Di tengah berbagai krisis bangsa, kita selalu menaruh harapan pada
dunia pendidikan. Harapannya, dengan pendidikan yang bermutu, anak-anak
kita akan menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik untuk Indonesia di
masa depan. Harapan itu, pada hemat saya, amat masuk akal. Percuma kita
membenahi segala bidang kehidupan bersama, tetapi mengabaikan
pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah kunci utama untuk menjadi
bangsa yang berkarakter, yakni bangsa yang maju budaya serta
peradabannya.
Namun, apa metode yang tepat untuk mendidik anak-anak kita? Jawaban
atas pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali ke lebih dari dua ribu
tahun yang lalu, yakni ke dalam perdebatan antara Aristoteles dan Plato,
gurunya, tentang pendidikan. Secara sederhana, Plato, dengan
menggunakan mulut Sokrates di dalam tulisan-tulisannya, berpendapat,
bahwa pendidikan adalah soal intelektualitas. Untuk menjadi baik berarti
memahami sungguh apa artinya baik. Jika orang belum menjadi baik, maka
ia tidak paham arti sesungguhnya dari baik itu sendiri.
Sementara itu, bagi muridnya, Aristoteles, intelektualitas semata
tidaklah cukup. Memahami arti kata jujur tidak otomatis membuat orang
jujur. Bahkan, pengertian sejati tentang kata jujur pun juga belum cukup
untuk membuat orang menjadi jujur di dalam tindakannya sehari-hari.
Kunci pendidikan adalah membentuk kebiasaan (habituation),
sehingga akhirnya menjadi karakter. Untuk menjadi jujur, orang perlu
dikondisikan dan dibiasakan untuk menjadi jujur, sehingga akhirnya
kejujuran sungguh menjadi bagian utuh dari dirinya.
Situasi Indonesia
Pada hemat saya, dua pandangan ini juga menjadi inti perdebatan dunia
pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ada pandangan yang melihat
pendidikan sebagai proses untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan
pengetahuan serta informasi. Dalam konteks ini, penelitian amatlah
penting untuk dilakukan. Pendidikan adalah proses membagi hasil
penelitian kepada siswa, dan kepada masyarakat luas.
Di dalam pandangan ini, proses analisis adalah bagian utama dari
pendidikan. Pendidikan berarti melihat dunia, dan membaginya ke dalam
bagian-bagian kecil (analisis) dengan tujuan untuk memahaminya. Kunci
utama pendidikan adalah pemahaman yang benar yang didasarkan pada
informasi, penelitian, dan pengetahuan yang juga benar. Namun,
sayangnya, pandangan ini, walaupun terkesan ilmiah dan masuk akal, punya
kelemahan yang amat fundamental.
Yang pertama, informasi ilmiah hasil dari analisis sering hanya
berhenti semata menjadi pengetahuan, hanya olah intelektual, tanpa mampu
mengubah pandangan hidup seseorang. Orang bisa amat cerdas menyerap
beragam informasi ke dalam dirinya, tanpa mengalami perubahan cara
berpikir atas dirinya sendiri dan hidup yang dijalaninya. Ini pula yang
menjelaskan, mengapa banyak teroris adalah orang-orang yang amat cerdas
secara intelektual, namun mampu melakukan perbuatan kejam dengan
membantai orang-orang yang tak bersalah.
Tumpukan informasi dan pengetahuan juga tidak mengubah perilaku
seseorang. Orang bisa menyebutkan makna kejujuran dari beragam agama dan
pemikiran para filsuf, sambil terus melakukan korupsi. Informasi pada
akhirnya menjadi tumpukan sampah di kepala yang tidak mendorong
perubahan cara berpikir, apalagi perubahan perilaku sehari-hari. Pada
titik ini, kita perlu mempertimbangkan pandangan kedua.
Pandangan kedua menyatakan, bahwa informasi dan pengetahuan tidak
cukup, tetapi juga harus sampai pada pengkondisian nilai-nilai hidup,
sehingga akhirnya pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai
keutamaan yang membawa perubahan cara berpikir, dan juga membawa
perubahan perilaku sehari-hari. Inilah yang menurut saya menjadi inti
dari pendidikan karakter. Akan tetapi, apakah pendidikan semacam ini
sudah ideal? Saya melihat setidaknya satu kelemahan mendasar di dalam
pendidikan semacam ini.
Dasar dari pendidikan adalah kebebasan. Informasi dan pengetahuan
digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia di hadapan alam, sehingga
ia tidak lagi tunduk patuh pada hukum-hukum alam semata, tetapi bisa
bersikap kritis, dan turut serta di dalam menciptakan masyarakat, maupun
alam. Konsep pengkondisian dan pembiasaan berusaha membentuk manusia
seturut dengan hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan
cara ini, eksistensi manusia disempitkan semata menjadi alat-alat
masyarakat, dan kehilangan martabat yang dicirikan melalui kebebasannya.
Penyadaran
Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian
(pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), saya ingin
menawarkan satu pandangan, yakni pendidikan sebagai penyadaran (to be aware).
Untuk menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan
semua informasi maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu
berhenti menganalisis segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.
Orang harus belajar untuk unlearn.
Setelah semua informasi dan pengetahuan ditunda, dan pola berpikir
analisis dihentikan, pendidikan harus mengajak orang untuk merasa, yakni
merasa dengan keseluruhan eksistensi diri. Kejujuran tidak lagi sekedar
konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang
menempel di dalam seluruh diri. Kemurahan hati tidak lagi sekedar
kebiasaan, yang sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan
menjadi gerak keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam
tentang realitas itu sendiri.
Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta, atau
membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia
terhadap diri dan lingkungannya. Untuk melahirkan kesadaran semacam
ini, orang perlu belajar untuk berhenti belajar (unlearn), dan
melepaskan diri dari segala pola kebiasaan yang mencekik diri. Kesadaran
mengubah cara orang di dalam melihat dunianya. Dan dengan itu,
kesadaran mengubah seluruh diri manusia. Ia menjadi manusia yang bebas,
bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan kebebasannya.
Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai menyerap dan
memuntahkan informasi belaka. Ia tidak lagi menjadi robot-robot hasil
bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan
secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu
berpikir kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik.
Membangun kesadaran berarti menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola
pendidikan yang seringkali memenjara jiwa, melainkan melihat realitas
apa adanya dengan segala rasa yang ada di dalam eksistensi diri manusia,
lalu bertindak atas dasar rasa serta kebebasan itu.
Kualitas sebuah bangsa tidak dilihat dari tingkat ekonominya semata,
tetapi dari kualitas pribadi orang-orang yang ada di dalamnya. Pribadi
yang mirip bank informasi dan robot-robot patuh tidak akan membawa
peradaban ke arah keagungannya, melainkan justru merusaknya. Pendidikan
di Indonesia perlu menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma
maupun kebijakan-kebijakannya. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun
harapan yang konkret akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat
untuk anak-anak kita.
Sebagaimana dicatat oleh Shields, pendapat orang tentang pribadi
Aristoteles seolah terbelah dua. Di satu sisi, ia dianggap sebagai orang
yang, walaupun amat cerdas, menyebalkan, arogan, dan suka mendominasi
pembicaraan, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain.
Di sisi lain, beberapa temannya berpendapat, bahwa Aristoteles adalah
sosok pribadi yang amat brilian, perhatian pada perasaan teman-temannya,
dan amat mencintai semua proses pengembangan pengetahuan di berbagai
bidang. Dengan kata lain, ia adalah pribadi yang hangat, sekaligus sosok
filsuf dan ilmuwan sejati. Dua potret ini membuat kita memiliki dua
pendapat yang berbeda tentang Aristoteles. Namun, jika kita memahami,
bahwa kepribadian manusia pada dasarnya adalah suatu fragmentasi, yakni
suatu keterpecahan, maka dua pendapat yang kontras berbeda tentang
kepribadian Aristoteles bisa kita tempatkan sebagai sesuatu yang benar.
Pada hemat saya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hanya
memiliki satu sisi pribadi. Semuanya memiliki sisi-sisi yang terpecah,
dan seringkali kontras bertentangan.
Aristoteles mulai berkarya sebagai seorang ilmuwan dan filsuf di
Athena, setelah ia cukup lama belajar di Akademi yang didirikan oleh
gurunya, yakni Plato. Namun, tidak seperti murid pada umumnya, ia
mengambil jarak dari Plato, dan melakukan kritik keras pada
pemikirannya. Shields menulis Aristoteles sebagai seorang “murid yang
menendang ibunya sendiri.”
Dalam arti ini, ibu adalah gurunya, yakni Plato sendiri. Di dalam
sejarah filsafat, kita sudah mengetahui, bahwa Aristoteles secara telak
melakukan kritik pada inti seluruh filsafat Plato, yakni teorinya
tentang forma-forma (forms). “Selamat tinggal kepada forma-forma”,
demikian
tulis Aristoteles, “mereka hanya mainan, dan jika pun ada,
mereka tidak relevan.”
Tidak hanya filsafat Plato, bagi Aristoteles, seluruh filsafat
sebelumnya bersifat kasar, dan kekanak-kanakan. Para filsuf sebelumnya
banyak berkutat dengan permasalahan filosofis yang disebut sebagai “satu
dan banyak” (one and many). Intinya begini, apakah unsur dasar realitas
itu tunggal, atau jamak? Dan bagaimana penjelasannya? Aristoteles
mencemooh gaya berpikir semacam ini. Baginya, sebagaimana dicatat oleh
Shields, mengapa unsur terdasar dari alam semesta dan realitas itu
sekaligus satu, dan banyak? Seperti dinyatakan oleh Shields,
Aristoteles memang seringkali tidak adil terhadap para pemikir
sebelumnya. Ia memilih argumen-argumen terlemah para pemikir sebelumnya,
dan kemudian menjadikannya alasan untuk melakukan kritik terhadap
mereka, serta, dengan begitu, mengajukan pemikirannya sendiri yang,
dianggapnya, lebih baik.
Aristoteles lahir pada 384 sebelum Masehi di Stagirus, koloni Yunani pada masa itu yang sekarang sudah tidak lagi ada.
Ayahnya bernama Nicomachus, seorang dokter kerajaan di Makedonia. Namun
sayang, ayahnya meninggal, sewaktu Aristoteles masih kecil. Pada usia
17, ia pergi ke Athena untuk melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu,
Athena adalah pusat dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebudayaan
Yunani. Di sana, Aristoteles langsung belajar pada Plato, yang memang
pada masa itu dikenal sebagai seorang filsuf besar selama kurang lebih
20 tahun. Pada 347, Plato meninggal. Sebagai salah seorang muridnya yang
paling cerdas, Aristoteles sebenarnya bisa menjadi pemimpin akademik
berikutnya, menggantikan Plato. Namun, karena banyak posisi-posisi
teoritisnya yang beseberangan secara diametral dengan Plato, Aristoteles
tidak mungkin menjadi penerusnya sebagai pemimpin Akademi.
Aristoteles menerima undangan dari Hermeas, penguasa di Mysia, untuk
pindah ke istananya, dan menjadi tutor pribadi. Aristoteles menerima
undangan itu, dan pergi ke sana. Ia mengajar selama 3 tahun, dan menikah
dengan seorang wanita bernama Pythias. Beberapa waktu kemudian,
Aristoteles mendapatkan undangan dari Phillip Makedonia untuk menjadi
tutor pribadi bagi anaknya, Alexander. Pada waktu itu, Alexander baru
berusia 13 tahun. Selama 5 tahun, ia belajar bersama Aristoteles. Dan
seperti kita semua tahu, Alexander nantinya akan menaklukan begitu
banyak daerah di Eropa, Timur Tengah, Mesir, sampai dengan bagian Utara
India. Bersama dengan penaklukannya itu, ia menyebarkan pemikiran Yunani
Kuno. Seluruh proses ini dikenal nantinya sebagai Helenisasi. Rupanya,
seperti dicatat oleh banyak ahli, Philip dan Alexander amat menghargai
Aristoteles. Ia mendapatkan banyak uang untuk melakukan
penelitian-penelitiannya, hidup layak, dan mengajarkan ilmunya. Tidak
hanya itu, menurut legenda, ia mendapatkan amat banyak budak untuk
membantunya mengumpulkan data demi pengembangan penelitian empirisnya,
terutama yang terkait dengan alam.
Setelah selesai dari Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena. Pada
masa itu, Platonisme, yang merupakan pengembangan dari filsafat Plato,
berkembang pesat di berbagai penjuru Yunani, terutama Athena. Namun,
seperti sudah disinggung sebelumnya, Aristoteles tidak menyetujui banyak
isi dari filsafat Plato. Maka, ia pun mendirikan sekolah tandingan yang
disebutnya sebagai Lyceum. Ada kebiasaan menarik di tempat ini.
Aristoteles sering berdiskusi dengan murid-muridnya sambil berjalan.
Tradisi berdiskusi sambil berjalan ini nantinya disebut sebagai
peripatetics, yang juga berarti “untuk berjalan”.
Di Lyceum, Aristoteles mengajar kurang lebih selama 13 tahun. Di sana
pula, ia merumuskan sistem filsafatnya, dan menulis begitu banyak buku
tentang beragam hal, mulai dari tentang fenomena alam, politik, sampai
dengan tentang metafisika. Ia memberikan dua macam kuliah. Yang pertama
adalah kuliah yang mendetil tentang sistem filsafatnya yang biasanya
diberikan pada pagi hari untuk murid-murid yang ia anggap berbakat. Yang
kedua adalah kuliah yang lebih populer yang diberikan untuk murid-murid
pada umumnya.
Setelah Alexander meninggal pada 323 sebelum Masehi, seluruh dunia
seolah memusuhi segala sesuatu yang berbau Makedonia, termasuk
Aristoteles, karena ia pernah menjadi tutor pribadi di tempat itu. Ia
pun dituntut atas dasar pengkhianatan pada negara. Namun, ia berhasil
melarikan diri. Ucapannya ketika melarikan diri kini sudah menjadi
terkenal di kalangan para peminat filsafat. “Orang-orang Athena tidak
akan lagi mendapatkan kesempatan untuk berdoas terhadap filsafat seperti
yang telah mereka lakukan kepada Sokrates.”
Ia pergi ke Chalcis di Euboea. Namun, tahun pertama di sana, ia
menderita sakit perut, dan kemudian meninggal pada 322 sebelum Masehi.
Sebagai seorang filsuf, nama Aristoteles sudah melegenda. Ia menulis
beragam tema, mulai dari logika, matematika, fisika, biologi, etika,
politik, dan bahkan pertanian. Dari gaya menulis dan tema tulisannya,
kita bisa melihat, bahwa ia amat menekankan pentingnya pengalaman
inderawi sebagai dasar dari pengetahuan manusia. Pada titik inilah ia
berbeda dengan gurunya, Plato, yang lebih menekankan forma-forma yang
berada di level metafisis, melampaui pengalaman inderawi.
Tidak hanya seorang filsuf dan ilmuwan, Aristoteles juga adalah
seorang penulis yang amat produktif. Buah-buah pikiran dan tulisannya
mengubah pandangan banyak orang tentang dunia. Thomas Aquinas, salah
satu filsuf Eropa Abad Pertengahan terbesar, bahkan selalu menyebut
Aristoteles sebagai “Sang Filsuf”. Setidaknya, sebagaimana dicatat oleh
Internet Encylopedia of Philosophy, Aristoteles semata hidupnya telah
menulis 200 traktat filsafat. Sayangnya, kini hanya ada 31 traktat yang
selamat, dan bisa dibaca. Bentuknya adalah naskah kuliah dan
catatan-catatan pendek yang memang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca
oleh publik luas. Kesan kering dan membosankan pun tak dapat
dihilangkan, ketika kita mencoba untuk membaca teks-teks tersebut.
Sumbangan terbesar Aristoteles, sebagaimana diakui oleh banyak ilmuwan
dan filsuf, adalah membuat klasifikasi pengetahuan manusia yang terdiri
dari biologi, etika, dan matematika. Sampai sekarang, kita masih
menggunakan klasifikasi pengetahuan ini.
Aristoteles juga dikenal sebagai bapak logika. Ia adalah pemikir yang
pertama kali secara serius merumuskan sistematika berpikir manusia
dengan menggunakan rumus-rumus formal yang bisa dipelajari semua orang.
Ia berpendapat, bahwa kekuatan argumen seseorang bisa dilihat dari
struktur argumen tersebut, dan bukan semata isinya. Dengan demikian,
selama pengandaian-pengandaian yang menyusun suatu argumen benar, maka
orang bisa menarik kesimpulan baru yang juga lurus (bukan benar) dari
pengandaian tersebut, dan memperlakukannya sebagai kebenaran. Misalnya,
Andi adalah orang Jawa (terbukti benar). Semua orang Jawa berkulit
coklat (terbukti benar). Maka, Andi berkulit coklat (lurus, bisa juga
benar). Ini disebut juga sebagai logika sillogisme yang sampai sekarang
masih digunakan sebagai dasar berpikir dan penarikan kesimpulan. Seluruh
karya Aristoteles memiliki ciri yang sama, yakni penekanan pada
sistematika berpikir, penarikan kesimpulan yang baik, dan berpijak
pengalaman inderawi. Terkait dengan filsafat Plato, bagi Aristoteles,
forma-forma bukanlah sesuatu yang bersifat metafisis, dan terletak di
dunia ide, sebagaimana dimaksudkan oleh Plato, melainkan sesuatu yang
sudah ada di dalam benda itu sendiri, dan bersifat empiris (dapat
dicerap oleh pengalaman inderawi).
Melihat begitu luas dan dalamnya karya-karya Aristoteles, kita akan
sulit menentukan, aliran apakah yang dipeluk olehnya. Berbagai komentar
dan tafsiran tentang pemikirannya telah lahir, dan seringkali berbeda,
dan bahkan bertentangan, satu sama lain.
Filsafat Aristoteles bisa digunakan untuk melakukan kritik ataupun
membenarkan suatu tindakan apapun. Lepas dari itu, ketika kita mencoba
untuk membaca tulisan-tulisannya dengan mata “segar”, kita jelas akan
menemukan sebuah ide yang menantang secara intelektual, dan penuh dengan
ide-ide filosofis baru yang sebelumnya tak kita tahu, atau justru
terlupakan. Kita perlu melepaskan segala label yang telah dibuat oleh
para ahli ataupun komentator pemikiran Aristoteles, termasuk yang terus
berusaha membandingkan pemikirannya dengan Plato, dan baru begitu, kita
bisa sungguh memahami keluasan sekaligus kedalam pemikirannya. Bukankah
itu yang kiranya Aristoteles sendiri inginkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar