Kamis, 25 Oktober 2012

intelektualis

Di tengah berbagai krisis bangsa, kita selalu menaruh harapan pada dunia pendidikan. Harapannya, dengan pendidikan yang bermutu, anak-anak kita akan menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik untuk Indonesia di masa depan. Harapan itu, pada hemat saya, amat masuk akal. Percuma kita membenahi segala bidang kehidupan bersama, tetapi mengabaikan pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah kunci utama untuk menjadi bangsa yang berkarakter, yakni bangsa yang maju budaya serta peradabannya.
Namun, apa metode yang tepat untuk mendidik anak-anak kita? Jawaban atas pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali ke lebih dari dua ribu tahun yang lalu, yakni ke dalam perdebatan antara Aristoteles dan Plato, gurunya, tentang pendidikan. Secara sederhana, Plato, dengan menggunakan mulut Sokrates di dalam tulisan-tulisannya, berpendapat, bahwa pendidikan adalah soal intelektualitas. Untuk menjadi baik berarti memahami sungguh apa artinya baik. Jika orang belum menjadi baik, maka ia tidak paham arti sesungguhnya dari baik itu sendiri.
Sementara itu, bagi muridnya, Aristoteles, intelektualitas semata tidaklah cukup. Memahami arti kata jujur tidak otomatis membuat orang jujur. Bahkan, pengertian sejati tentang kata jujur pun juga belum cukup untuk membuat orang menjadi jujur di dalam tindakannya sehari-hari. Kunci pendidikan adalah membentuk kebiasaan (habituation), sehingga akhirnya menjadi karakter. Untuk menjadi jujur, orang perlu dikondisikan dan dibiasakan untuk menjadi jujur, sehingga akhirnya kejujuran sungguh menjadi bagian utuh dari dirinya.

Situasi Indonesia
Pada hemat saya, dua pandangan ini juga menjadi inti perdebatan dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ada pandangan yang melihat pendidikan sebagai proses untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan pengetahuan serta informasi. Dalam konteks ini, penelitian amatlah penting untuk dilakukan. Pendidikan adalah proses membagi hasil penelitian kepada siswa, dan kepada masyarakat luas.
Di dalam pandangan ini, proses analisis adalah bagian utama dari pendidikan. Pendidikan berarti melihat dunia, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil (analisis) dengan tujuan untuk memahaminya. Kunci utama pendidikan adalah pemahaman yang benar yang didasarkan pada informasi, penelitian, dan pengetahuan yang juga benar. Namun, sayangnya, pandangan ini, walaupun terkesan ilmiah dan masuk akal, punya kelemahan yang amat fundamental.
Yang pertama, informasi ilmiah hasil dari analisis sering hanya berhenti semata menjadi pengetahuan, hanya olah intelektual, tanpa mampu mengubah pandangan hidup seseorang. Orang bisa amat cerdas menyerap beragam informasi ke dalam dirinya, tanpa mengalami perubahan cara berpikir atas dirinya sendiri dan hidup yang dijalaninya. Ini pula yang menjelaskan, mengapa banyak teroris adalah orang-orang yang amat cerdas secara intelektual, namun mampu melakukan perbuatan kejam dengan membantai orang-orang yang tak bersalah.
Tumpukan informasi dan pengetahuan juga tidak mengubah perilaku seseorang. Orang bisa menyebutkan makna kejujuran dari beragam agama dan pemikiran para filsuf, sambil terus melakukan korupsi. Informasi pada akhirnya menjadi tumpukan sampah di kepala yang tidak mendorong perubahan cara berpikir, apalagi perubahan perilaku sehari-hari. Pada titik ini, kita perlu mempertimbangkan pandangan kedua.
Pandangan kedua menyatakan, bahwa informasi dan pengetahuan tidak cukup, tetapi juga harus sampai pada pengkondisian nilai-nilai hidup, sehingga akhirnya pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai keutamaan yang membawa perubahan cara berpikir, dan juga membawa perubahan perilaku sehari-hari. Inilah yang menurut saya menjadi inti dari pendidikan karakter. Akan tetapi, apakah pendidikan semacam ini sudah ideal? Saya melihat setidaknya satu kelemahan mendasar di dalam pendidikan semacam ini.
Dasar dari pendidikan adalah kebebasan. Informasi dan pengetahuan digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia di hadapan alam, sehingga ia tidak lagi tunduk patuh pada hukum-hukum alam semata, tetapi bisa bersikap kritis, dan turut serta di dalam menciptakan masyarakat, maupun alam. Konsep pengkondisian dan pembiasaan berusaha membentuk manusia seturut dengan hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan cara ini, eksistensi manusia disempitkan semata menjadi alat-alat masyarakat, dan kehilangan martabat yang dicirikan melalui kebebasannya.

Penyadaran
Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian (pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), saya ingin menawarkan satu pandangan, yakni pendidikan sebagai penyadaran (to be aware). Untuk menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan semua informasi maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu berhenti menganalisis segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. Orang harus belajar untuk unlearn.
Setelah semua informasi dan pengetahuan ditunda, dan pola berpikir analisis dihentikan, pendidikan harus mengajak orang untuk merasa, yakni merasa dengan keseluruhan eksistensi diri. Kejujuran tidak lagi sekedar konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang menempel di dalam seluruh diri. Kemurahan hati tidak lagi sekedar kebiasaan, yang sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan menjadi gerak keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam tentang realitas itu sendiri.
Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta, atau membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia terhadap diri dan lingkungannya. Untuk melahirkan kesadaran semacam ini, orang perlu belajar untuk berhenti belajar (unlearn), dan melepaskan diri dari segala pola kebiasaan yang mencekik diri. Kesadaran mengubah cara orang di dalam melihat dunianya. Dan dengan itu, kesadaran mengubah seluruh diri manusia. Ia menjadi manusia yang bebas, bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan kebebasannya.
Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai menyerap dan memuntahkan informasi belaka. Ia tidak lagi menjadi robot-robot hasil bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu berpikir kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Membangun kesadaran berarti menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola pendidikan yang seringkali memenjara jiwa, melainkan melihat realitas apa adanya dengan segala rasa yang ada di dalam eksistensi diri manusia, lalu bertindak atas dasar rasa serta kebebasan itu.
Kualitas sebuah bangsa tidak dilihat dari tingkat ekonominya semata, tetapi dari kualitas pribadi orang-orang yang ada di dalamnya. Pribadi yang mirip bank informasi dan robot-robot patuh tidak akan membawa peradaban ke arah keagungannya, melainkan justru merusaknya. Pendidikan di Indonesia perlu menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma maupun kebijakan-kebijakannya. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun harapan yang konkret akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat untuk anak-anak kita.



Sebagaimana dicatat oleh Shields, pendapat orang tentang pribadi Aristoteles seolah terbelah dua. Di satu sisi, ia dianggap sebagai orang yang, walaupun amat cerdas, menyebalkan, arogan, dan suka mendominasi pembicaraan, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain.

Di sisi lain, beberapa temannya berpendapat, bahwa Aristoteles adalah sosok pribadi yang amat brilian, perhatian pada perasaan teman-temannya, dan amat mencintai semua proses pengembangan pengetahuan di berbagai bidang. Dengan kata lain, ia adalah pribadi yang hangat, sekaligus sosok filsuf dan ilmuwan sejati. Dua potret ini membuat kita memiliki dua pendapat yang berbeda tentang Aristoteles. Namun, jika kita memahami, bahwa kepribadian manusia pada dasarnya adalah suatu fragmentasi, yakni suatu keterpecahan, maka dua pendapat yang kontras berbeda tentang kepribadian Aristoteles bisa kita tempatkan sebagai sesuatu yang benar. Pada hemat saya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hanya memiliki satu sisi pribadi. Semuanya memiliki sisi-sisi yang terpecah, dan seringkali kontras bertentangan.
Aristoteles mulai berkarya sebagai seorang ilmuwan dan filsuf di Athena, setelah ia cukup lama belajar di Akademi yang didirikan oleh gurunya, yakni Plato. Namun, tidak seperti murid pada umumnya, ia mengambil jarak dari Plato, dan melakukan kritik keras pada pemikirannya. Shields menulis Aristoteles sebagai seorang “murid yang menendang ibunya sendiri.” 

Dalam arti ini, ibu adalah gurunya, yakni Plato sendiri. Di dalam sejarah filsafat, kita sudah mengetahui, bahwa Aristoteles secara telak melakukan kritik pada inti seluruh filsafat Plato, yakni teorinya tentang forma-forma (forms). “Selamat tinggal kepada forma-forma”, demikian 
tulis Aristoteles, “mereka hanya mainan, dan jika pun ada, mereka tidak relevan.”

