Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan fundamental dalam
filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan
transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang
terus-menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas
dan dalam.
Tuhan
ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian
muncul bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar
pemikiran filsafat Shadrian. Karena menurut pandangan pencetus aliran
ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan landasan bagi isu-isu
filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan,
manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah)?
Melalui
pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan
prinsip-prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud), kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan apakah itu wujud?
Defenisi Wujud
Wujud
mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai
konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu
niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi
Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek filsafat pertama atau
metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi
ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas yang
diabtraksikan benak dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud
ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas daripadanya. Oleh karena
itu pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang demikian
sulit jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini
mengingat bahwa untuk mendefenisikan suatu objek diperlukan suatu hal
yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang
wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam
benak.[2]
Tiga prinsip Filsafat Mulla Shadra
Pertama, ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud).
Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya
analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra menemukan suatu
pemahaman bahwa keseluruhan eksisistensi bukanlah sebagai objek-objek
yang ada (exist) atau maujud-maujud (existents), yang menemukan
partikularitasnya di dunia objektif karena berbagai
kuiditas yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu
realitas tunggal. Pembahasan mengenai hubungan wujud dan kuiditas
(mahiyah) akan dibahas pada prinsip yang ketiga yaitu tentang ashalah al-wujud.[3]
Teori wahdah al-wujud
mula-mula dicetuskan oleh Ibnu ‘Arabi. Teori yang diperkenalkan oleh
Ibnu ‘Arabi tersebut lebih bernuansa sufistik daripada filososfis. Ibnu
‘Arabi melihat tatanan wujud sebagai penjelmaan (tajalliyat)
dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan pada cermin ketiadaan. Penafsiran
terhadap teori ini kemudian diradikalkan oleh Ibnu Sab’in sebagai teori
kesatuan wujud yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang
selainnya hanyalah ilusi. Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan
penghubungannya antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi
laiknya cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu
sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang
sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed Hossein Nasr, wahdah al-wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat Shadra, tanpa fondasi itu seliruh pandangan dunianya akan rapuh.[4]
Permasalahannya
kemudian, jika yang wujud hanyalah satu, apakah ada yang terdapat pada
Tuhan sama dengan ada pada manusia dan spidol? Jika Tuhan sama dengan
ada, manusia sama dengan ada, dan spidol sama dengan ada, bisakah
proposisi ini dibalik menjadi ada sama dengan Tuhan dan seterusnya?
Mulla Shadra menyatakan bahwa ada itu setara dan sama bagi semua benda,
baik yang konkret maupun yang abstrak. Kedati demikian, adanya Tuhan
adalah ada murni sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan
esensi. Hal ini bisa dipahami karena menurut Shadra, semakin sempurna
suatu wujud, semakin sedikit esensi yang ditunjukkannya.[5]
Wujud
adalah satu realitas yang membentang yang kemudian menemukan
partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Dari sini
kemudian muncul prinsip yang kedua, ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).
Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat hierarkis. Wujud tersebut
membentang membetuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke tingkatan
yang lebih rendah.
Mulla
Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan dan gradasi. Teori
ini menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang
juga menyatukan mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu
disatukan oleh cahaya, tetapi satu sama lainnya juga dibedakan oleh
intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing. Namun berbeda dengan
iluminisme yang mengalami graditas dalam esensi, Mulla Shadra
menempatkan graditas tersebut pada eksistensi.[6]
Fazlur
Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang menyatakan
keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:
- Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhlu yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu atai analog, tetapi perbedaan yang mencolok,
- Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik,
- Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam, dan dilamapaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.)[7]
Prinsip ketiga yang kemudian menjadi dasar filsafat Shadra adalah ashalah al-wujud. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal.
Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai merebak semenjak Ibnu
Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi
(wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua
realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud
(eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten)
adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[8]
Namun, perdebatan yang sangat sengit terjadi antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud
yang diwakili oleh Mulla Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud,
karena kedudukannya sebagai sifat umum segala yang ada, yaitu konsep
yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder yang
tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep
dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita
menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang sebenarnya, maka
esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab, apabila
kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud
lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia
tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.[9]
Berbeda
dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah
wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya
wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh
realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang
paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke
dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud.
Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari
pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu
sendiri.[10]
Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:[11]
Pertama,
esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi
predika “ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi
(realitas) itu sendiri, maka tidak dapat dinegasikan, karena menegasi
inti atau dzat adalah mustahil dank arena ada realitas yang ekstrim,
tidak netral terhadap ada dan tidada.
Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi adalah ciri pembeda antar segala sesuatu.
Ketiga,
sesuatu disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai
eksistensi. Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila
menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang riil dan objektif hanyalah
eksistensi.
Keempat,
karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak
wujud-lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak
mungkin menjadi prinsip dan sumber pengaruh riil, kebaikan dan
kesempurnaan.
Kelima,
perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif
adalah bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan,
sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif
yang diniscayakan. Seandainya esensi (kuiditas) adalah sejati (orisinal
atau nyata), maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif
serta pengaruh-pengaruh subjektif. Namun kenyataan empirik menyatakan
sebaliknya.
Keenam,
berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada,
menjadi ada. Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan
sesuatu yang netral, tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula
tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada, dan
karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa
wujud lebih mendasar dan nyata.
Ketujuh,
setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju
kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.
Demikianlah
pembahasan seputar masalah wujud dalam filsafat Shadra. Seyyed hossein
Nasr menyatakan bahwa ajaran metafisika Mulla Shadra sebenarnya bukan
hanya bisa dipahami melalui prinsip-prinsip ini, namun juga dengan
mengetahui hubungan–hubungan yang terjalin di antara mereka.[12]
Wujud tidak hanya satu, melainkan juga bergradasi. Selanjutnya wujud
tidak hanya bergradasi melainkan juga sejati dan mendasar yang
memberikan kesejatian kepada esensi.
m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar