LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI
LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI
Setidaknya terdapat tiga persoalan keilmuan paling krusial saat ini, pertama
soal dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang terdiri
dari dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis, dan dampak
psikologis.[1] Kedua, soal bangunan episteme[2]
yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu, yaitu rasionalitas melebihi
wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi dan sejarah,
progresivitas lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme
yang melandasi tiga elemen sebelumnya.[3] Ketiga, seiring dengan universalisme itu, elemen-elemen episteme tersebut lalu menjadi kekuatan “hegemonik”, sehingga tidak tersedia lagi ruang tafsir lain atas realitas.[4]
Krisis
peradaban modern, banyak kalangan mengatakan, bermula dari persoalan
bangunan keilmuan itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khususnya dan
pemeluk agama pada umumnya, terkait problem pengetahuan ini, adalah
karena dominasi rasionalitas itu telah jauh meninggalkan agama.
Keyakinan adanya Tuhan dan peranNya sama sekali tidak disentuh, bahkan
dinafikan dalam proses pengetahuan.
Tapi,
benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses pengetahuan manusia?
Persoalan seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi
agama-agama, seperti yang terjadi pada tradisi sufisme. Tetapi bagaimana
penjelasannya. Inilah barangkali yang diperlukan. Kontribusi seperti
itu bisa jadi memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologi saat
ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan alternatif, semacam
“second opinion”.
Pada
sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan karena sentimen agama
kerap terjadi. “The Battle for God”, demikian ungkap Karen Amstrong.
Benarkah Tuhan menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh
jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada pada konsepsi
manusia (umat beragama), bukan Tuhan in Himself; bukan tuhan yang mencipta manusia (dan alam semesta) tetapi tuhan yang dicipta manusia dalam konsep-konsepnya itu.
Bangunan
keilmuan yang bercorak rasionalis jelas berujung pada pembentukan
konsep, teori dan semacamnya. Ini merupakan kelebihan sekaligus
kelemahan model keilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi.
Tetapi adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat
mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk Tuhan?
Dalam
tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan pemikiran logika
illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian epistemologi Islam yang
bercorak intuitif sekaligus bersifat teodesi. Dalam kerangka demikian,
makalah ini akan menunjukkan keberatan Suhrawardi terhadap logika
rasional Peripatetik dan mengungkap argumen filsafat Illuminasi tentang
proses keilmuan (epistemologi) yang diklaim sebagai dapat mengantar
manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, serta menemukan
relevansinya bagi keilmuan dewasa ini.
Mengapa harus Suhrawardi?
Suhrawardi
dalam wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. Ia adalah
seorang filosof Muslim besar. Pemikiran filsafatnya dikenal dengan
sebutan Filsafat Illuminasi atau al-hikmah al-isyraqiyah. Menurut Hasan Hanafi, di tangan Suhrawaydi, filsafat Islam mencapai puncaknya.[5] Namun demikian, pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja. Pertama,
ia tampil sebagai tokoh ‘sejarah’, di mana perbincangannya sekitar
nama, tempat dan tanggal lahir, nama guru dan pendidikannya sampai tahun
meninggalnya. Hal ini dapat dilihat di hampir semua buku (literatur)
yang berjudul ‘History of Muslim Philosophy’ atau ‘History of Islamic Philosophy’.
Kedua,
ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan karenanya iapun ‘duduk’
sejajar dengan al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Hal ini
terlihat jelas dalam buku-buku ‘tasawuf’ yang ditulis oleh pemikir Muslim atau buku-buku yang bertema ‘Sufism’, ‘Mistical Dimension in Islam’
dll. yang ditulis oleh pemikir Barat. Menurut Hossein Ziai, para
pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed Hossein Nasr (dari
kalangan Muslim) yang mempopulerkan Suhrawardi, juga masih
mengesankannya sebagai sosok sufi dan masih bercorak historis. Ajaran
Suhrawardi, seperti juga tokoh-tokoh sufi tersebut, memang bercorak
mistiko-filosofis, tetapi yang mengesankan mengapa Suhrawardi disebut
sebagai filosof (besar), sedang yang lain hanya tokoh sufi saja. Sudah
tentu Suhrawardi punya kekhasan; tentang problematiknya, tawaran
penyelesaiannya, metodologinya, dll.
Alasan
yang terpenting adalah: sama seperti problem pengetahuan saat ini,
problem mendasar di sekitar kemunculan Suhrawardi adalah soal “validitas
pengetahuan”, di mana pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah
logika Peripatetik. Ciri paling menonjol dari model pengetahuan ini
adalah kebenaran silogisme, proposisi, konsep dan problem definisi.
Makanya pengetahuan itu dapat dicari (mathlub) meski terkait objek yang tidak dapat dicerap (al-syai’ al-ghaib). Bagi Suhrawardi, model pengetahuan rasionalis seperti itu banyak terjadi kelemahan.
Suhrawardi dan Problem Logika
Suhrawardi,
nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, ia
lahir pada tahun 549 H/1155 M di Suhraward, Mediterania kuno, Iran Barat
Laut dan meninggal di Aleppo pada tahun 587 H/1191 M.[6] Berarti ia meninggal dalam usia yang sangat muda (+
38 tahun hijriah atau 36 tahun masehi). Dapat dibayangkan bahwa ia
adalah seorang yang amat cerdas sekaligus mempunyai ‘pikiran nakal.’
Disebut cerdas, tidak saja karena Suhawardi telah menulis sekitar 50
judul buku dalam bahsa Arab dan Persia, dan sebagian besar telah sampai
kepada kita, meski masa hidupnya terbilang pendek,[7]
namun lebih dari itu buku-buku itu merupakan karya yang utuh. Disebut
punya ‘pikiran nakal’, karena biasanya para sufi hidupnya sederhana
menjahui ‘gemerlap’ dunia, Suhrawardi malah tinggal di istana, memenuhi
undangan Malik al-Dzahir, seorang putra Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.[8] Artinya menjadi sufi tidak harus meninggalkan kehidupan keduniaan. Tampaknya hal ini yang kemudian dilakukan Jalaluddin Rumi.[9]
Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau lebih tepatnya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal experience
dalam arti pengalaman pribadi. Jika pengalaman demikian ‘diberlakukan’
pada dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya
tanpa disangka-sangka, maka tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya
apa yang dialami oleh Abu Yazid al-Basthami. Sebaliknya akan menjadi
masalah besar, jika pengalaman itu kemudian di’sulap’ menjadi sebuah
ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam banyak kasus, nasib pelakunya
kemudian berakhir di tiang gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa,
seperti yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar,
dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh Suhrawardi,
makanya ia dijuluki al-Maqtul atau al-Syahid,[10] yaitu hanya karena ajaran-ajarannya yang bercorak mistiko-filosofis (bahasa Azra) itu dianggap menyeleweng dari mainstream yang bersifat heterodoks (C.E. Farah)
Kecuali personal experience
seperti dinyatakan di atas, pilihan hidup mistik lahir sebagai efek
samping dari ‘kejenuhan’ formalisme (Mukti Ali, Simuh dll termasuk
Annimarie Schimmel mengakui hal ini). Jenuh, karena –seakan- hanya ada
satu logika (dalam hidup ini) yang disebut logika ‘monster’,
yaitu suatu kerangka berpikir umum di mana seseorang sulit untuk
menghindar dan melepaskan diri dari logika itu, seakan tidak punya
pilihan lain, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jenuh
dalam pengertian seperti inilah yang dialami oleh Hasan al-Basri. Hasan
al-Basri, sebagaimana dimaklumi, memilih hidup sebagai zahid atau ‘âbid
karena ‘jenuh’ terhadap formalisme atau logika ‘monster’, dalam hal
ini, perdebatan yang berlarut-larut di sekitar suksesi sepeninggal Ali
bin Abi Thalib, yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim teologis
dan hukum.[11]
Dalam
sejarah pemikiran Suhrawardi, tampak jelas, hal ini juga terjadi
padanya. Kecuali situasi perang (dalam hal ini perang
salib) dari sisi ‘polkam’, logika Peripatetik rupanya merupakan
‘satu-satu’ nya model kerangka berpikir kala itu. Inilah logika monster
itu. Bagi Suhrawardi logika ini mempunyai banyak kelemahan. Inilah yang
menjadi keprihatinan (kegelisahan akademik, kata Amin Abdullah)
Suhrawardi. Meski penulis memahami bahwa pemikiran Suhrawardi memiliki
sejarah yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa guru[12] dan aliran filsafat yang mempengaruhinya,[13] bahkan ia pun melakukan meditasi dan berhalwat,[14]
namun harus diakui bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak
kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karakteristiknya itu. Menurut
Hossein Ziai, persoalan logika illuminasi –yang merupakan ‘penyerangan’
terhadap logika Peripatetik ini– adalah persoalan paling krusial dalam
filsafat Isyraqiyah ini.[15] “Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan logika illuminasi,” demikian Ziai.[16]
Poin inilah yang menjadi fokus pembicaraan makalah ini, meski harus
diakui, justru karena ini menyangkut persoalan yang rumit, maka banyak
terjadi penyederhanaan, sesuai tangkapan penulis.
Penerus Peripatetik?
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât,[17]
yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah
kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah
penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari
teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin
menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk
selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di
kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu.
Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan
atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu
merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi
sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin?
Menurut
Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini,
tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis.[18] Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât,
misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang
berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam
filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik
dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan
pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu
filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.[19]
Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia
mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat
usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk
menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup
panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan
dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan
illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji)
seperti Seyyed Hossein Nasr,[20] Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.[21]
Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat
diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang
kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya
Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts
yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya.
Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.[22]
Sedang
filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik
berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat
illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan
sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode
intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi,
meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi
sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.[23]
Menurut Ziai,[24] Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah)
adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi
yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke
kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi.
Ciri
utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal
dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika
ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub),[25] meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).[26]
Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara
mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat
definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul).[27] Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness)[28] dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence).
Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam
terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh
apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat
Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam
filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian
disempurnakan dengan metode intuitif. Persoalannya, kapan metode
diskursif itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan pengetahuan yang
bagaimana yang dimaui oleh filsafat Isyraqiyah? Persoalan ini akan
dijawab pada pasal berikut ini.
Problem Validitas Pengetahuan
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10).[29] Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau
rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif
Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal.[30]
Dari
beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi,
pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî.[31] Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql.[32] Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.[33]
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah)
dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam
pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang
diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi
pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama
dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).[34]
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui.[35] Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai.[36] Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).[37]
Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif.[38] Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân),
antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini
diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi
menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan
objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus
diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak
demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah
itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh.
Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan
salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau
tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran
dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif
dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.[39]
Harus
terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam
subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini
berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus
dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek
merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan
subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan
melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada
keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi.
Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara
subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran
diri-subjek.[40]
Logika Illuminasi: beberapa poin
Hadd bukan Ta’rif
Seperti
dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat
diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa
yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan
terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).”[41] Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.[42]
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan
dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu
dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau
lebih jelas (al-azhhar).[43]
Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui
sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep
sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak
pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan
dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika
Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan
sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga,
menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka
mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang
dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada
karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara
formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat)
harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses
mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa
jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna.[44]
Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak
dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang
berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah
aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya
“hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti
bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid
secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya,
formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”[45]
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi
mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan
diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan
tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah
hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu
dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk
dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith).
Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat
sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi
definisi istaghna ‘an al-ta’rif,[46] dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.”[47]
Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat
kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang
menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan
menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya
“dirasakan.”[48]
Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith)
yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian.
“Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak
melihat sebagaimana adanya.[49]
Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat
diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya
yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau
secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas
tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik.
Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan
objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa
pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan
subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung,
dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual
antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan
antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah
hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan.
Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah
merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika
Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi
intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi).
Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum
tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka
wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka
kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr),
menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena
esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau
sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap
kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya
ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.[50]
Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib?
Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan
yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di
atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan
Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata
kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam
Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan
pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin
dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini.
Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau
keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau
keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan
kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit
penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah
seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka
yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti
telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling
mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang
menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak
kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan
otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga
pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses
universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains
mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative[51]
yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang
memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap
Foucault.[52]
Lahirnya
norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan
non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat
positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai
fakta positif[53]
yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf
Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan
bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah.[54]
Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem
pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar
jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan
lebih-lebih agama.
Konsekuensinya,
jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk
agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains.
Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang
disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa
dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi
metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai
untuk metafisika,[55] Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni,[56]
sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori
developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city.[57]
Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna
metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan
mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu
agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka,
apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan
ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan
pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial,
lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan
ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat
empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.[58]
Hal
inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan
dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan
peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan
bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak
signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar
dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi).
Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang
modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih
sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah)
memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu
mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam
filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku”
(ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness])
sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi
anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting.
Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul).
Dengan
mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model
illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat
ini.
Wallahu a’lam bish shawab
Daftar Pustaka
Al-Attas, Seyyed Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995)
Corbin, Henry, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), Te Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967)
Cox, Harvey, Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967)
Faucoult, Michel, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)
Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Giddens, Anthony. (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975)
Hanafi, Hasan, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt)
Hardiman, Budi, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
Hardiman, Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003
Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991
Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
Kertanegara, Mulyadhi, “Peran
Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religiu: Perspektif Islam”,
makalah disampaikan pada Seminar Sehari kerjasama Studi Perbandingan
Agama PPS UGM dengan Jemaat Ahmadiyah, dengan tema “Reaktualisasi Agama
dalam Konteks Perubahan Sosial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001
Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984)
Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)
Marty, Martin E., “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar”, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994)
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963)
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto&London: New American Library, 1968)
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: Caravan Book)
Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Rayan, Mohd Ali Abu, Ushûl al-Falsafah al-Isrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-Jami’ah, tt)
Schimmel, Annimarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Rajawali Press, II/1997)
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown University, 1990)
[1]Menurut Armahedi, dampak pertama terkait
potensi destruktif yang ditemukan sains yang secara serta-merta
dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh
kekuatan-kekuatan militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak
langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh
industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah
keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang
dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi.
Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia. Lihat Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004), p. 221-222
[2]Episteme
merupakan keseluruhan ruang makna dan prapengandaian yang mendasari
kehidupan yang memungkinkan pengetahuan bisa terlahir. Maka episteme
berisi hal-hal yang bisa dipikirkan dan dipahami pada suatu masa. Michel
Foucault lebih jauh melihat, episteme merupakan ‘medan’ penelusuran
epistemologis dari kelahiran pengetahuan. Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994), p. xxii
[3]Lihat Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), p. 194
[4]Lahirnya
norma-norma ilmiah seperti pada Positivisme yang hanya mempercayai
fakta “positif” dan yang digali dengan “metodologi ilmiah”, lalu
Positivisme Logis yang mengajukan prinsip “verifikasi” untuk membedakan
bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[5]
Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu sendiri merupakan
penyambung ujung-ujung kesempurnaan pemikiran. Dalam segi pemikiran ia
hidup pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika
filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan ibn Rusyd (1126-1198) dan
tasawuf di tangan Ibn ‘arabi (1165-1240), kemudian pada abad berikutnya
ilmu kalam di tangan al-Iji (w. 1388). Jadi Suhrawardi datang setelah
pemilahan metode penalaran dan zauq mencapai puncaknya. Lihat Hasan Hanafi, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt), p. 274
[6]Henry Corbin, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967), p. 486; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto & London: New American Library, 1968), p. 328
[7]Seyyed Hossein Nasr, Three Muslem Sages, (New York: Caravan Book), p. 56
[8]ibid., p. 57
[9]Mulyadhi
Kertanegara, “Peran Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religius:
Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari
“Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Soasial” UGM, Yogyakarta,
23 Agustus 2001
[10]Disebut
demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum mati. Menurut catatan
Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran Malik al-Zhahir untuk
tinggal di istana. Pamornya menjadi menurun, terutama di kalangan ulama.
Mereka menuntut agar Suhrawrdi dihukum mati, tetapi Malik al-Zhahir
menolak. Mereka lalu mendekati Shalah al-Din al-Ayyubi yang kemudian
mengancam akan menurunkan anaknya, kecuali jika ia mau mengikuti aturan
para ulama. Suhrawardi kemudian dipenjarakan dan pada tahun 587/1191 ia
meninggal dunia, entah karena dicekik atau karena dibiarkan kelaparan.
Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), p. 375
[11]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta, Rajawali Press, II/1997), p. 25; Annimarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), p. 35
[12]Konon,
mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majduddin Jili di Maraghah, dan
kemudian belajar pada Zahiruddin di Isfahan serta Fakhruddin al-Mardini
(w. 1198 M), yang diduga sebagai gurunya yang paling penting. Gurunya
yang lain adalah Zahir al-Farsi, seorang ahli logika dan al-basa’ir. Suhrawardi juga berguru pada Umar ibn Sahlan al-Sawi, seorang filosof dan ahli logika. Lihat Dr. Muhammad Ali abu Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, tt), p. 19-20
[13]Tentang
aliran filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Suhrawardi,
mulai dari aliran filsafat Platonism, Aristotelianism, Peripatetik Ibn
Sina sampai dengan pengaruh al-Ghazali dll. Lihat ibid., p. 71-119
[14]Sebagaiana secara eksplisit dikatakan Suhrawardi dalam “Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix A dalam Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 173
[15]Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 143
[16]Ibid., p. 115
[17]Menurut
Abu Rayan, buku ini merupakan satu dari lima buku Suhrawardi yang
ditulis pada periode peripatetik. Empat yang lain adalah al-Lamahat,
al-Muqawamat, al-Mutharahat, al-Munajah. Lihat Mohd Ali Abu Rayan, op.cit., p. 61
[18]Hossein Ziai, op.cit., p. 10-11
[19]ibid., p. 17
[20]Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din, op.cit., p. 374
[21]Adalah beberapa sarjana yang mengakui karya-karya Suhrawardi seperti al-Talwihat, al-Muqawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat sebagai
karya peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan filsafat
illuminasi yang pada masa sebelum Suhrawardi mengembangkan
prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metode illuminasi. Hossein Ziai
merujuk pada Louis Massignon, Recueil de textes inedis (Paris: Paul Geuthner, 1929), p. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, p. 437-438.GAL SI, p. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomenes”, Opera II.
[22]Hossein Ziai, ibid., p. 14 Footnote 3
[23]ibid.
[24]ibid., p. 22
[25]ibid., p. 136
[26]Ini
juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama ini disebut
ta’rif oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang hanya
menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rif ia klaim lebih
dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka ta’rif
kemudian diterjemahkan dengan “menjadikan ditahui”; making known.
[27]Hossein Ziai, ibid., p. 141
[28]ibid., p. 117
[29]Sebagaimana dikutip Hossein Ziai :
?? ???? (???? ???? ???????) ???? ??????? ?? ??? ????? ???? ???
Lihat. Hossein Ziai, ibid., p. 43 footnote 2
[30]ibid.
[31]ibid., p. 54
[32]Muhammad Ali Abu Rayyan, op.cit., p. 306 dan 316; dan ada beberapa literatur yang menyebut idrak bil hissi, idrak bil fahm, dan idrak bil aql
[33]Argumen Suhrawardi: ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ??
Lihat Hossein Ziai, op.cit., p. 133
[34]Ibid., p. 44
[35]Ibid., p. 140 dan terutama footnote 4:
?? (?????) ????? ???? ?????? ???
[36]ibid., p. 61
[37]Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Pengantar, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994), p. 14
[38]Hossein Ziai, op.cit., p. 141
[39]ibid., p. 142
[40]ibid., p. 143
[41]Hossein Ziai, ibid., p. 78 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 21
[42]ibid.
[43]ibid., p. 65
[44]ibid., p. 66
[45]ibid., p. 118-9
[46]Hossein Ziai, ibid., p. 134 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 73-74
?? ????? (?????) ?????? ?? ??????? (barangsiapa sudah menyaksikan, maka tidak butuh lagi definisi)
[47]Hossein Ziai, ibid. ????? ?? ????? ?????? ?? ????
[48]ibid., p. 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 42, 134-135
[49]Hossein Ziai, ibid. ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ?? (tidak mungkin mengenalnya bagi orang yang tidak menyaksikan sebagaimana adanya)
[50]
Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu ungkapan: “saya
tahu tapi belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat misalnya uraian
pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20-24
[51]Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984), p. 37
[52]Lihat Michel Faucoult, Diciplin and Punish: The Brith of Prison,
trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979); Bandingkan dengan
Budi Hardiman, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme:
Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
[53]Auguste
Comte, perintis positivisme, lebih tajam lagi, menjelaskan istilah
‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan
‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan
‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’. Lihat F. Budi
Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan
Subjek” dalam Basis, Maret 1991
[54]Uraian lebih luas lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[55]Rumusan
kegelisahan Kant sebenarnya, antara lain dinyatakan: How is Pure
Mathematics Possible?, How is Pure Natural Science Possible?, How is
Pure Metaphysics in General Possible?, How is Pure Metaphysics Possible
as Science? Lihat Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
[56]Nyoman Kutha Ratna, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 2
[57]Konsep ini dipopulerkan oleh Harvey Cox. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967). Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre
agama di luar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini
merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual
dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang
menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty,
beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual
untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat Martin
E. Marty, “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
[58]Ketiga prinsip positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini, menurut Anthony Giddens, membawa implikasi sebagai berikut. Pertama, prosedur-prosedur
metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu
sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan
dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan ketiga,
ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan
pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus
dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan
juga tidak terkait pada dimensi politis. Artinya, seperti ilmu-ilmu
alam, ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-free). Lihat A. Giddens (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975), p. 3-4
Sejarah
membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi
dari pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah
intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum,
pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam) merupakan sintesa
sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan
Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria
(Nashr, 1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk
mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.
Upaya
untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh
al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth)
dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena
filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya
tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Lebih jauh dari
itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah
orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai
orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak
agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104).
Dalam
aspek metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki
metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok
pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat
pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi
segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang dimaksud dengan Yang
Benar Pertama adalah al-haqq (Tuhan). Konsep al-haqq
yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil
aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh,
1983:17).
Harmonisasi
antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn
Sînâ. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak
mempergunakan pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan
filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang
banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai
pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi.[i]
Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan
proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya
dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam
materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan sebagai
wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut
muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal
pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran
ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut
hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah
alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution, 1995:27-28).
Filsafat
emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan
dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian.
Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim
mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).[ii] Wacana
teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abû
Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya
terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran diri”) dan baqâ’
(hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud
jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî,
1983:106).
Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang
ada dalam tubuh itu lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas
pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat
ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasût). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl.
Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat
ketuhanan yang ada dalam dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan
dengan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69).
Kosep hulûl yang diprakarsai oleh al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq
(Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia
menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat
alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat
ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam
cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di
sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50).
Usaha
untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya
didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut
juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang
berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia
memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang
bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan
tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri
sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat
(kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial
(abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara
orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani
sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).
Sikap
kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik
keras di kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh
bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah
kaprah. Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah
musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah teman yang harus
didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan
menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat
memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas
Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam
pengertian ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan
perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan perenial dalam
Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan
agama-agama lain tanpa kehilangan identitas dirinya.
Di
samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun
berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat,
khususnya filsafat peripatetik[iii]
yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model dialog yang
dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah
pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).
Sejalan
dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada
mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang
bertumpu kuat pada metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya
yang bercorak peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum
mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam
itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca
karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination).
Melihat
struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî
sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan
secara matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansi Hikmat al-Isyrâq.
Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya
sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail.
Artinya, dengan mengkaji Hikmat al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan, 1966:66-67).
Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi
ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik
terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi.
Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada
bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka
kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan.
Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke
dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî
terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh
dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui
indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala
objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat,
mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana
daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek
rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan pengetahuan hudhûrî
adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu
pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi
berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq)
sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk
mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi,
teologi, dan ontologi. Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.
Dengan konsep al-Isyrâq-nya,
Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan
dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada
kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi
berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).
Gagasan
mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang
munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence).
Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para
ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman
mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî
menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya
sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22).
Hukuman
mati yang dijatuhkan kepada Suhrawardî mengingatkan kita pada
perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana Socrates juga harus meminum
racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa
hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang memperjuangkan
kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran
mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi
warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi
generasi-generasi sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat
ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan atau aliran-aliran
pemikiran yang terpengaruh olehnya.
Uraian
yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî
dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi
filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya
menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh
setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran
Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk
menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di
samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan
sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat
Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.
CATATAN:
[i] Teori
emanasi Plotinos diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua
makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun
sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Satu” (to hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus).
Akal budi merupakan suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri.
Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini terdapat dualitas yaitu
pemikiran dan yang dipikirkan. Dari akal budi itu kemudian muncul jiwa
dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya (Bertens, 1983:19).
[ii] Teosofi
adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat
dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73).
[iii] Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Yunani peripatein yang berarti berjalan dengan berkeliling. Kata tersebut juga merujuk kepada kata peripatos
yang berarti serambi gedung olah raga di Athena, tempat Aristoteles
mengajar sambil berjalan-jalan (Ziyâdat, 1988:1274) . Dalam tradisi
filsafat Islam, istilah itu dikenal dengan masysyâ’iyyat yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan istilah peripatetik (masysyâ’iyyat)
mengacu kepada metode mengajar Aristoteles yang menggembleng siswanya
dengan cara berjalan-jalan. Oleh karena itu, istilah peripatetik mengacu
pada seluruh bangunan filsafat Aristoteles (Ma’luf, 1997:764).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar