istilah “paripatetik” merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam
mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Paripatetik (masya’un)
berarti “ia yang berjalan memutar atau berkeliling”. Dan ini merujuk
pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi
murid-muridnya, ketika ia mengajarkan Filsafat. Dengan demikian istilah
paripatetik merujuk kepada para pengikut setia Aristoteles. Sekedar
untuk diketahui saja, dalam islam kita memiliki bebrapa aliran
non-paripatetik.
Dalam islam, kita mengenal beberapa filosof yang dapat dikategorikan
kedalam aliran ini, yaitu al-Kindi, al-Farabi, ibn siena, Ibn rusd, dan
Nashir al-Din Thusi.
Ciri khas aliran paripatetik ini membedakan dari aliran-aliran
lainya. Ciri khas aliran ini dari sudut metodologis atau epistimologis,
dan itu bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau
penjelasan para filosof paripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi),
yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal.
Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam
istilah filsafat sebagai “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan
dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang mereka sebut
dengan premis (mayor dan minor), dan setelah ditemukan term yang
mengantarai dua premis diatas yang biasa disebut “midle term” atau
al-hadd al-awsath.
(2) karna sifatnya yang diskursif, maka filsafat yang mereka
kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung karena untuk
menangkap objeknya mereka menggunakan simbol baik berupa kata-kata atau
konsep maupun representatif. Modus pengetahuan seperti ini biasa disebut
husuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung
melalui prantara, atau yang saya sebut dengan “infrensial” dan biasanya
dikontraskan sengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri
(knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui
kehadiran. (3) ciri lain dari filsafat paripatetik dari sudut
metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio
sehingga kurang memprioritaskan pengenalan intuitif, yang sangat dikenal
dalam aliran lain, seperti Isyraqi (iluminasionis) maupun Irfani
(gnostik). Akibat penekanan yang kuat terhadap daya-daya akliah, maka
mereka dikatakan oleh aliran lain sebagai tidak memperoleh pengetahuan
yang otentik (yang biasanya diperoleh melalui pengalaman mistik) tetapi
lebih bergantung pada otoritas para pendahulu mereka. Tidak berarti
mereka tidak mengakui adanya intuisi suci, tetapi bagi mereka nampaknya
itu hanya dimiliki para Nabi dan wali. Adapun mereka sendiri lebih
menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau kekuatan akal semata.
Karna itu aliran paripatetik barangkali pantas disebut sebagai wakil
dari kaum rasionalis islam.
Ciri khas lain dari aliran paripatetik ini berkaitan dengan aspek
ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam ajaran mereka yang biasa
disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi dan bentuk.
Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh
Aristoteles, sebagai hasilreformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang
mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain daripada
bayang-bayang dari idea-idea yang ada di dunia atas-yang kemudian bisa
disebut idea-idea plato (platonic ideas). Ide-ide ini direformulasikan
Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi
yang dimaksud dengan bentuk disini bukanlah bentuk fisik, melainkan
semacam Esensi (hakikat) dari sesuatu, sedangkan materi adalah bahan,
yang tidak akan mewujud (atau muncul dalam bentuk aktualitas ) kecuali
setelah bergabung dengan bentuk tadi.
Di dunia islam hampir semua filosof paripatetik, seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, memiliki pandangan Hylomorfis ini,
dan mungkin karna itu maka para filosof di atas disebut filosof
paripatetik(masya’iyyun), yang dapat dibedakan dari aliran filsafat
lainya, yaitu isyraqi (iluminasionis).
Indikasi yang kuat dari ajaran hylomorfis ini dapat dilihat dari
ajaran para filosof paripatetik muslim, khususnya al-Farabi dan Ibn
Sina, yang menyebut akal aktif sebagai pemberi bentuk. Ajaran ini
mengatakan bahwa alam fisik ini terdiri atas materi dan bentuk. Materi
harus difahami disini sebagai bahan, yang potensial menerima bentuk
apapun, tetapi tidak/belum lagi berbentuk fisik. Ibn Sina menyebut
materi ini sebagai mumkin al-wujud, yaitu kemungkinan atau
potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi untuk mewujud. Nah,
agar potensi-potensi ini mewujud atau mengaktual maka perlu ditambahkan
atau diberikan kepadanya bentuk. Semua benda yang dapat kita lihat di
alam semesta ini tentu saja telah mendapatkan bentuknya masing-masing.
Menurut keyakinan mereka, akal aktiflah,-bisa diidentikkan dengan
malaikat jibril,-yang telah memberikan bentuk-bentuk tertentu kepada
benda-benda tersebut. Itulah sebabnya maka akal aktif itu disebut “wahib
al-shuwar” atau “pemberi bentuk”.
Ciri terakhir dari paripatetik islam yang agak menyimpang dari
Aristotelianisme murni adalah apa yang kemudian dikenal dengan ajaran
atau teori emanasi. Bahkan, bukan hanya al-Farabi dan Ibn Sina yang
mempertahankan ajaran ini, tetapi juga suhrawardi, pendiri aliran Isyraqi –tentunya dengan modifikasi yang cukup fundamental, seperti yang akan kita jelaskan setelah ini.
alam ajaran paripatetik sangatlah khas dengan teorinya yang berkenaan
dengan aspek ontologis. Yang pertama adalah ajaran yang disebut dengan
hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang
terjadi didunia ini terdiri atas dua unsur yaitu materi dan bentuk, yang
kedua dan yang paling khas dan juga unik adalah ajaran dari
parepatetik islam adalah yang disebut emanasi .
Emanasi yang secara bahasa berarti menurun adalah teori tentang
keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari zat yang
wajibul wujud (tuhan).
berawal dari al-Farobi yang merasa kecewa dengan buku metafisikanya
Aristoteles yang tidak banyak membahas tentang tuhan, padahal tuhan
sendiri menjadi objek kajian atau tema-tema yang sangat penting dalam
pandangan islam, belum lagi tidak adanya keterangan yang menerangkan
tentang bagaimana tuhan menciptakan alam ini.
Atas hal ini, Al-Farobi merasa kurang terpuaskan oleh pemikiran
aristoteles, yang belum bisa menjelaskan bagaimana dari tuhan yang esa
muncul alam berikut isinya yang beraneka. Disisi lain pada waktu itu
tengah ramai-ramainya beredar dictum filosofis yang telah diterima
secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu hanya akan muncul
yang satu juga. Dictum ini yang kemudian memunculkan ajaran yang disebut
“murajjih” atau alasan yang memadai (sufficient reason). Hal
inilah yang kemudin mendorong Al-Farobi berfikir keras untuk memecahkan
persoalan ini, hingga tibalah Al-Farobi pada teori emanasi Plotinus[1],
juga disesuaikan dengan teori astronomis yang berkembang pada saat itu,
hingga Al-Farobi menghasilkan teori emanasinya sendiri yang tentu saja
lebih hebat dari Plotinus.
Menurut Al-Farobi yang pertama ada tentunya adalah tuhan yang maha
esa (the true one). Dan tuhan ini digambarkan sebagai “akal” yang
tugasnya berfikir, dan sebagai konsekwensi pemikiranya munculah akal
pertama, sampe disini belum terjadi potensi keberagaman smapai akal
pertama terbentuk barulah potensi itu mulai mulai Nampak. Mengapa
demikian? Karena akal pertama telah bisa berpikir bukan hanya tentang
tuhan, namun berpikir tentang dirinya sendiri juga, dari sini kita bisa
melihat bahwa akal pertama memiliki dua prinsip yaitu keesaan yang bisa
menghasilkan akal berikutya, juga prinsip keanekaan dan memunculkan
benda-benda samawi. Dan inilah yang terjadi selanjutnya sampai akal
ke-10. Dengan demikian maka Al-Farobi merasa bahwa dirinya telah dapat
memecahkan pertanyaan tentang bagaimana dari tuhan yang esa muncul alam
dan isinya yang beraneka.
Dalam kejadian terbentuk akal ke-10, disinilah terdapat ajaran yang
namanya “hilomorfisme” yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang
ada didunia ini terdiri atas dua unsur utama yaitu bentuk dan materi.
Akal ke-10, berpikir namun tidak menghasilkan akal seterusnya karena
sampai akal ke-10 ini emanasi sudah sempurna, jadi akal ke-10 bertugas
memberi bentuk kepada apa yang dihasilkan oleh bulan yaitu materi, namun
materi disini adalah materi primer yaitu empat elemen kehidupan
seperti angin,air,api dan udara. Dalam prosesnya elemen-elemen itu
mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai tumbuhan, dan meregang
sebagai hewan sehingga padapuncaknya terwujudlah sebagai manusia.
Sebagai puncak proses kejadian fisik, manusia memadukan seluruh
elemen primer secara amat kompleks, sehingga disebutkan dalam teori ini
kemampuan manusia yang pertamakalinya muncul adalah kemampuan tumbuh
kembang,selanjutnya adalah kemampuan mengindra, lalu berhasrat, berhayal
dan terakhir adalah berpikir. Itu sebabnya sampai saat ini kita sering
menjumpai sebuah argument bahwa manusia adalah makhluk tuhan yang paling
sempurna.
Aliaran-aliran filsafat islam
1. Paripatetik
2. Illuminasi
3. Irfan
4. Himah muta'aliyyah
a. paripatetik
filsafat ini di ambil dari filsafat aristoteles yang mengacu pada akal dan logika.
a.1. Epistemologi
Bentuk dan materi yang berubah adalah materinya tapi bentuknya tidak (idea)
contoh: spidol ketika terkena cahaya akan menghasilkan bayangan, dan
yang di sebut dengan materinya adalah banyangan, ketika cahaya berpindah
bayangan akan selalu berubah atau bergerak tapi untuk spidolnya
(bentuk) tidak akan berubah.
Herkalitos mengatakan: "segala sesuatu ada perubahannya", namun berbeda
dengan Plato ia mengatakan bahwa: yang berubah hanyalah materinya.
a.2. Ontologi
Hylenormatis : segala sesuatu berasal dari materi. dan materi adalah bahan yang berpotensi
namun prinsip dari filsafat adalah "materi itu tidak bisa mewujudkan
dirinya sendir. (mungkirul wujud) untuk bisa mewujudkan dirinya butuh
dengan wujud yang actual (wajibul wujud)
.
contoh: perempuan mempunya potensi hamil namun perempuan tidak bisa
menghamili dirinya sendiri dia membutuhkan seorang laki-laki untuk
mengembangkan potensinya.
dalam filsafat wajibul wujud adalah yang actuall yakni Allah dan Alam.
namun Allah wajibul wujud li dzatihi dan alam wajibul wujud li ghairihi.
dan Allah juga di sebut dengan Actuall murni yang tidak berawal fdan
tidak ada akhir.
mustahil wuijud adalah musthail Allah yidak actuall dan berpotensi.
Contoh: bisahkah Allah maha kuasa membunuh dirinya sendiri? tentu tidak
bisa karena kata bisa di analogiikan seperti di atas, kalau bisa berarti
bukan mustahil wujud melainkan mungkiru;l wujud.
A.3. Kosmologi
untuk kosmologi paripatetik ini mengacu pada teori Imanasi yang berasal
dari aliran Neo-platonisme yang dikembangkan oleh Al-Farabi sekaligus
orang pertama yang merumuskannya.
Kedua pemikir ini mewakili madzhab dan langgam pemikiran yang parallel, yakni
mencoba menggabungkan antara paripatetik (masha>’iyah) dengan iluminatif (‘irfa>ni).
Untuk itu, dalam penelitian ini, pemikiran mereka dihadirkan secara bersamaan dalam satu
bingkai, untuk melihat titik bidik epistemolog baya>ni burha>ni dan ‘irfa>ni dalam satu
mainstream pemikiran.
Epistemologi Shuhrawardi>
Karya-karya Shiha>b al-Di>n Yahya> al-Shuhrawardi>, yang digelari sebagai
Shaikh Al-Ishra>q (Guru Besar Filsafat Illuminasionis), sampai sekarang mendapat posisi
yang istimewa di berbagai sekte sufi (t}uruq al-S{u>fiyyah). Buah pemikiran al-
Shuhrawardi> membuka wacana pembaharuan pemikiran yang dilestarikan oleh banyak
pemikir dan juru spiritual (al-ru>ha>niyyi>n) sampai sekarang. Mempelajari
epistemologi Al-Shuhrawardi>, sama dengan mempelajari sinkretisasi tiga displin ilmu
sekaligus: kala>m (Islamic Theology), filsafat dan tasawuf.
Nama lengkap al-Shuhrawardi> adalah Abu> al-Futu>h Yahya> ibn Habsh ibn
Ami>rik. Beliau lahir pada 549 H/1155 M di Barat Laut Iran di kota Shuhraward, kota di
mana sering terjadi bentrokan peperangan. Sejak belia, dia menuntut ilmu di Mara>ghah
daerah Adzbija>n. Kemudian menuju As}biha>n di pusat Iran. Di sana beliau
menyaksikan rintisan-rintisan filsafat Ibn Sina dilestarikan. Kemudian menghabiskan
beberapa tahun di Ana>dlu>l, menimba ilmu kepada banyak pejabat dinasti Saljukiyah
dengan penuh antusias. Terakhir menuju Syiria dan tidak pernah kembali dari sana. Di
daerah inilah beliau dituduh mengajarkan ajaran yang kontradiktif dengan ajaran
mainstream sehingga- atas desakan S{alahuddin al-Ayyu>bi kepada putranya, Al-Ma>lik
al-D{a>hir, yang jadi hakim di sana- difatwa sebagai kafir dan sesat. Akhirnya beliau
mati secara misterius (digantung, dipenjara, mogok makan, dibunuh dengan pedang atau
dibakar?) pada 587 H/1191 M. Sehingga total umur beliau adalah 36 tahun (38 tahun
Qamariyyah). Para sejarawan umumnya menjulukinya dengan al- Shaikh al-Maqt}u>l,
(maha guru yang terpancung), sedangkan para muridnya mengagungkannya dengan
sebutan al-Shaikh al-Shahi>d, (maha guru yang gugur dalam keshahidan).
Shuhrawardi> merupakan tokoh yang pertama kali berani menantang hegemoni
filsafat paripatetik pada abad enam Hijriyah. Kemudian berusaha membangun aliran
filsafat baru yang bernama falsafah ishra>qiyyah (filsafat illuminasi). Karir intelektual Al-
Shuhrawardi> bermula sebagai seorang sufi, kemudian sebagai seorang filosof paripatetik.
Puncak dari ajaran filsafatnya berupa h}ikmah al-ishra>q, dengan nama kitab master
piece-nya yang sama, yang merupakan gabungan antar filsafat dan tashawwuf. H{ikmah
al-Ishra>q dibangun atas dua hal: al-h}ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah aldhauqiyyah.
Al-H}ikmah al-baht}iyyah (disebut juga h}ikmah al-Fala>sifah) dibangun
atas dasar metodologi analisis, komposisi, istidla>l al-burha>ni>; dan bertujuan
mencapai hakikat. Sementara al-h}ikmah al-dhauqiyyah (disebut juga h}ikmah alishra>
qiyyi>n) merupakan buah dari eksperimen spiritual menghampiri sang Maha tahu.
Sejatinya tidak ada kontradiksi esensi antara satu sama lain. Yang terjadi hanya sebatas
kontradiksi lahir. Karena puncak dari h}ikmah al-ishra>q adalah eklektisasi antara alh}
ikmah al-baht}iyyah dan al-h}ikmah al-dhauqiyyah, memperkokoh hikmah yang
pertama sekaligus mempertajam aura hikmah yang kedua.65 Al-Ishra>q adalah
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa ketika tajarrud atau khalwah. Jadi h}ikmah al-ishra>q adalah
hikmah yang dibangun atas dasar epistemologi al-ishra>q (illuminasionis) yang
merupakan kashf atau h}ikmah ‘ala> musha>riqah (bangsa Persia klasik). Definisi ini
mengisyaratkan: pertama, bahwa al-ishra>q adalah sumber al-h}ikmah al-ishra>qiyyah.
Ia mengandung konsep manifestasi atau pembasisan alam realita. Manifestasi ini
merupakan kerja aktif jiwa yang mampu menahan curahan kashf. Kedua, terdapat
sinonimitas antara kata ishra>qi> dan mashriqi>, yang bermakna memahami ishra>qi>
dengan logika h}ikmah mashriqi>yyi>n. Ketiga, para juru hikmah Persia klasik
membangun epistemologi filsafatnya atas dasar kashf atau musha>hadah yang bermakna
ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan
curahannya ke dalam jiwa setelah tajarrud atau khalwah.
Karena itu filsafat Illuminasi (falsafah ishraqiyyah) adalah antonim dari filsafat
paripatetik (falsafah masha>iyyi>n) di mana yang kedua berbasis analisis, bukti-bukti
rasional-logis, sementara yang pertama berbasis kashf dan dauq s}ufi>.66 Ada istilahistilah
asing yang digunakan al-Shuhrawardi> dalam karya-karyanya, sebagai berikut:67
(1) al-k{air= al-ru>ha>ni>; (2) al-ma>ddi>= al-maz}lam; (3) al-anwa>r = al-‘uqu>l;
(4) al-anwa>r al-qa>hirah = ‘uqu>l al-afla>k; (5) al-anwa>r al-mujarradah = al-nufu>s
al-insa>niyyah; (6) nu>r al-anwa>r = Allah, Tuhan, God; (7) al-jauhar al-muz}lim au algha>
siq= al-jism; (8) ‘a>lam al-bara>zikh = ‘a>lam al-ajsa>m.
Logika Illuminasi merupakan ringkasan dari logika paripatetik-Aristotelian.
Logika ini terinspirasi oleh spirit-spirit sufi dengan kosep keesaannya. Logika Illuminasi
melebur qad}i>yyah muja>bah dan qad}i>yyah sa>libah menjadi hanya satu, yaitu
qad}i>yyah muja>bah ma’du>lah dengan cara memindahkan seluruh nafy ke bagian
mahmu>l.68 Bila logika paripatetik-Aristotelian mengkomposisikan definisi (ta’ri>f)
dengan jins dan dhat kha>s}, maka logika Illuminasi mengkritik pemahaman ini. Karena
bagi al-Shuhrawardi>, dhat kha>s} itu unknowable (majhu>l, tidak dapat diketahui
dengan pasti). Sesuai dengan prinsip logika paripatetik-Aristotelian sendiri, sesuatu yang
majhu>l hanya bisa dipahami dari yang ma’lu>m. Lantas al-Shuhrawardi> menawarkan
konsep baru tentang definisi (h}add), yakni melalui dua metode: Pertama, metode alih}
sa>s (inderawi); perkara-perkara yang mah}su>sa>t mampu dipahami secara
sempurna. Kedua, metode kashf dan ‘iya>n.
Dalam masalah qad}aya>, logika al-Shuhrawardi> melebur qad}aya> kulliyyah
dan qad}a>ya> juziyah menjadi qad}a>ya kulliyyah saja. Karena qad}a>ya> kulliyyah
adalah asal sedangkan qad}a>ya> juziyah adalah derivasi atau turunan darinya. Sesuatu
yang bukan asal tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang meyakinkan.
Madhhab al-ishra>qi> ini berkaitan erat dengan filsafat Persia klasik sekaligus
filsafat Neo-Platonisme khususnya pada konsep illuminasi (al-faid}, curahan) dan cahaya
(al-nu>r). Madhhab al-ishra>qi> tidak lepas dari madzhab al-faid} yang mendahuluinya
sekaligus mempengaruhinya. Karena itu, madzhab ini bisa dianggap- terutama dalam
konsep al-bina> al-wuju>di> sebagai penerus dari metodologi teori “akal sepuluh” (al-
‘uqu>l al-‘ashrah); atau sebagai kritik konsep “akal sepuluh” tidak dari sigi proses, tetapi
dari kuantitasnya. Karena kritikan penting yang dihujamkan oleh Al-Shuhrawardi> kepada
teori penciptaan kosmos paripatetik-aristotelian berorientasi pada memperbanyak jumlah
dan bilangan akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar