinya hanya sebagai penangkap sebagian kecil ada bukan penentu ada.sebab orang yang mudah memvonis agama secara negative biasanya tanpa sadar di awal fikirannya telah memposisikan diri sebagai ‘penentu ‘ada’).
Itulah sebab orang yang memvonis sorga-neraka tidak ada karena tidak bisa dibuktikan secara empirik tidak bisa dikatakan pernyataan yang berdasar ilmu sebab orang ini belum menyadari posisi dirinya dalam berhadapan dengan realitas.
Kekeliruan vital dari prinsip Descartes diatas kalau kita melihatnya dari kacamata sudut pandang Sang pencipta adalah berupaya menjadikan kesadaran manusia sebagai parameter bagi sesuatu untuk disebut atau dinyatakan sebagai ‘ada’ sebab salah satu kekeliruan mendasarnya adalah terletak pada : bagaimana bila sesuatu itu memang ‘ada’ (karena ia diciptakan Tuhan untuk menjadi ada) tapi manusia tidak menyadari keberadaannya (?)apakah yang diciptakan Tuhan untuk menjadi ada itu harus dihapus dari daftar ‘ada’ hanya karena manusia tidak bisa atau belum bisa menyadari keberadaannya (?)
Apakah konsep rasionalitas harus disandarkan pada sesuatu yang melekat dalam diri manusia seperti ‘kesadaran’ atau yang lebih ekstrim : ’penangkapan dunia inderawi’ atau harus disandarkan pada sesuatu yang diluar manusia yang diciptakan oleh Tuhan sebagai konsep hukum kehidupan yang bersifat hakiki dan pasti(?) bila rasionalitas disandarkan pada kesadaran manusiawi maka ‘kebenaran rasional’ bisa menjadi relative sebab tiap manusia bisa mengemukakan konsep yang berbeda beda yang satu sama lain bisa saling berlawanan,tapi bila kebenaran rasional disandarkan pada konsep hukum kehidupan (sunnatullah) maka konsep kebenaran rasional akan memiliki dasar pijakan yang kuat dan pasti.sebab cara berfikir logika akal manusia itu diciptakan Tuhan berkarakter dualistik paralel dengan konsep hukum kehidupan yang diciptakan secara dualistik (ada siang-malam,kehidupan-kematian dlsb.), sehingga karena itu akal menjadi alat baca yang tepat untuk membaca konsep hukum kehidupan.
Melalui rubrik ini saya mengajak siapapun untuk mengoreksi apapun yang datang dari dunia filsafat,karena wacana filsafat adalah olah fikir manusia yang terbatas yang selalu mungkin untuk jatuh kepada benar atau salah sehingga derajat kebenaran yang datang dari dunia filsafat selalu bersifat relatif, sehingga agar kita selalu bisa bersikap kritis maka kita tak boleh menelannya secara mentah mentah.dan janganlah sebuah pernyataan dianggap ‘benar’ hanya karena ia dikemukakan oleh seorang ternama yang namanya telah tertulis dalam buku buku sejarah filsafat sebab nama besar bukan ukuran kebenaran





Tidak ada komentar:

Posting Komentar