Tidak hanya filsafat Plato, bagi Aristoteles, seluruh filsafat sebelumnya bersifat kasar, dan kekanak-kanakan. Para filsuf sebelumnya banyak berkutat dengan permasalahan filosofis yang disebut sebagai “satu dan banyak” (one and many). Intinya begini, apakah unsur dasar realitas itu tunggal, atau jamak? Dan bagaimana penjelasannya? Aristoteles mencemooh gaya berpikir semacam ini. Baginya, sebagaimana dicatat oleh Shields, mengapa unsur terdasar dari alam semesta dan realitas itu sekaligus satu, dan banyak?  Seperti dinyatakan oleh Shields, Aristoteles memang seringkali tidak adil terhadap para pemikir sebelumnya. Ia memilih argumen-argumen terlemah para pemikir sebelumnya, dan kemudian menjadikannya alasan untuk melakukan kritik terhadap mereka, serta, dengan begitu, mengajukan pemikirannya sendiri yang, dianggapnya, lebih baik.
Aristoteles lahir pada 384 sebelum Masehi di Stagirus, koloni Yunani pada masa itu yang sekarang sudah tidak lagi ada. 

Ayahnya bernama Nicomachus, seorang dokter kerajaan di Makedonia. Namun sayang, ayahnya meninggal, sewaktu Aristoteles masih kecil. Pada usia 17, ia pergi ke Athena untuk melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu, Athena adalah pusat dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebudayaan Yunani.  Di sana, Aristoteles langsung belajar pada Plato, yang memang pada masa itu dikenal sebagai seorang filsuf besar selama kurang lebih 20 tahun. Pada 347, Plato meninggal. Sebagai salah seorang muridnya yang paling cerdas, Aristoteles sebenarnya bisa menjadi pemimpin akademik berikutnya, menggantikan Plato. Namun, karena banyak posisi-posisi teoritisnya yang beseberangan secara diametral dengan Plato, Aristoteles tidak mungkin menjadi penerusnya sebagai pemimpin Akademi.
Aristoteles menerima undangan dari Hermeas, penguasa di Mysia, untuk pindah ke istananya, dan menjadi tutor pribadi. Aristoteles menerima undangan itu, dan pergi ke sana. Ia mengajar selama 3 tahun, dan menikah dengan seorang wanita bernama Pythias. Beberapa waktu kemudian, Aristoteles mendapatkan undangan dari Phillip Makedonia untuk menjadi tutor pribadi bagi anaknya, Alexander. Pada waktu itu, Alexander baru berusia 13 tahun. Selama 5 tahun, ia belajar bersama Aristoteles. Dan seperti kita semua tahu, Alexander nantinya akan menaklukan begitu banyak daerah di Eropa, Timur Tengah, Mesir, sampai dengan bagian Utara India. Bersama dengan penaklukannya itu, ia menyebarkan pemikiran Yunani Kuno. Seluruh proses ini dikenal nantinya sebagai Helenisasi. Rupanya, seperti dicatat oleh banyak ahli, Philip dan Alexander amat menghargai Aristoteles. Ia mendapatkan banyak uang untuk melakukan penelitian-penelitiannya, hidup layak, dan mengajarkan ilmunya. Tidak hanya itu, menurut legenda, ia mendapatkan amat banyak budak untuk membantunya mengumpulkan data demi pengembangan penelitian empirisnya, terutama yang terkait dengan alam.

Setelah selesai dari Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena. Pada masa itu, Platonisme, yang merupakan pengembangan dari filsafat Plato, berkembang pesat di berbagai penjuru Yunani, terutama Athena. Namun, seperti sudah disinggung sebelumnya, Aristoteles tidak menyetujui banyak isi dari filsafat Plato. Maka, ia pun mendirikan sekolah tandingan yang disebutnya sebagai Lyceum. Ada kebiasaan menarik di tempat ini. Aristoteles sering berdiskusi dengan murid-muridnya sambil berjalan. Tradisi berdiskusi sambil berjalan ini nantinya disebut sebagai peripatetics, yang juga berarti “untuk berjalan”. 

Di Lyceum, Aristoteles mengajar kurang lebih selama 13 tahun. Di sana pula, ia merumuskan sistem filsafatnya, dan menulis begitu banyak buku tentang beragam hal, mulai dari tentang fenomena alam, politik, sampai dengan tentang metafisika. Ia memberikan dua macam kuliah. Yang pertama adalah kuliah yang mendetil tentang sistem filsafatnya yang biasanya diberikan pada pagi hari untuk murid-murid yang ia anggap berbakat. Yang kedua adalah kuliah yang lebih populer yang diberikan untuk murid-murid pada umumnya.
Setelah Alexander meninggal pada 323 sebelum Masehi, seluruh dunia seolah memusuhi segala sesuatu yang berbau Makedonia, termasuk Aristoteles, karena ia pernah menjadi tutor pribadi di tempat itu. Ia pun dituntut atas dasar pengkhianatan pada negara. Namun, ia berhasil melarikan diri. Ucapannya ketika melarikan diri kini sudah menjadi terkenal di kalangan para peminat filsafat. “Orang-orang Athena tidak akan lagi mendapatkan kesempatan untuk berdoas terhadap filsafat seperti yang telah mereka lakukan kepada Sokrates.”

 Ia pergi ke Chalcis di Euboea. Namun, tahun pertama di sana, ia menderita sakit perut, dan kemudian meninggal pada 322 sebelum Masehi. Sebagai seorang filsuf, nama Aristoteles sudah melegenda. Ia menulis beragam tema, mulai dari logika, matematika, fisika, biologi, etika, politik, dan bahkan pertanian. Dari gaya menulis dan tema tulisannya, kita bisa melihat, bahwa ia amat menekankan pentingnya pengalaman inderawi sebagai dasar dari pengetahuan manusia. Pada titik inilah ia berbeda dengan gurunya, Plato, yang lebih menekankan forma-forma yang berada di level metafisis, melampaui pengalaman inderawi.
Tidak hanya seorang filsuf dan ilmuwan, Aristoteles juga adalah seorang penulis yang amat produktif. Buah-buah pikiran dan tulisannya mengubah pandangan banyak orang tentang dunia. Thomas Aquinas, salah satu filsuf Eropa Abad Pertengahan terbesar, bahkan selalu menyebut Aristoteles sebagai “Sang Filsuf”. Setidaknya, sebagaimana dicatat oleh Internet Encylopedia of Philosophy, Aristoteles semata hidupnya telah menulis 200 traktat filsafat. Sayangnya, kini hanya ada 31 traktat yang selamat, dan bisa dibaca. Bentuknya adalah naskah kuliah dan catatan-catatan pendek yang memang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca oleh publik luas. Kesan kering dan membosankan pun tak dapat dihilangkan, ketika kita mencoba untuk membaca teks-teks tersebut. Sumbangan terbesar Aristoteles, sebagaimana diakui oleh banyak ilmuwan dan filsuf, adalah membuat klasifikasi pengetahuan manusia yang terdiri dari biologi, etika, dan matematika. Sampai sekarang, kita masih menggunakan klasifikasi pengetahuan ini.
Aristoteles juga dikenal sebagai bapak logika. Ia adalah pemikir yang pertama kali secara serius merumuskan sistematika berpikir manusia dengan menggunakan rumus-rumus formal yang bisa dipelajari semua orang. Ia berpendapat, bahwa kekuatan argumen seseorang bisa dilihat dari struktur argumen tersebut, dan bukan semata isinya. Dengan demikian, selama pengandaian-pengandaian yang menyusun suatu argumen benar, maka orang bisa menarik kesimpulan baru yang juga lurus (bukan benar) dari pengandaian tersebut, dan memperlakukannya sebagai kebenaran. Misalnya, Andi adalah orang Jawa (terbukti benar). Semua orang Jawa berkulit coklat (terbukti benar). Maka, Andi berkulit coklat (lurus, bisa juga benar). Ini disebut juga sebagai logika sillogisme yang sampai sekarang masih digunakan sebagai dasar berpikir dan penarikan kesimpulan. Seluruh karya Aristoteles memiliki ciri yang sama, yakni penekanan pada sistematika berpikir, penarikan kesimpulan yang baik, dan berpijak pengalaman inderawi. Terkait dengan filsafat Plato, bagi Aristoteles, forma-forma bukanlah sesuatu yang bersifat metafisis, dan terletak di dunia ide, sebagaimana dimaksudkan oleh Plato, melainkan sesuatu yang sudah ada di dalam benda itu sendiri, dan bersifat empiris (dapat dicerap oleh pengalaman inderawi).
Melihat begitu luas dan dalamnya karya-karya Aristoteles, kita akan sulit menentukan, aliran apakah yang dipeluk olehnya. Berbagai komentar dan tafsiran tentang pemikirannya telah lahir, dan seringkali berbeda, dan bahkan bertentangan, satu sama lain.

 Filsafat Aristoteles bisa digunakan untuk melakukan kritik ataupun membenarkan suatu tindakan apapun. Lepas dari itu, ketika kita mencoba untuk membaca tulisan-tulisannya dengan mata “segar”, kita jelas akan menemukan sebuah ide yang menantang secara intelektual, dan penuh dengan ide-ide filosofis baru yang sebelumnya tak kita tahu, atau justru terlupakan. Kita perlu melepaskan segala label yang telah dibuat oleh para ahli ataupun komentator pemikiran Aristoteles, termasuk yang terus berusaha membandingkan pemikirannya dengan Plato, dan baru begitu, kita bisa sungguh memahami keluasan sekaligus kedalam pemikirannya. Bukankah itu yang kiranya Aristoteles sendiri inginkan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar