Selasa, 30 April 2013

teori gradasi wujud

Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan fundamental dalam filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang terus-menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas dan dalam.
Tuhan ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian muncul bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar pemikiran filsafat Shadrian. Karena menurut pandangan pencetus aliran ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan landasan bagi isu-isu filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan, manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)?
Melalui pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan prinsip-prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud), kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan apakah itu wujud?
Defenisi Wujud
Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas yang diabtraksikan benak dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas daripadanya. Oleh karena itu pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang demikian sulit jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini mengingat bahwa untuk mendefenisikan suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam benak.[2]
Tiga prinsip Filsafat Mulla Shadra
Pertama, ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud). Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra menemukan suatu pemahaman bahwa keseluruhan eksisistensi bukanlah sebagai objek-objek yang ada (exist) atau maujud-maujud (existents), yang menemukan partikularitasnya di dunia objektif karena berbagai kuiditas yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu realitas tunggal. Pembahasan mengenai hubungan wujud dan kuiditas (mahiyah) akan dibahas pada prinsip yang ketiga yaitu tentang ashalah al-wujud.[3]
Teori wahdah al-wujud mula-mula dicetuskan oleh Ibnu ‘Arabi. Teori yang diperkenalkan oleh Ibnu ‘Arabi tersebut lebih bernuansa sufistik daripada filososfis. Ibnu ‘Arabi melihat tatanan wujud sebagai penjelmaan (tajalliyat) dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan pada cermin ketiadaan. Penafsiran terhadap teori ini kemudian diradikalkan oleh Ibnu Sab’in sebagai teori kesatuan wujud yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang selainnya hanyalah ilusi. Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan penghubungannya antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi laiknya cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed Hossein Nasr, wahdah al-wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat Shadra, tanpa fondasi itu seliruh pandangan dunianya akan rapuh.[4]
Permasalahannya kemudian, jika yang wujud hanyalah satu, apakah ada yang terdapat pada Tuhan sama dengan ada pada manusia dan spidol? Jika Tuhan sama dengan ada, manusia sama dengan ada, dan spidol sama dengan ada, bisakah proposisi ini dibalik menjadi ada sama dengan Tuhan dan seterusnya? Mulla Shadra menyatakan bahwa ada itu setara dan sama bagi semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Kedati demikian, adanya Tuhan adalah ada murni sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan esensi. Hal ini bisa dipahami karena menurut Shadra, semakin sempurna suatu wujud, semakin sedikit esensi yang ditunjukkannya.[5]
Wujud adalah satu realitas yang membentang yang kemudian menemukan partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Dari sini kemudian muncul prinsip yang kedua, ambiguitas wujud (tasykik al-wujud). Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat hierarkis. Wujud tersebut membentang membetuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke tingkatan yang lebih rendah.
Mulla Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan dan gradasi. Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang juga menyatukan mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh cahaya, tetapi satu sama lainnya juga dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing. Namun berbeda dengan iluminisme yang mengalami graditas dalam esensi, Mulla Shadra menempatkan graditas tersebut pada eksistensi.[6]
Fazlur Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang menyatakan keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:
  1. Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhlu yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu atai analog, tetapi perbedaan yang mencolok,
  2. Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik,
  3. Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam, dan dilamapaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.)[7]
Prinsip ketiga yang kemudian menjadi dasar filsafat Shadra adalah ashalah al-wujud. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[8]
Namun, perdebatan yang sangat sengit terjadi antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh Mulla Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai sifat umum segala yang ada, yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang sebenarnya, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.[9]
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri.[10]
Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:[11]
Pertama, esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi predika “ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi (realitas) itu sendiri, maka tidak dapat dinegasikan, karena menegasi inti atau dzat adalah mustahil dank arena ada realitas yang ekstrim, tidak netral terhadap ada dan tidada.
Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi adalah ciri pembeda antar segala sesuatu.
Ketiga, sesuatu disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai eksistensi. Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang riil dan objektif hanyalah eksistensi.
Keempat, karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak wujud-lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak mungkin menjadi prinsip dan sumber pengaruh riil, kebaikan dan kesempurnaan.
Kelima, perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan. Seandainya esensi (kuiditas) adalah sejati (orisinal atau nyata), maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif serta pengaruh-pengaruh subjektif. Namun kenyataan empirik menyatakan sebaliknya.
Keenam, berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada, menjadi ada. Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang netral, tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa wujud lebih mendasar dan nyata.
Ketujuh, setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.
Demikianlah pembahasan seputar masalah wujud dalam filsafat Shadra. Seyyed hossein Nasr menyatakan bahwa ajaran metafisika Mulla Shadra sebenarnya bukan hanya bisa dipahami melalui prinsip-prinsip ini, namun juga dengan mengetahui hubungan–hubungan yang terjalin di antara mereka.[12] Wujud tidak hanya satu, melainkan juga bergradasi. Selanjutnya wujud tidak hanya bergradasi melainkan juga sejati dan mendasar yang memberikan kesejatian kepada esensi. 





 
m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar