Demokrasi dan Sisi Gelap Manusia
Reza A.A Wattimena
Manusia itu terdiri
dari sisi gelap dan sisi terang. Di dalam dirinya terjadi pertarungan
antara malaikat dan iblis. Pertarungan itu bersifat abadi. Pemenangnya
akan menentukan karakter dari manusia itu, apakah ia akan menjadi
manusia yang baik atau buruk.
Itulah pandangan
berbagai peradaban yang tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah arena
pertarungan. Dalam terang argumen ini, kita perlu bertanya, model tata
sosial politik macam apakah yang kiranya bisa menampung kerumitan
manusia tersebut? Bagaimana supaya manusia –yang merupakan arena
pertarungan tersebut- dapat hidup bersama tanpa saling menghancurkan
satu sama lain?
Rheinhold Niebuhr
–seorang teolog dan filsuf abad 19- pernah mengajukan argumen menarik,
bahwa demokrasi adalah tata sosial politik yang cocok untuk tujuan itu.
“Kemampuan manusia untuk bersikap adil”, demikian tulisnya, “membuat
demokrasi menjadi mungkin. Namun dorongan manusia untuk bertindak tidak
adil membuat demokrasi menjadi sangat diperlukan.” (Dikutip dari Brooks,
2009)
Demokrasi lahir dari
fakta, bahwa manusia mampu bersikap adil. Keadilan adalah keutamaan
terang yang tertanam di dalam diri manusia. Namun sebaliknya demokrasi
juga lahir dari fakta, bahwa manusia itu jahat, tidak adil, dan mampu
berbuat kejam. Inilah sisi gelap dari manusia yang membuat demokrasi,
seperti ditulis oleh Niebuhr, menjadi diperlukan. Demokrasi adalah
pemerintahan minus mallum.
Sisi Gelap Manusia
Kehidupan manusia
adalah perjuangan untuk melenyapkan sisi gelap dirinya sendiri.
Kehidupan manusia adalah upaya untuk menjinakkan naluri destruktif yang
tertanam di dalam hakekat dirinya. “Adalah merupakan suatu fakta nyata”,
demikian tulis George Kennan, seorang ahli strategi Amerika Serikat
pada masa perang dingin, “bahwa ada secuil sisi totaliter terkubur di
dalam, jauh di dalam, diri setiap orang.” (Brooks, 2009)
David Brooks –seorang
jurnalis New York Times- juga menegaskan, bahwa kejahatan itu nyata. Ia
tidak bisa dibantah. Buktinya adalah keberadaan Hitler dan Stalin.
Mereka mengorbankan begitu banyak nyawa untuk mewujudkan ambisi
politisnya.
Paul Ricoeur –seorang
filsuf Prancis abad ke-20- pernah mengajukan argumen, bahwa sisi gelap
manusia itu bisa dilihat secara langsung di dalam simbol. Simbol-simbol
itu tersebar di dalam kitab suci berbagai peradaban. Ada tiga simbol
yang dirumuskannya, yakni simbol dosa, noda jiwa, dan rasa bersalah.
(Ricoeur, 1969) Hampir semua peradaban memiliki cerita yang mengandung
tiga konsep itu. Dari fakta ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa
kejahatan itu ada (evil does exist).
Hannah Arendt –seorang
filsuf perempuan Jerman- juga berpendapat, bahwa kejahatan itu muncul di
dalam banalitas kehidupan. Semakin manusia terbiasa bertindak jahat,
semakin tindakan itu tidak terasa lagi sebagai jahat, melainkan sebagai
sesuatu yang normal. (Arendt, 1963) Arendt menulis ini untuk memahami
sepak terjang Hitler dan para perwira NAZI Jerman pada masa perang dunia
kedua.
Tentu saja sisi gelap
manusia pun memiliki tingkatan, dari maling ayam sampai koruptor, dan
dari tukang contek sampai pelaku genosida. Lain lagi pendapat yang
dikemukakan oleh Michel Foucault. Baginya setiap bentuk pengetahuan
adalah bentuk dari kekuasaan. Kekuasaan itu memiliki fungsi penciptaan.
(Foucault, 1969) Segala sesutu diproduksi oleh kekuasaan, termasuk
pengetahuan kita tentang baik dan buruk.
Maka dari itu kejahatan
tidak buruk pada dirinya sendiri. Suatu tindakan tidaklah jahat pada
dirinya sendiri. Manusialah yang menilainya sebagai jahat. Seperti
ajaran Buddhisme klasik, bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak
memiliki esensi pada dirinya sendiri. Segala sesuatu di dunia ini
temporal. (dalam Billington, 1997) Manusia yang memberikan isi pada
segala sesuatu.
Kejahatan itu nyata
baik sebagai penilaian subyektif dan juga sebagai fakta obyektif.
Perilaku jahat itu nyata. Motivasi jahat itu nyata. Manusia berperang
melawan sisi jahat di dalam dirinya sendiri. Perang itu abadi.
Jangan Menyerah dengan Demokrasi
Lalu bagaimana menata
jutaan manusia yang memiliki sisi jahat di dalam dirinya tersebut?
Represi totaliter bukanlah jawaban. “Setiap bentuk kekerasan untuk
menyelesaikan kejahatan”, demikian perkataan Gandhi, “hanya akan
memunculkan kejahatan baru, dan memperumit masalah.” (Dalam Obama, 2009)
Demokrasi adalah jawaban atas pertanyaan ini. Demokrasi mengandaikan
kebebasan dan hormat pada martabat manusia.
Demokrasi juga hidup di
atas hukum positif yang adil. Dan seperti sudah ditegaskan oleh
Neibuhr, demokrasi lahir, karena manusia itu memiliki potensi untuk
bersikap adil. Manusia itu ingin hidup baik. Ia menginginkan harmoni
dengan sesamanya.
Namun demokrasi
memiliki muka yang lain. Demokrasi muncul karena kesadaran penuh, bahwa
manusia bisa berbuat kejam dan tidak adil. Demokrasi dipandang perlu
untuk meredam gejolak destruktif yang memang tertanam di dalam kodrat
manusia. Maka jangan menyerah dengan demokrasi.
Proses demokratisasi
adalah proses yang sulit. Mentalitas demokratis berkembang di dalam
tempaan persoalan publik. Namun semua ini baik adanya. Bangsa Indonesia
perlu setia dan percaya, bahwa ini akan bermuara pada terciptanya
masyarakat yang adil dan makmur yang menjadi cita-cita kita semua. Maka
sekali lagi; jangan menyerah dengan demokrasi.
Jamborel Casino and Hotel in Gauteng - KSHR
BalasHapusJamborel 세종특별자치 출장샵 Casino 김천 출장안마 and Hotel 양주 출장샵 is a casino hotel, a hotel in Gauteng, China. Located close 서귀포 출장마사지 to the main thoroughfare of Jamborel Casino and 대구광역 출장마사지 Rating: 3.3 · 20 reviews